Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Sosialisme: Janji Palsu dan Otoritarianisme yang Gagal (Seri Islam Solusi Total dan Global Bagian 6)

Minggu, 04 Mei 2025 | 16:22 WIB Last Updated 2025-05-04T09:24:10Z

Tintasiyasi.ID -- Sosialisme pernah hadir sebagai janji manis atas nama keadilan. Ia mengklaim membela kaum buruh, melindungi rakyat kecil, juga melawan kerakusan pemodal. Sosialisme datang dengan slogan-slogan revolusioner: “tanah untuk rakyat”, “pabrik milik buruh”, “hapuskan kelas kapitalis”. Sekilas menggoda, seolah jadi solusi dari kejamnya kapitalisme.

 

Tetapi sejarah mencatat: sosialisme justru menjadi penjara besar yang menindas manusia bertopeng negara. Ia menjanjikan keadilan, tetetapi yang lahir adalah tirani. Ia ingin membebaskan manusia dari eksploitasi, tetetapi justru menggantinya dengan penindasan oleh negara.

 

Di bawah sistem ini, negara menjadi pemilik segalanya. Rakyat kehilangan hak milik, kehilangan kebebasan. Rakyat dipaksa tunduk pada penguasa tunggal, yang mengklaim mewakili rakyat.

 

Lihat Uni Soviet, negara superpower yang tumbang tanpa perang. Runtuh dari dalam karena korupsi, stagnasi ekonomi, dan represi brutal. Selama puluhan tahun, rakyat hidup di bawah sensor, kekurangan, dan ketakutan. Jutaan nyawa melayang. Bukan karena serangan asing, tetapi oleh kebijakan otoriter negara sendiri.

 

Cina pun serupa. Meski kini tampak kapitalis dalam wajahnya, struktur politiknya tetap sosialis-otoriter. Rakyat tidak bebas memilih pemimpin. Umat Islam Uighur dikepung kamp konsentrasi. Teknologi pengawasan digunakan untuk menindas, bukan melayani.

 

Kuba, Venezuela, Korea Utara. Semuanya jadi bukti betapa sosialisme bukanlah surga, tetapi jebakan. Mereka membungkam lawan politik, memiskinkan rakyat. Penguasanya menciptakan kasta elite baru yang justru menikmati kekuasaan atas nama revolusi.

 

Merusak Fitrah Manusia

 

Lebih parah, sosialisme tak sekadar gagal secara ekonomi dan politik. Ia juga merusak fitrah manusia. Dalam Islam, manusia adalah makhluk merdeka. Ia punya hak milik, kebebasan berpikir, dan tanggung jawab atas hidupnya sendiri. Sosialisme mencabut semua itu. Menjadikan negara sebagai Tuhan kecil. Rakyat? Cuma jadi pion yang harus tunduk sepenuhnya.

 

Janji-janji sosialisme memang terdengar agung. Tetapi ia lupa satu hal: keadilan tidak bisa lahir dari pemaksaan. Kesejahteraan tidak muncul dari perampasan hak milik. Dan kekuasaan absolut, meski mengatasnamakan rakyat, tetap akan menjadi alat kezaliman jika tanpa petunjuk dari Allah.

 

Maka wajar kalau sosialisme satu per satu tumbang. Runtuh karena kontradiksi internal. Hancur karena manusia tidak bisa hidup tanpa kebebasan. Dan lebih dari itu, karena sosialisme tidak pernah mengakui Tuhan sebagai sumber hukum dan keadilan.

 

Islam tidak berdiri di antara dua ekstrem. Kapitalisme yang rakus, atau sosialisme yang represif. Islam datang sebagai jalan tengah. Ia membolehkan kepemilikan pribadi, tetapi mengatur distribusi. Ia menghormati hak milik, tetapi melarang monopoli. Ia menyerahkan urusan publik pada negara, tetapi mewajibkan negara tunduk pada hukum Allah. Bukan pada elite partai atau para oligarki.

 

Sosialisme juga menggiring manusia untuk mempercayai bahwa negara tahu segalanya. Negara dianggap paling paham tentang kebutuhan rakyat. Maka muncullah konsep perencanaan ekonomi terpusat. Segala hal ditentukan dari atas.

 

Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Birokrasi membengkak, distribusi kacau, inovasi mati. Tanpa persaingan dan motivasi individu, produktivitas merosot. Tanpa pasar yang sehat, harga barang tidak mencerminkan realitas. Akhirnya, yang muncul bukan kesejahteraan, tetapi kelangkaan.

 

Ingat antrian roti di Moskow? Itu terjadi bukan karena bencana, tetapi karena sistem yang rusak. Rakyat dipaksa rela antre berjam-jam demi kebutuhan pokok. Sementara elite partai hidup dalam kemewahan. Mereka menjadi penguasa baru yang tak bisa dikritik, tak bisa diganti, dan tak bisa dimintai pertanggungjawaban. Di sinilah letak ironi sosialisme: atas nama membela rakyat, mereka justru menindas rakyat.

 

Sosialisme juga gagal membaca realitas bahwa manusia itu beragam, bukan seragam. Manusia berbeda dalam potensi, kemampuan, dan semangat. Sistem ini ingin menyamaratakan segalanya. Semua orang digiring ke dalam satu ukuran. Satu gaya hidup, satu paham.

 

Padahal keadilan bukan berarti semua harus sama. Keadilan adalah setiap orang mendapat haknya sesuai dengan kapasitas dan kontribusinya. Islam memahami ini. Karena itu, Islam tidak menyeragamkan manusiam. Islam mengatur agar setiap hak dan kewajiban seimbang, sesuai syariat.

 

Sosialisme Alergi terhadap Agama

 

Satu lagi masalah besar sosialisme: ia alergi terhadap agama. Di banyak negara sosialis, agama dianggap musuh negara. Masjid ditutup, madrasah dilarang, ulama ditangkap. Karena agama dianggap ancaman terhadap otoritas negara.

 

Akibatnya, masyarakat kehilangan nilai-nilai spiritual. Yang tersisa hanyalah kekosongan ideologi dan ketakutan. Tanpa panduan wahyu, manusia digiring menjadi alat produksi semata. Bukan makhluk mulia yang diciptakan untuk beribadah.

 

Berbeda dengan Islam yang menjadikan akidah sebagai fondasi sistem. Dalam Islam, negara adalah pelayan umat, bukan penguasa absolut. Kekuasaan harus dijalankan berdasarkan hukum Allah, bukan hawa nafsu elite partai. Ekonomi diatur agar sumber daya dikelola untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk kekayaan segelintir penguasa dan para kroninya. Islam menjaga keseimbangan antara hak individu dan tanggung jawab sosial. Tanpa merampas, tanpa memaksakan.

 

Maka, jika kapitalisme membunuh dengan eksploitasi. Sosialisme membunuh dengan pemaksaan. Keduanya gagal karena meninggalkan petunjuk Allah. Keduanya bangkrut karena mendewakan manusia sebagai pembuat hukum. Keduanya hancur karena menolak Islam sebagai jalan hidup.

 

Dan inilah yang mesti kita sadarkan kepada umat: jangan pernah tergoda lagi dengan janji-janji sistem buatan manusia. Sudah cukup umat menjadi kelinci percobaan ideologi impor. Sudah cukup bangsa ini menjadi korban dari sistem yang hanya memindahkan kekuasaan dari satu elite ke elite lain.

 

Saatnya kita kembali pada Islam. Bukan sekadar sebagai agama pribadi, tetapi sebagai sistem hidup. Kembali pada Islam yang mengatur negara, ekonomi, politik, hukum, dan seluruh aspek kehidupan.

 

Islam bukan utopia. Islam pernah berjaya. Pernah memimpin dunia. Dan akan kembali memimpin dunia, in sya Allah. Dan itu terjadi ketika umatnya bangkit, percaya bahwa hanya Islam yang layak jadi solusi total dan global.


(Bersambung ke Bagian 7- Sekularisme dan Pluralisme: Penipuan Intelektual Global! In sya Allah)

 

Jakarta, 30 April 2025


 

Oleh: Edy Mulyadi

Wartawan Senior

Opini

×
Berita Terbaru Update