Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Anak Terancam Perilaku Menyimpang: Urgensi Peran Orang Tua hingga Negara

Jumat, 27 Juni 2025 | 12:32 WIB Last Updated 2025-06-27T05:32:36Z

Tintasiyasi.id.com -- Ironi Negeri Agraris. Di tengah janji manis swasembada pangan, masyarakat Indonesia justru dihadapkan pada kenyataan pahit: harga beras melonjak tinggi, bahkan ketika pemerintah mengklaim stok beras melimpah. Data dari Bisnis.com dan BeritaSatu menunjukkan bahwa lebih dari 130 kabupaten/kota mengalami kenaikan harga beras pada pertengahan Juni 2025. Harga tersebut tidak hanya melewati Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan, tetapi juga melampaui batas daya beli sebagian besar rakyat kecil.

Situasi ini menimbulkan tanya besar di tengah masyarakat: bagaimana bisa harga naik saat stok berlimpah? Bukankah dalam logika ekonomi dasar, stok yang melimpah seharusnya menurunkan harga?

Jawaban terhadap pertanyaan ini tidak hanya terletak pada aspek teknis distribusi atau persoalan sementara, melainkan menunjukkan cacat fundamental dalam sistem pengelolaan pangan nasional yang berada dalam kerangka kapitalisme.

Sistem kapitalisme menjadikan pangan bukan sebagai hak dasar rakyat, melainkan komoditas yang bisa diperdagangkan demi keuntungan. Negara berperan sebagai fasilitator pasar, bukan pelindung kebutuhan pokok rakyat. 

Hal ini menciptakan celah besar bagi para spekulan, kartel, dan pemilik modal untuk memainkan harga tanpa kontrol efektif. Akibatnya, rakyat kecil menjadi korban kebijakan pasar yang tidak adil.

Dalam konteks ini, Islam kaffah sebagai sistem kehidupan yang menyeluruh hadir menawarkan solusi yang tidak hanya pragmatis tetapi juga ideologis. Islam tidak memandang pangan sebagai komoditas pasar biasa, melainkan sebagai kebutuhan dasar yang wajib dijamin negara.

Artikel ini akan mengulas krisis beras yang sedang terjadi dengan pendekatan kritis terhadap kapitalisme serta menawarkan solusi dari sistem Islam kaffah yang pernah diterapkan secara nyata dalam sejarah umat.

Krisis Beras di Tengah Klaim Stok Melimpah

Fenomena harga beras yang naik padahal stok diklaim melimpah menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara kebijakan dan implementasi. Guru Besar UGM, Prof. Jangkung Hardjowigeno, menyebut bahwa kondisi ini tidak masuk akal dari sisi logika distribusi pangan. 

Bagaimana bisa terjadi kelangkaan atau lonjakan harga di pasar saat gudang-gudang Bulog penuh dengan beras?

Pemerintah sebelumnya mewajibkan Perum Bulog untuk menyerap gabah petani dalam jumlah besar sebagai bentuk perlindungan harga di tingkat produsen. Namun kebijakan ini menimbulkan efek domino: gudang penuh, distribusi tersendat, dan pasar mengalami penurunan suplai.

Akibatnya, harga beras di pasaran naik drastis. Kondisi ini diperparah dengan lemahnya sistem distribusi dan pengawasan. Tidak sedikit beras yang akhirnya rusak di gudang akibat terlalu lama disimpan. Sementara di sisi lain, rakyat di daerah-daerah terpencil harus membeli beras dengan harga tinggi, bahkan melampaui HET.

Ironi ini menjadi bukti bahwa sistem distribusi pangan di Indonesia masih dikuasai oleh logika pasar dan keuntungan, bukan kebutuhan rakyat. Negara justru gagal memastikan bahwa barang yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat tersedia secara merata dan terjangkau.

Kapitalisme: Menjadikan Pangan Komoditas, Bukan Hak

Sistem ekonomi kapitalis berakar pada ide bahwa semua barang dapat dan sah untuk diperdagangkan. Tidak ada perbedaan mendasar antara pangan dan komoditas lainnya seperti properti, logam mulia, atau saham. Nilai suatu barang ditentukan oleh permintaan dan penawaran, bukan oleh urgensi atau kebutuhan masyarakat terhadapnya.

Dalam paradigma ini, pangan termasuk beras diperlakukan sebagai instrumen ekonomi yang bisa menghasilkan keuntungan. Negara pun tidak lagi berfungsi sebagai pelayan rakyat, tetapi sebagai regulator pasar yang memastikan kelancaran transaksi, bukan kesejahteraan.

Inilah sebabnya mengapa harga beras bisa naik meskipun stok melimpah. Penentuan harga berada di tangan mekanisme pasar yang dikuasai oleh para pemilik modal besar dan spekulan. Negara seakan tak berdaya, bahkan turut andil dalam menciptakan kondisi yang mempermudah penimbunan, monopoli, dan fluktuasi harga. 

Lebih jauh lagi, kapitalisme menghilangkan tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan rakyat. Tugas negara hanya "memfasilitasi" bukan "menjamin". Maka wajar jika intervensi yang dilakukan pun bersifat tambal sulam dan sporadis, seperti operasi pasar yang hanya meredam masalah secara temporer, tanpa menyentuh akar persoalan.

Ketimpangan Struktural dalam Pengelolaan Pangan Nasional

Kondisi petani semakin terjepit. Di satu sisi mereka diwajibkan menjual gabah kepada Bulog dengan harga yang sudah ditentukan, tetapi di sisi lain mereka tidak mendapatkan jaminan atas harga pupuk, bibit, dan biaya produksi lainnya. 

Sementara itu, tengkulak dan pengusaha besar bisa menentukan harga beras di pasaran sesuka hati. Distribusi beras dari gudang ke pasar pun tidak efisien. Jalur distribusi panjang, birokrasi berbelit, serta dominasi tengkulak menyebabkan disparitas harga yang tajam antarwilayah.

Ditambah lagi dengan lemahnya pengawasan terhadap praktik penimbunan yang dilakukan oleh pelaku pasar tertentu. Semua ini menunjukkan bahwa sistem pangan kita bukan hanya mengalami kegagalan teknis, tetapi juga krisis struktural. Sistem yang ada memang dirancang untuk menguntungkan segelintir elite ekonomi, bukan memenuhi kebutuhan rakyat.

Bahkan ketika pemerintah mencoba intervensi, hasilnya sering kali kontraproduktif.
Islam Kaffah sebagai Solusi Hakiki
Islam memandang pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang wajib dipenuhi oleh negara. Dalam sistem Islam, negara (khilafah) tidak hanya berperan sebagai pengawas pasar, tetapi sebagai pelaksana utama dalam menjamin distribusi dan keterjangkauan kebutuhan pokok.

Negara Islam bertanggung jawab langsung atas pemenuhan kebutuhan primer setiap individu rakyat—termasuk pangan. Negara akan mengelola produksi, distribusi, dan penyimpanan bahan makanan dengan prinsip keadilan dan pelayanan, bukan keuntungan. Negara juga wajib mencegah praktik penimbunan dan spekulasi.

Dalam sejarah khilafah, subsidi untuk petani diberikan dalam bentuk bibit, pupuk, alat pertanian, bahkan hewan ternak. Hal ini dilakukan agar hasil panen maksimal dan dapat disalurkan kepada rakyat secara optimal. Distribusi dilakukan dengan pendekatan langsung, tanpa perantara kapitalis.

Negara juga menyediakan cadangan pangan yang cukup dan siap disalurkan kapan saja bila terjadi lonjakan harga atau bencana. Dengan begitu, stabilitas harga dan akses terhadap bahan pokok tetap terjaga.

Mekanisme Pasar dalam Islam: Antara Kebebasan dan Larangan Intervensi

Islam tidak melarang mekanisme pasar berjalan secara alami. Namun Islam tegas melarang praktik ihtikar (penimbunan untuk keuntungan) dan monopoli yang merugikan masyarakat. Negara boleh menetapkan regulasi yang mencegah manipulasi harga, tetapi tidak boleh menetapkan harga jual secara paksa jika harga itu hasil dari interaksi wajar antara penjual dan pembeli.

Dalam hadis disebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidak menetapkan harga meskipun ada permintaan dari sahabat, karena beliau menghormati mekanisme pasar yang jujur. Namun, ketika ada pelanggaran berupa penipuan, penimbunan, atau eksploitasi pasar oleh segelintir orang, maka negara wajib bertindak.

Hisbah (lembaga pengawasan pasar dalam Islam) berperan aktif dalam memastikan keadilan transaksi. Lembaga ini mencegah penimbunan dan memastikan barang pokok tidak disalahgunakan untuk memperkaya elite.

Studi Kasus Khilafah dalam Sejarah: Solusi Nyata di Masa Lalu

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, ketika terjadi paceklik panjang, negara Islam bertindak cepat. Umar mengirim logistik dari Madinah ke daerah-daerah yang terdampak kelaparan. Ia bahkan tidak tidur hingga kebutuhan rakyatnya terpenuhi. Cadangan pangan yang dikelola negara disalurkan tanpa biaya. Distribusi dilakukan langsung oleh aparat negara, bukan oleh pasar bebas. 

Baitul mal menjadi instrumen penting dalam manajemen logistik dan sosial. Tidak pernah tercatat dalam sejarah Islam bahwa rakyat mati kelaparan karena distribusi pangan terganggu. Negara selalu menjadi pihak yang pertama bertindak dan bertanggung jawab.

Penutup: Solusi Sistemik, Bukan Tambal Sulam

Kenaikan harga beras saat stok melimpah hanyalah satu dari sekian banyak ironi dalam sistem kapitalisme. Sistem ini gagal menjamin kebutuhan dasar rakyat karena seluruh mekanisme dibangun atas dasar keuntungan, bukan pelayanan.

Reformasi kebijakan hanya akan menghasilkan tambal sulam baru, sementara akar persoalan tetap dibiarkan tumbuh: sistem ekonomi kapitalistik. Maka solusi hakiki hanya bisa lahir dari perubahan sistem.

Islam kaffah memberikan alternatif yang telah terbukti berhasil dalam sejarah. Sistem ini bukan utopia, melainkan pernah diterapkan dan membawa kemakmuran. Sudah saatnya umat Islam kembali mengambil Islam sebagai solusi hidup, bukan hanya sebagai identitas spiritual, tetapi juga sebagai sistem pengatur kehidupan yang sempurna. Wallahu a'lam bishshawwab.[]

Oleh: Prayudisti S. P
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update