“Karena
sistem pemerintahan yang lain itu tidak mengakui syariat Islam sebagai hukum. Sedangkan
hukum (Islam) itu mengikat kepala negara dan rakyat. Kepala negara itu tidak
boleh membuat hukum. Kepala negara itu fungsinya منفذ
الحكم, pelaksana hukum,” ujarnya memberikan penjelasan.
Kiai Labib mengatakan, dalam
sebuah sistem negara atau sistem pemerintahan, perkara paling penting adalah من له السيادة,
yang artinya siapa pemegang kedaulatan. “Itu perkara paling penting,” lugasnya
di YouTube Rokhmat S. Labib bertajuk Sistem Pemerintahan Islam.
“Sebab siapa pemegang kedaulatan
itu nanti akan menentukan “jenis kelamin” sebuah negara. Yang menentukan sistem
negara itu adalah pemegang kedaulatan,” sebutnya.
“Nah, kalau dalam demokrasi,
kedaulatan di tangan rakyat, yang berarti semua hukum harus bersumber dari
rakyat,” ulasnya memberikan alasan.
Sementara dalam Islam, ia
menyatakan bahwa السيادة
yaitu للشّرع,
yakni kedaulatan di tangan syarak.
“Dengan pengertian seluruh
undang-undang, seluruh peraturan hukum, dan peraturan itu harus lahir dari
syariat Islam, baik secara langsung dari Al-Qur'an dan sunah, atau yang
ditunjukkan dari keduanya, yaitu ijmak sahabat dan kias syar'i,”
bebernya lebih lanjut.
Oleh karena itu, lanjutnya, tidak
ada lagi membuat undang-undang itu betanya kepada rakyat atau pun bertanya
kepada penguasa.
“(Jika) Al-Qur'an mengatakan, (maka)
itu yang dilakukan. Di antara dalil yang menunjukkan secara jelas bahwa
kedaulatan di tangan syarak adalah firman Allah Swt., إن الحكم إلا لله,” tuturnya menyitat surah
Yusuf ayat 40.
Kiai mensyarah ayat tersebut, “Apabila
إن
bertemu dengan إلا
maka maknanya ليس
الحكم إلا لله, tidak ada hukum kecuali milik Allah Swt.”
“Jadi Allah-lah satu-satunya zat
yang menentukan hukum, المشرع
الوحدة, dan Rasul sebagai mubalig (penyampai),” tutupnya.[] Rere