“Kemajuan-kemajuan secara fisik itu menjadi kebanggaan
bagi pemerintah negara mereka masing-masing sampai mereka menutup mata tidak mau
tahu apa yang terjadi pada anak-anak mereka sendiri, saudara-saudara mereka
sendiri yang tertindas di provinsi yang disebut provinsi Xinjiang tadi,”
ujarnya di rubrik World View berjudul Asimilasi Paksa: Membunuh
Identitas Muslim Uighur di kanal YouTube Muslimah Media Hub, Ahad (08/06/25).
Ia mengutip sebuah laporan dari Pusat Studi Uighur
berjudul Breaking The Roots yang mengungkapkan bahwa anak-anak Muslim
Uighur di usia sekolah dasar hari ini dipisahkan secara paksa dari keluarga
mereka dan ditempatkan di sekolah-sekolah berasrama.
“Kalau sebelumnya kita banyak membaca atau mendapatkan
gambaran bagaimana program asimilasi itu menyasar orang-orang dewasa, menyasar
anak-anak muda, maka hari ini program tersebut sudah menyasar anak-anak usia
sekolah dasar,” katanya.
Ia menjelaskan, mereka diajarkan beberapa hal yang
sangat berbahaya bagi anak-anak Muslim yang dikeluarkan dari keluarganya.
“Pertama, dilarang menggunakan bahasa Uighur. Artinya
mereka ingin dijadikan sebagai sosok-sosok yang tidak mengenal akarnya. Mereka
ingin dijadikan sebagai orang yang tidak lagi mengingat atau mengidentifikasi
dirinya sebagai orang-orang Uighur yang mana orang Uighur adalah Muslim 100
persen,” jelasnya.
Kedua, mereka diajar memberikan loyalitas
kepada guru mereka, bukan orang tua mereka. “Jadi di sini ikatan keluarga
dilemahkan,” tandasnya.
Ketiga, kesetiaan kepada Partai Komunis
ditanamkan secara paksa walaupun mereka pada awalnya dilahirkan sebagai Muslim.
“Tetapi suara umat Islam termasuk suara dari negeri
kita, suara Muslim mayoritas di negeri ini tidak lantang berteriak, kemudian
mengecam, atau kemudian melakukan tindakan tegas terhadap China,” tegasnya.
Ia memperlihatkan bahwa provinsi yang dulunya
merupakan wilayah khilafah yaitu Turkistan Timur itu dicaplok oleh China dan
kemudian diganti menjadi provinsi Xinjiang. “Kaum Muslim diperlakukan
dengan sangat keji, digenosida secara
sistematis dengan bermacam-macam cara,” ungkapnya.
“Kaum Muslim dalam keadaan tertindas di negeri mereka
sendiri, yang negeri ini kemudian diakuisisi atau dicaplok, diambil oleh China,
karena kaum Muslim tidak bisa mempertahankan otonominya ataupun mempertahankan
independensinya di negeri tersebut,” terangnya.
“Ini adalah buah dari malapetaka politik yang harus
dihadapi oleh kaum Muslim setelah tidak memiliki Khilafah Islamiyah,” imbuhnya
lagi
Ia juga menggambarkan bahwa rasa persaudaraan antara
sesama Muslim telah benar-benar hilang akibat tiadanya sistem khilafah dan
bercokolnya hegemoni sistem kapitalisme di negeri-negeri kaum Muslim.
“Kita membutuhkan kesatuan politik kaum Muslim, yaitu
adanya kekuatan politik di bawah naungan sistem khilafah yang memiliki kekuatan
ekonomi, kekuatan militer yang akan membuat musuh-musuh mereka gentar dan tidak
ada satu pihak pun yang berani mengambil anak-anak Muslim dari keluarganya
tanpa hak dan tidak akan ada gerakan sistemis untuk menghilangkan identitas
kaum Muslim sistematis dan massal,” pungkasnya.[] Syamsiyah Jamil