Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Standar Kemiskinan: Antara Bank Dunia, BPS, dan Islam

Minggu, 18 Mei 2025 | 15:10 WIB Last Updated 2025-05-19T13:06:38Z
TintaSiyasi.id -- Baru-baru ini, Bank Dunia (World Bank) melaporkan 60,3% atau sekitar 171,91 juta penduduk Indonesia masuk dalam kategori miskin. Sementara itu, BPS (Badan Pusat Statistik) menyebutkan bahwa per September 2024, angka kemiskinan hanya berada di 8,57% atau sekitar 24,06 juta saja. Selisih angka antara Bank Dunia dan BPS ini, menunjukkan adanya perbedaan standar dalam mengukur dan mengkategorikan kemiskinan, sehingga menimbulkan keragu-raguan terhadap realitas kemiskinan yang sebenarnya di lapangan. 

Menurut Bank Dunia, orang yang memiliki pengeluaran kurang dari Rp 113.777 per hari, dianggap sebagai orang miskin. Sementara garis kemiskinan menurut BPS pada September 2024, tercatat sebesar Rp595.242,00/kapita/ bulan. Artinya, apabila penghasilan seseorang 600.000/kapita/bulan, maka secara nasional tidak termasuk miskin, tetapi menjadi sangat miskin menurut standar internasional. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Perbedaan standar kemiskinan ini merupakan buah dari penerapan sistem Kapitalisme yang gagal memahami definisi kemiskinan sehingga kemiskinan di suatu tempat sangat berpotensi berbeda dengan tempat yang lain. Penafsiran kemiskinan juga sangat dipengaruhi oleh kepentingan politik dan ekonomi. Ujungnya, garis kemiskinan pun dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga negara bisa mengklaim telah sukses mengurangi angka kemiskinan agar terlihat baik di hadapan para investor. Lantas, bagaimanakah standar kemiskinan menurut Islam?

Dalam kitab Al-Amwal, karya Syaikh Abdul Qadim Zallum, definisi fakir dan miskin terdapat dalam pembahasan bab zakat. Orang yang fakir adalah orang yang penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti sandang, pangan, papan. Sementara orang yang miskin adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa, tidak memiliki rumah, dan mereka tidak meminta-minta kepada manusia. 

Orang fakir berbeda dengan orang miskin, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Swt. : “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, …” (At Taubah:60). 

Penyebutannya sebagai salah dua dari delapan golongan orang yang berhak menerima zakat, menunjukkan bahwa fakir dan miskin adalah dua golongan dengan kondisi yang berbeda. Orang yang fakir dan orang yang miskin, sama-sama boleh menerima zakat. Bedanya, orang fakir bisa mengeluarkan zakat ketika sudah bisa memenuhi kebutuhan pokoknya dan terbebas dari kefakirannya. Sedangkan orang miskin harus dihilangkan kemiskinannya dengan mencukupi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Lantas bagaimana dengan standar orang yang kaya menurut Islam?

Rasulullah ﷺ pernah ditanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang dapat dikatakan kaya atau apa yang menyebabkannya (pantas) dikatakan kaya?” Rasulullah menjawab: “Ia mempunyai 50 dirham atau nilai (tersebut) yang setara dengan emas” (HR. Al-Khamsah). 

Dari hadist tersebut, orang yang mempunyai 50 dirham perak, yaitu 148,75 gram perak atau emas dalam hitungan yang setara, dan merupakan kelebihan dari makanannya, pakaiannya, tempat tinggalnya, nafkah keluarganya dan anaknya, serta pembantunya, maka dia dianggap kaya, sehingga tidak boleh menerima harta zakat. Artinya, orang-orang yang berada di bawah standar inilah yang dianggap fakir atau miskin. Namun, kondisinya bersifat kasuistik.

Adapun kemiskinan yang sistemik yang terjadi dalam sistem Kapitalisme demokrasi, tidak dapat diselesaikan hanya dengan bekerja keras. Sebab, beban hidup yang ditanggung individu rakyat begitu banyak. Rakyat tidak hanya memikirkan sendiri biaya sandang, pangan, papannya tetapi juga memikirkan sendiri biaya pendidikan, kesehatan, bahkan peradilan dan keamanan. Hal inilah yang menjadikan individu rakyat semakin tidak mampu memenuhi kebutuhannya dan terjebak dalam kondisi miskin yang ekstrem. Kondisi ini menunjukkan betapa abainya negara terhadap rakyatnya. Negara yang seharusnya mengurus rakyat, agar tercukupi kebutuhannya dan sejahtera hidupnya, malah justru mengurus investor yang notabenenya adalah para kapitalis. 

Negara yang menjalankan sistem pemerintahan demokrasi, tidak benar-benar berperan sebagai pelayan rakyat sebagaimana jargonnya selama ini. Akan tetapi, negara demokrasi sejatinya hanya memainkan peran sebagai regulator yang membuat regulasi saja. Misalnya, regulasi tentang penanaman modal asing yang berpihak kepada swasta dan asing dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA). Padahal, SDA merupakan milik rakyat yang harus dikuasai oleh negara untuk kepentingan rakyat. Namun kenyataannya tidaklah demikian. 

Berbeda halnya ketika Islam diterapkan oleh negara. Sistem ekonomi Islam memandang segala pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu adalah tanggung jawab negara. Rasulullah ﷺ bersabda: “Imam (khalifah) adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Oleh karena itu, negara wajib memperhatikan individu rakyatnya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar yang berpatroli di malam hari untuk memastikan tidak ada rakyat yang kelaparan. Begitu pula ketika negara Islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Predikat nol mustahik diperoleh karena tidak ada orang yang berhak menerima zakat. Padahal, fakir dan miskin termasuk di dalam kategori mustahik. Hal ini membuktikan bahwa Islam benar-benar mampu menyelesaikan seluruh problem kehidupan manusia, termasuk dalam menghilangkan kemiskinan. Wallahu a’lam


Oleh: Desy Noor Wulandari 
(Pegiat Literasi)

Opini

×
Berita Terbaru Update