TintaSiyasi.id -- Aktivis Dakwah Ustaz Jajuli Asyari, SE, memaparkan pembagian kepemilikan harta dalam sistem ekonomi Islam. "Pertama kepemilikan individu, kedua kepemilikan umum, dan kepemilikan negara," ungkapnya di kanal YouTube Mercusuar Ummat, Rabu (19/3/2025), Bedah Khilafah | Cara Khilafah Menjaga Kekayaan Negara dari Tangan Asing.
Pertama, kepemilikan individu. "Dari mana harta didapat oleh individu, dengan cara bekerja, maka di dalam Islam orang yang laki-laki dewasa yang laki-laki yang sudah balig itu wajib hukumnya untuk mencari nafkah, untuk menafkahi keluarga atau yang menjadi tanggungan," terangnya.
Kemudian, ia memaparkan, proses kepemilikan dalam harta milik individu adalah proses pewarisan. "Nah ini juga perlu dipahami bahwasannya Islam mengatur kekayaan ini hakikatnya milik Allah, pada saat ada seseorang yang meninggal dunia, kemudian dia meninggalkan ahli waris contoh dia memiliki anak laki-laki dan anak perempuan maka pertama kali dilakukan ketika orang meninggal, harta peninggalan itu kembalikan kepada pemilik harta yakni Allah SWT, kemudian nanti Allah SWT membuat aturan yakni pembagian waris untuk anak laki-laki itu adalah dua bagian, dan anak perempuan itu satu bagian, itu yang diatur oleh Allah SWT, maka pada saat seseorang meninggal ahli waris itu tidak boleh berebut harta kekayaan karena Allah SWT sudah mengatur pembagian itu dengan jelas dan tegas di dalam Al-Qur'an," paparnya.
Selanjutnya, ia menjelaskan, ada yang disebut dengan kebutuhan harta untuk mempertahankan hidup. "Nah di sini ini menjadi ranah negara sebetulnya, karena negara wajib menjamin seluruh warga negaranya, mendapatkan hak dasarnya, maka apabila di dalam suatu negara itu ada orang yang tidak bisa makan atau kelaparan maka itu dosanya akan menimpa kepada pemimpin negeri itu, maka sangat jelas di dalam Islam bagaimana negara atau pemimpin itu bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpin," ungkapnya.
Kemudian, ia melanjutkan, ada harta yang diperoleh tanpa imbalan atau usaha, yakni harta hibah, dan menjadi kepemilikan individu.
"Dalam Islam tidak ada pembatasan bahwa seseorang itu boleh kaya sekaya-kayanya itu boleh, cuman hanya boleh dengan rambu-rambunya itu di dalam harta yang menjadi kepemilikan individu," tambahnya.
Kedua, kepemilikan umum. "Dalam kepemilikan umum, ada yang disebut dengan harta kekayaan atau dari tambang-tambang yang sifatnya besar, dalam hadis disebutkan sebagaimana Rasulullah Saw itu bersabda
Dari Abyad bin Hammal, ia mendatangi Rasulullah ﷺ dan meminta beliau ﷺ agar memberikan tambang garam kepadanya. Nabi ﷺ pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika Abyad bin Hamal ra. telah pergi, ada seorang lelaki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah ﷺ mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan At-Timidzi)," ungkapnya.
Dari sini, ia mengatakan, dapat diambil hukum bahwa tambang besar yang sifatnya bagaikan air mengalir, menjadi harta milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, tidak boleh dikuasai oleh swasta apalagi dikuasai oleh asing.
Ia memberikan contoh, di air menjadi kebutuhan umum sehingga tidak boleh air dikuasai oleh korporasi, air bisa dikuasai oleh korporasi asing jika memang kebutuhan masyarakat secara umum itu sudah terpenuhi.
"Sebagai contoh apabila di suatu negeri itu terjadi kemarau panjang maka perusahaan yang mengkomersialisasi air itu wajib disetop oleh negara, dan airnya itu disalurkan kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, nah nanti pada saat masyarakat semua sudah terpenuhi kebutuhannya maka air boleh dikelola kembali oleh korporasi swasta," ungkapnya.
Ketiga, kepemilikan milik negara. "Dari mana kepemilikan milik negara itu berasal bisa didapat dari ghanimah, kharja, jizyah, fai, uzhur, rikas, harta tanpa ahli waris itu akan menjadi milik negara, karena pada saat tadi bawah harta itu adalah hakekatnya milik Allah pada saat seseorang meninggal tidak memiliki ahli waris, maka harta itu akan kembali kepada pemiliknya ini Allah SWT, dan Allah membuat aturan, bahwa bagi orang yang tidak memiliki ahli waris maka hartanya itu menjadi milik negara," jelasnya.
Kemudian, ia menambahkan,harta dari orang murtad. "Karena seseorang yang keluar dari Islam Itu terputus pewarisannya, maka kalau dia meninggal itu akan menjadi harta milik negara, dan akan dikelola oleh negara, dan juga dari berbagai lahan bangunan yang menjadi milik negara, bangunan-bangunan milik negara di dalam Islam itu kepemilikannya menjadi milik negara dan tidak boleh dikuasai oleh swasta atau oleh individu," ujarnya.
"Nah dari dua kepemilikan ini kepemilikan umum, kepemilikan negara itu semuanya wajib dikelola oleh negara, dan semua harta kekayaan dari pengelolaan negara ini itu akan masuk ke baitul mal untuk nanti didistribusikan kepada seluruh warga negara yang berbentuk fasilitas, dan ini semua warga negara akan merasakan dari harta milik baik harta itu milik umum, maupun harta milik negara," pungkasnya. [] Alfia Purwanti