Tetapi
sejarah mencatat: sosialisme justru menjadi penjara besar yang menindas manusia
bertopeng negara. Ia menjanjikan keadilan, tetetapi yang lahir adalah tirani.
Ia ingin membebaskan manusia dari eksploitasi, tetetapi justru menggantinya
dengan penindasan oleh negara.
Di bawah
sistem ini, negara menjadi pemilik segalanya. Rakyat kehilangan hak milik,
kehilangan kebebasan. Rakyat dipaksa tunduk pada penguasa tunggal, yang
mengklaim mewakili rakyat.
Lihat Uni
Soviet, negara superpower yang tumbang tanpa perang. Runtuh dari dalam karena
korupsi, stagnasi ekonomi, dan represi brutal. Selama puluhan tahun, rakyat
hidup di bawah sensor, kekurangan, dan ketakutan. Jutaan nyawa melayang. Bukan
karena serangan asing, tetapi oleh kebijakan otoriter negara sendiri.
Cina pun
serupa. Meski kini tampak kapitalis dalam wajahnya, struktur politiknya tetap
sosialis-otoriter. Rakyat tidak bebas memilih pemimpin. Umat Islam Uighur
dikepung kamp konsentrasi. Teknologi pengawasan digunakan untuk menindas, bukan
melayani.
Kuba,
Venezuela, Korea Utara. Semuanya jadi bukti betapa sosialisme bukanlah surga, tetapi
jebakan. Mereka membungkam lawan politik, memiskinkan rakyat. Penguasanya
menciptakan kasta elite baru yang justru menikmati kekuasaan atas nama
revolusi.
Merusak
Fitrah Manusia
Lebih parah,
sosialisme tak sekadar gagal secara ekonomi dan politik. Ia juga merusak fitrah
manusia. Dalam Islam, manusia adalah makhluk merdeka. Ia punya hak milik,
kebebasan berpikir, dan tanggung jawab atas hidupnya sendiri. Sosialisme
mencabut semua itu. Menjadikan negara sebagai Tuhan kecil. Rakyat? Cuma jadi
pion yang harus tunduk sepenuhnya.
Janji-janji
sosialisme memang terdengar agung. Tetapi ia lupa satu hal: keadilan tidak bisa
lahir dari pemaksaan. Kesejahteraan tidak muncul dari perampasan hak milik. Dan
kekuasaan absolut, meski mengatasnamakan rakyat, tetap akan menjadi alat
kezaliman jika tanpa petunjuk dari Allah.
Maka wajar
kalau sosialisme satu per satu tumbang. Runtuh karena kontradiksi internal.
Hancur karena manusia tidak bisa hidup tanpa kebebasan. Dan lebih dari itu,
karena sosialisme tidak pernah mengakui Tuhan sebagai sumber hukum dan
keadilan.
Islam tidak
berdiri di antara dua ekstrem. Kapitalisme yang rakus, atau sosialisme yang
represif. Islam datang sebagai jalan tengah. Ia membolehkan kepemilikan
pribadi, tetapi mengatur distribusi. Ia menghormati hak milik, tetapi melarang
monopoli. Ia menyerahkan urusan publik pada negara, tetapi mewajibkan negara
tunduk pada hukum Allah. Bukan pada elite partai atau para oligarki.
Sosialisme
juga menggiring manusia untuk mempercayai bahwa negara tahu segalanya. Negara
dianggap paling paham tentang kebutuhan rakyat. Maka muncullah konsep
perencanaan ekonomi terpusat. Segala hal ditentukan dari atas.
Tetapi yang
terjadi justru sebaliknya. Birokrasi membengkak, distribusi kacau, inovasi
mati. Tanpa persaingan dan motivasi individu, produktivitas merosot. Tanpa
pasar yang sehat, harga barang tidak mencerminkan realitas. Akhirnya, yang
muncul bukan kesejahteraan, tetapi kelangkaan.
Ingat antrian
roti di Moskow? Itu terjadi bukan karena bencana, tetapi karena sistem yang
rusak. Rakyat dipaksa rela antre berjam-jam demi kebutuhan pokok. Sementara
elite partai hidup dalam kemewahan. Mereka menjadi penguasa baru yang tak bisa
dikritik, tak bisa diganti, dan tak bisa dimintai pertanggungjawaban. Di sinilah
letak ironi sosialisme: atas nama membela rakyat, mereka justru menindas
rakyat.
Sosialisme
juga gagal membaca realitas bahwa manusia itu beragam, bukan seragam. Manusia
berbeda dalam potensi, kemampuan, dan semangat. Sistem ini ingin menyamaratakan
segalanya. Semua orang digiring ke dalam satu ukuran. Satu gaya hidup, satu
paham.
Padahal
keadilan bukan berarti semua harus sama. Keadilan adalah setiap orang mendapat
haknya sesuai dengan kapasitas dan kontribusinya. Islam memahami ini. Karena
itu, Islam tidak menyeragamkan manusiam. Islam mengatur agar setiap hak dan
kewajiban seimbang, sesuai syariat.
Sosialisme
Alergi terhadap Agama
Satu lagi
masalah besar sosialisme: ia alergi terhadap agama. Di banyak negara sosialis,
agama dianggap musuh negara. Masjid ditutup, madrasah dilarang, ulama
ditangkap. Karena agama dianggap ancaman terhadap otoritas negara.
Akibatnya,
masyarakat kehilangan nilai-nilai spiritual. Yang tersisa hanyalah kekosongan
ideologi dan ketakutan. Tanpa panduan wahyu, manusia digiring menjadi alat
produksi semata. Bukan makhluk mulia yang diciptakan untuk beribadah.
Berbeda
dengan Islam yang menjadikan akidah sebagai fondasi sistem. Dalam Islam, negara
adalah pelayan umat, bukan penguasa absolut. Kekuasaan harus dijalankan
berdasarkan hukum Allah, bukan hawa nafsu elite partai. Ekonomi diatur agar
sumber daya dikelola untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk kekayaan
segelintir penguasa dan para kroninya. Islam menjaga keseimbangan antara hak
individu dan tanggung jawab sosial. Tanpa merampas, tanpa memaksakan.
Maka, jika
kapitalisme membunuh dengan eksploitasi. Sosialisme membunuh dengan pemaksaan.
Keduanya gagal karena meninggalkan petunjuk Allah. Keduanya bangkrut karena
mendewakan manusia sebagai pembuat hukum. Keduanya hancur karena menolak Islam
sebagai jalan hidup.
Dan inilah
yang mesti kita sadarkan kepada umat: jangan pernah tergoda lagi dengan
janji-janji sistem buatan manusia. Sudah cukup umat menjadi kelinci percobaan
ideologi impor. Sudah cukup bangsa ini menjadi korban dari sistem yang hanya
memindahkan kekuasaan dari satu elite ke elite lain.
Saatnya kita
kembali pada Islam. Bukan sekadar sebagai agama pribadi, tetapi sebagai sistem
hidup. Kembali pada Islam yang mengatur negara, ekonomi, politik, hukum, dan
seluruh aspek kehidupan.
Islam bukan
utopia. Islam pernah berjaya. Pernah memimpin dunia. Dan akan kembali memimpin
dunia, in sya Allah. Dan itu terjadi ketika umatnya bangkit, percaya bahwa
hanya Islam yang layak jadi solusi total dan global.
(Bersambung ke Bagian 7- Sekularisme dan Pluralisme: Penipuan Intelektual Global! In sya Allah)
Jakarta, 30
April 2025
Wartawan Senior