TintaSiyasi.id -- “Orang-orang besar adalah mereka yang bertakwa, sholeh, wara’, mengamalkan ilmu, ikhlas dalam beramal, para hati yang jernih dan berpaling dari segala hal selain Allah.”
— Sayyid Abdul Qadir al-Jailani
Pendahuluan: Meredefinisi Makna Kebesaran
Di tengah gemerlap dunia yang sering menjadikan kekayaan, popularitas, jabatan, dan kekuasaan sebagai tolok ukur kebesaran seseorang, suara langit yang bersumber dari para wali dan kekasih Allah hadir bagai pelita di tengah kegelapan. Sayyid Abdul Qadir al-Jailani, seorang ulama sufi besar dari abad ke-6 Hijriah, menegaskan bahwa hakikat orang besar bukanlah mereka yang disanjung dunia, tetapi mereka yang dekat dengan Allah.
Kebesaran sejati tidak terletak pada apa yang tampak di mata manusia, tetapi pada apa yang tersembunyi di hati. Artikel ini akan menggali lebih dalam tentang karakter orang-orang besar menurut perspektif ruhani dan sufistik, yang justru menjadi fondasi peradaban Islam yang bercahaya.
I. Takwa: Mahkota Kebesaran Sejati
Takwa adalah parameter kemuliaan dalam pandangan Allah. Firman-Nya:
"Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian." (QS. Al-Hujurat: 13)
Orang yang bertakwa senantiasa hidup dalam kesadaran akan pengawasan Allah. Ia menjaga hatinya dari niat yang tercela, lidahnya dari ucapan sia-sia, dan langkahnya dari jalan kesesatan. Ia adalah penjaga cahaya dalam dirinya, yang tidak padam oleh godaan dunia.
Sayyid Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Takwa adalah benteng bagi hati. Barang siapa menjaganya, ia akan selamat dari panah syahwat dan godaan setan.”
Orang yang bertakwa tidak menjual akhirat demi dunia. Mereka ibarat gunung yang kokoh, tidak tergoyahkan oleh badai duniawi.
II. Keshalihan dan Amal Ilmu
Keshalihan bukan hanya soal ibadah formal, melainkan buah dari ilmu yang diamalkan. Banyak orang mengetahui kebaikan, tetapi sedikit yang benar-benar menjalankannya.
“Janganlah kamu menjadi orang yang berilmu tetapi tidak beramal, karena ilmu itu akan menjadi hujjah (alasan) atas kebinasaanmu di akhirat nanti.”
— (Al-Jailani)
Orang besar dalam pandangan Allah adalah mereka yang mengamalkan ilmunya secara ikhlas dan konsisten. Ilmu mereka bukan alat untuk membanggakan diri, tetapi sebagai obor penerang jalan umat.
Keshalihan mereka tampak dari akhlak, kesantunan, kesabaran, dan kasih sayang. Mereka adalah pewaris para nabi yang menyampaikan kebenaran tanpa pamrih dunia.
III. Wara’: Menjaga Diri dari Syubhat
Sifat wara’ adalah kehati-hatian luar biasa dalam setiap aspek hidup. Ia menjaga seseorang bukan hanya dari yang haram, tetapi juga dari hal-hal yang samar (syubhat). Inilah kualitas para wali Allah.
Sayyid Abdul Qadir al-Jailani pernah mengingatkan murid-muridnya:
“Jika kamu ingin hatimu hidup, maka jauhilah perkara yang subhat. Jangan mengharap cahaya masuk ke dalam hati yang kotor karena cinta dunia.”
Wara’ adalah perisai hati. Orang yang wara’ tidak mudah tergoda oleh ambisi atau manipulasi. Mereka selalu bertanya dalam hatinya: “Apakah ini akan mendekatkanku kepada Allah?” Jika jawabannya tidak, maka ia tinggalkan dengan ringan, walau dunia menganggapnya kehilangan peluang besar.
IV. Ikhlas: Inti dari Segala Amal
Orang-orang besar bukan hanya melakukan amal, tetapi melakukan amal dengan keikhlasan. Mereka tidak peduli akan pujian atau cemoohan, karena orientasi mereka hanya satu: Ridha Allah Azza wa Jalla.
Sayyid Abdul Qadir al-Jailani berkata:
“Amal tanpa ikhlas adalah tubuh tanpa ruh. Ia tidak akan sampai ke hadirat-Nya.”
Keikhlasan adalah akar yang menumbuhkan pohon amal. Semakin dalam akarnya, semakin kokoh pohonnya. Ikhlas membuat amal kecil bernilai besar di sisi Allah. Tanpa ikhlas, amal sebesar gunung bisa tak bernilai apa-apa.
V. Kejernihan Hati dan Pemurnian Tujuan
Orang-orang besar adalah mereka yang hatinya bersih dari penyakit riya’, ujub, dengki, dan cinta dunia. Mereka hidup dalam kejernihan batin, karena mereka telah melepaskan diri dari keterikatan dunia yang membelenggu banyak jiwa.
Hati mereka seperti cermin: bersih dan memantulkan cahaya ilahi. Mereka mampu melihat hakikat sesuatu, bukan hanya kulitnya. Mereka mampu mencintai makhluk karena Allah, bukan karena manfaat duniawi.
Inilah jiwa-jiwa yang telah melewati fase tajrid (menanggalkan selain Allah), lalu memasuki wilayah ma’rifat, mengenal Allah dengan sebenar-benarnya.
VI. Berpaling dari Selain Allah
Puncak kebesaran ruhani adalah ketika hati hanya bergantung kepada Allah. Dunia bisa hadir di tangan mereka, tetapi tidak masuk ke dalam hati mereka. Mereka tetap bersyukur jika diberi, dan tetap tenang jika diambil.
“Ketika hatimu tidak bergantung kepada selain Allah, maka itulah kebebasan sejati.”
— (Al-Jailani)
Berpaling dari selain Allah bukan berarti menjauhi manusia, tetapi menata orientasi hidup. Mereka berinteraksi, berkarya, beramal, tetapi semua semata demi Allah. Tidak ada ketergantungan pada makhluk. Inilah esensi dari tauhid ruhani.
Penutup: Jalan Para Wali, Jalan Kita Semua
Jalan menuju Allah bukan hanya milik para wali terdahulu. Ia terbuka bagi siapa saja yang bersungguh-sungguh membersihkan hatinya, memurnikan niat, dan terus menapaki jalan ketaatan. Setiap Muslim bisa menjadi “orang besar” dalam pandangan langit jika ia menjaga takwanya, mengamalkan ilmunya, ikhlas dalam amalnya, dan bersih dari keterikatan dunia.
Mari kita warisi semangat para salafush shalih, para wali yang hidupnya tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk menerangi jalan umat. Dunia membutuhkan lebih banyak jiwa yang bersinar, bukan karena glamor, tetapi karena kedekatannya dengan Sang Pencipta.
“Barang siapa menjadikan Allah sebagai tujuan utamanya, maka dunia akan datang kepadanya dalam keadaan hina.”
— Sayyid Abdul Qadir al-Jailani
Semoga kita termasuk dalam barisan orang-orang besar itu, bukan di mata manusia, tetapi di hadapan Allah Yang Maha Besar. Aamiin.
Oleh. Dr Nasrul Syarif M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)