Tintasiyasi.id.com -- Pendahuluan: Mencari Hakikat Kemuliaan.
Setiap manusia, secara fitrah, mendambakan kemuliaan. Dalam benak banyak orang, kemuliaan sering dikaitkan dengan jabatan tinggi, harta berlimpah, pengaruh sosial, atau popularitas. Namun sejarah dan kenyataan membuktikan: betapa banyak manusia yang memiliki itu semua, namun hidup dalam kegelisahan, kehampaan, bahkan kehinaan hakiki.
Di tengah gempuran materialisme dan krisis identitas umat, kalimat sakral ini kembali menggema sebagai peringatan ilahi:
“Tidak ada kemuliaan kecuali dengan Islam.”
Kalimat ini bukan sekadar slogan kosong, melainkan cermin dari sebuah prinsip agung yang diwariskan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat yang memahami esensi kehidupan. Ia adalah panggilan kesadaran: bahwa kemuliaan sejati tidak bisa dilekatkan pada dunia, melainkan pada nilai-nilai yang datang dari wahyu ilahi.
Islam sebagai Sumber Izzah (Kemuliaan)
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
"Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka kemuliaan itu semuanya milik Allah."
(QS. Fathir: 10)
Dan Dia juga berfirman:
"Padahal kemuliaan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui."
(QS. Al-Munafiqun: 8)
Dari ayat ini, jelas bahwa sumber kemuliaan hanyalah dari Allah. Islam hadir sebagai jalan untuk meraih kemuliaan itu — bukan hanya secara spiritual, tapi juga sosial, politik, dan peradaban. Islam bukan agama pasif, tapi sistem kehidupan aktif yang mengangkat derajat manusia dari kehinaan syirik, kezaliman, dan kebodohan menuju cahaya tauhid, keadilan, dan ilmu.
Umar bin Khattab dan Falsafah Izzah Islamiyah
Khalifah kedua, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, pernah berkata:
“Kami adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam. Jika kami mencari kemuliaan dari selain Islam, Allah akan menghinakan kami.”
Kalimat ini bukan teori. Ia berbicara dari pengalaman hidup yang nyata. Umar dulunya adalah penentang Islam yang keras, tapi ketika hatinya disinari cahaya Islam, ia menjadi simbol keadilan dan kekuatan yang ditakuti oleh imperium besar seperti Persia dan Romawi.
Namun yang menarik, Umar tidak memandang kejayaan Islam terletak pada kekuatan militer atau kekayaan, tapi pada komitmen terhadap Islam itu sendiri. Ia paham, jika umat mulai menggantikan Islam dengan ideologi asing, budaya jahiliah, dan tamak dunia, maka kehinaan akan datang — tidak peduli seberapa megah istana atau kuat pasukan mereka.
Kemuliaan Para Sahabat: Lahir dari Kesucian Tauhid
Bilal bin Rabah, Shuhaib Ar-Rumi, Salman Al-Farisi — mereka bukan orang-orang yang terpandang secara sosial sebelum Islam. Tapi setelah memeluk Islam, mereka menjadi simbol kehormatan dan kemuliaan. Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat bangsawan Quraisy:
"Sesungguhnya Bilal lebih mulia di sisi Allah daripada kalian."
Apa yang mengangkat Bilal? Bukan warna kulitnya, bukan hartanya, bukan asal bangsanya — tapi keteguhan tauhidnya, cintanya kepada Rasulullah, dan komitmennya terhadap Islam.
Inilah pelajaran abadi: bahwa Islam tidak mengenal diskriminasi kecuali atas dasar ketakwaan. Dalam Islam, siapa pun bisa mulia, asalkan jujur, taat, ikhlas, dan menjadikan Islam sebagai jalan hidup.
Krisis Umat Hari Ini: Mencari Izzah di Tempat yang Salah
Sayangnya, banyak umat Islam hari ini kehilangan kepercayaan terhadap izzah Islam. Mereka mencari kemuliaan dari budaya barat, sistem kapitalisme, atau ideologi hedonisme. Mereka bangga dengan merek luar negeri, bahasa asing, dan gaya hidup sekuler, tapi malu menjadi Muslim kaffah.
Inilah yang disebut Umar bin Khattab sebagai awal kehinaan: saat umat Islam sendiri kehilangan kebanggaan terhadap agamanya.
Padahal Islam telah membuktikan diri sebagai peradaban agung. Ilmu pengetahuan, keadilan sosial, kemajuan ekonomi, dan toleransi antar umat — semuanya pernah mekar di bawah panji Islam. Tapi ketika umat menjauh dari Islam, yang tersisa hanya nostalgia tanpa kekuatan.
Jalan Kembali Menuju Kemuliaan
Kemuliaan tidak bisa diminta dari dunia, tapi harus dikejar lewat jalan yang ditunjukkan Islam. Beberapa langkah penting untuk meraih kembali izzah umat adalah:
1. Membangun kembali komitmen terhadap tauhid dan syariat.
Jangan kompromikan Islam hanya demi popularitas atau kepentingan dunia.
2. Menghidupkan ilmu dan adab.
Umat Islam harus kembali mencintai ilmu, membaca, menulis, berdiskusi — bukan hanya memproduksi konten hiburan kosong.
3. Menjaga identitas keislaman dalam kehidupan sosial dan politik.
Jangan terjebak dalam sekularisasi. Islam harus hadir dalam seluruh aspek kehidupan.
4. Menumbuhkan rasa bangga menjadi Muslim.
Tanamkan pada generasi muda bahwa menjadi Muslim adalah kemuliaan, bukan beban.
5. Bersatu dan saling menolong dalam kebaikan.
Izzah umat takkan terwujud jika umat terus terpecah dalam konflik internal.
Penutup: Saatnya Kembali kepada Islam
Jika kita ingin kembali menjadi umat yang disegani, dihormati, dan memimpin peradaban dunia, maka jalan satu-satunya adalah kembali kepada Islam secara kaffah.
“Tidak ada kemuliaan kecuali dengan Islam.”
Kalimat ini bukan sekadar renungan, tapi panggilan.
Bukan hanya untuk diucapkan, tapi untuk diperjuangkan.
Bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dihidupkan kembali dalam keluarga, pendidikan, dakwah, bisnis, dan politik.
Mari kita jadikan Islam sebagai identitas, dasar berpikir, dan pedoman hidup. Karena hanya dengan Islam, kita mulia di dunia dan selamat di akhirat.
Oleh: Dr Nasrul Syarif M.Si.
(Penulis buku gizi spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo )