Namun di
balik slogan manis itu, demokrasi menyimpan borok yang menganga. Ia bukan
kedaulatan rakyat. Ia adalah panggung sandiwara kekuasaan. Tempat segelintir
elit bermain peran atas nama rakyat yang ditinggal di belakang layar.
Di Indonesia,
demokrasi telah berubah menjadi demokrasi transaksional. Di era reformasi,
demokrasi prosedural bahkan bermetamorfosis jadi demokrasi kriminal.
Pemilu bukan
lagi ajang adu gagasan. Pemilu adalah lomba modal dan logistik. Parpol bukan
lagi wadah perjuangan ideologi, tetapi sekadar kendaraan menuju kekuasaan dan
bancakan.
Siapa yang
punya uang, dialah yang berkuasa. Dan siapa yang berkuasa, pasti akan
memastikan uangnya kembali berkali lipat. Jalannya lewat proyek, rente, dan
kebijakan yang menguntungkan pemodal.
Kasus demi
kasus membuktikan itu. Dari politik uang yang merajalela, mahar politik yang
menjadi rahasia umum, hingga pemilu yang penuh manipulasi. Lihat Pilpres 2024,
banyak pengamat menyebutnya sebagai pemilu paling brutal sejak reformasi.
Seorang presiden aktif terang-terangan cawe-cawe. Aparat dikerahkan. Bansos
digelontorkan. MK ditelikung dan dipermainkan. Rakyat dimobilisasi. Semua demi
memenangkan calon yang dianggap bisa menjamin kelanjutan oligarki. Lalu, di mana
kedaulatan rakyat?
Siapa yang
Sebenarnya Berdaulat?
Demokrasi
juga gagal menghadirkan wakil rakyat yang benar-benar mewakili rakyat. DPR
berubah menjadi stempel kekuasaan. Undang-undang disahkan bukan berdasarkan
kebutuhan rakyat, melainkan pesanan korporasi. UU Omnibus Law, misalnya,
disusun diam-diam, kilat, dan pro pemodal. Rakyat menolak? Rezim malah
menertawakan. Beberapa bahkan dikriminalisasi dan berakhir di penjara. Lalu
siapa yang sebenarnya berdaulat?
Di tingkat
global, demokrasi juga gagal total. Amerika Serikat, sang kampiun demokrasi,
justru menjadi sponsor kudeta, perang, dan intervensi di berbagai negeri. Irak,
Libya, Suriah, hingga Palestina adalah bukti kebrutalan Amerika atas nama
demokrasi.
Demokrasi di
AS sendiri justru semakin timpang. Hanya dua partai yang mendominasi. Dana
kampanye miliaran dolar hanya bisa diakses segelintir elite. Ketimpangan
ekonomi, rasisme, dan krisis moral justru merajalela di negeri itu.
Afrika?
Demokrasi malah membuka jalan bagi boneka-boneka Barat untuk naik takhta.
Setelah berkuasa, mereka menjual sumber daya alam ke perusahaan multinasional.
Semua itu dilakukan sambil mengabaikan kemiskinan dan penderitaan rakyatnya
sendiri. Rakyat memilih, tapi yang berkuasa tetaplah pemilik modal dan pengaruh
asing.
Faktanya,
demokrasi tidak pernah benar-benar mewujudkan kedaulatan rakyat. Ia hanya
menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan oligarki. Para pemodal menciptakan ilusi
bahwa rakyat berkuasa, padahal yang berkuasa adalah bandar yang membiayai para
politisi. Demokrasi bukan jalan keluar. Ia adalah bagian dari masalah.
Lebih parah
lagi, demokrasi meletakkan kedaulatan tertinggi di tangan manusia, bukan Tuhan.
Ini adalah akar dari kerusakan demokrasi. Karena manusia, dengan segala
keterbatasannya, tak akan pernah bisa membuat hukum yang adil dan sempurna.
Akibatnya, hukum berubah-ubah, sesuai kepentingan. Norma bergantung pada selera
mayoritas. Yang benar bisa disalahkan. Yang salah bisa dilegalkan. Semua
tergantung hasil voting dan lobi politik.
Di sinilah
letak kehancuran peradaban. Pangkalnya, ketika manusia merasa lebih layak
membuat hukum daripada Penciptanya. Allah Taala mengingatkan dalam Al-Qur’an:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۚ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
Sesungguhnya
hukum itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain-Nya. (QS Yusuf [12]: 40)
Ayat ini
menegaskan bahwa hukum dan aturan hidup hanya layak dibuat oleh Allah. Bukan
manusia. Maka sistem yang memosisikan manusia sebagai pembuat hukum tertinggi,
secara prinsip sudah menyimpang dan melawan ketauhidan. Inilah akar demokrasi.
Kesimpulannya,
demokrasi bukan jalan penyelamat. Ia adalah ilusi. Sebuah sistem yang rusak
secara akar dan telah gagal total di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Tentu saja.
Umat Islam
harus berhenti berharap pada demokrasi. Kita harus menoleh ke arah lain. Kita
butuh sistem yang meletakkan kedaulatan pada zat yang Maha Adil dan Maha Tahu.
Itulah Islam!
(Bersambung
ke Bagian 1.2; KAPITALISME – MESIN PEMISKINAN DAN KRISIS TANPA AKHIR.
In sya Allah)
Jakarta, 3
Mei 2025
Oleh: Edy
Mulyadi
Wartawan
Senior