Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Demokrasi: Ilusi Kedaulatan Rakyat (Seri Kegagalan Sistem-Sistem Global 1)

Selasa, 06 Mei 2025 | 22:33 WIB Last Updated 2025-05-07T15:56:48Z

Tintasiyasi.ID -- Demokrasi kerap digadang-gadang sebagai sistem terbaik yang pernah lahir dari sejarah manusia modern. Sebuah sistem yang konon memberi ruang seluas-luasnya bagi rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri. Government of the people, by the people, for the people. Begitu semboyannya.

 

Namun di balik slogan manis itu, demokrasi menyimpan borok yang menganga. Ia bukan kedaulatan rakyat. Ia adalah panggung sandiwara kekuasaan. Tempat segelintir elit bermain peran atas nama rakyat yang ditinggal di belakang layar.

 

Di Indonesia, demokrasi telah berubah menjadi demokrasi transaksional. Di era reformasi, demokrasi prosedural bahkan bermetamorfosis jadi demokrasi kriminal.

 

Pemilu bukan lagi ajang adu gagasan. Pemilu adalah lomba modal dan logistik. Parpol bukan lagi wadah perjuangan ideologi, tetapi sekadar kendaraan menuju kekuasaan dan bancakan.

 

Siapa yang punya uang, dialah yang berkuasa. Dan siapa yang berkuasa, pasti akan memastikan uangnya kembali berkali lipat. Jalannya lewat proyek, rente, dan kebijakan yang menguntungkan pemodal.

 

Kasus demi kasus membuktikan itu. Dari politik uang yang merajalela, mahar politik yang menjadi rahasia umum, hingga pemilu yang penuh manipulasi. Lihat Pilpres 2024, banyak pengamat menyebutnya sebagai pemilu paling brutal sejak reformasi. Seorang presiden aktif terang-terangan cawe-cawe. Aparat dikerahkan. Bansos digelontorkan. MK ditelikung dan dipermainkan. Rakyat dimobilisasi. Semua demi memenangkan calon yang dianggap bisa menjamin kelanjutan oligarki. Lalu, di mana kedaulatan rakyat?

 

Siapa yang Sebenarnya Berdaulat?

 

Demokrasi juga gagal menghadirkan wakil rakyat yang benar-benar mewakili rakyat. DPR berubah menjadi stempel kekuasaan. Undang-undang disahkan bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, melainkan pesanan korporasi. UU Omnibus Law, misalnya, disusun diam-diam, kilat, dan pro pemodal. Rakyat menolak? Rezim malah menertawakan. Beberapa bahkan dikriminalisasi dan berakhir di penjara. Lalu siapa yang sebenarnya berdaulat?

 

Di tingkat global, demokrasi juga gagal total. Amerika Serikat, sang kampiun demokrasi, justru menjadi sponsor kudeta, perang, dan intervensi di berbagai negeri. Irak, Libya, Suriah, hingga Palestina adalah bukti kebrutalan Amerika atas nama demokrasi.

 

Demokrasi di AS sendiri justru semakin timpang. Hanya dua partai yang mendominasi. Dana kampanye miliaran dolar hanya bisa diakses segelintir elite. Ketimpangan ekonomi, rasisme, dan krisis moral justru merajalela di negeri itu.

 

Afrika? Demokrasi malah membuka jalan bagi boneka-boneka Barat untuk naik takhta. Setelah berkuasa, mereka menjual sumber daya alam ke perusahaan multinasional. Semua itu dilakukan sambil mengabaikan kemiskinan dan penderitaan rakyatnya sendiri. Rakyat memilih, tapi yang berkuasa tetaplah pemilik modal dan pengaruh asing.

 

Faktanya, demokrasi tidak pernah benar-benar mewujudkan kedaulatan rakyat. Ia hanya menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan oligarki. Para pemodal menciptakan ilusi bahwa rakyat berkuasa, padahal yang berkuasa adalah bandar yang membiayai para politisi. Demokrasi bukan jalan keluar. Ia adalah bagian dari masalah.

 

Lebih parah lagi, demokrasi meletakkan kedaulatan tertinggi di tangan manusia, bukan Tuhan. Ini adalah akar dari kerusakan demokrasi. Karena manusia, dengan segala keterbatasannya, tak akan pernah bisa membuat hukum yang adil dan sempurna. Akibatnya, hukum berubah-ubah, sesuai kepentingan. Norma bergantung pada selera mayoritas. Yang benar bisa disalahkan. Yang salah bisa dilegalkan. Semua tergantung hasil voting dan lobi politik.

 

Di sinilah letak kehancuran peradaban. Pangkalnya, ketika manusia merasa lebih layak membuat hukum daripada Penciptanya. Allah Taala mengingatkan dalam Al-Qur’an:

 

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۚ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ

 

Sesungguhnya hukum itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain-Nya. (QS Yusuf [12]: 40)

 

Ayat ini menegaskan bahwa hukum dan aturan hidup hanya layak dibuat oleh Allah. Bukan manusia. Maka sistem yang memosisikan manusia sebagai pembuat hukum tertinggi, secara prinsip sudah menyimpang dan melawan ketauhidan. Inilah akar demokrasi.

 

Kesimpulannya, demokrasi bukan jalan penyelamat. Ia adalah ilusi. Sebuah sistem yang rusak secara akar dan telah gagal total di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Tentu saja.

 

Umat Islam harus berhenti berharap pada demokrasi. Kita harus menoleh ke arah lain. Kita butuh sistem yang meletakkan kedaulatan pada zat yang Maha Adil dan Maha Tahu. Itulah Islam!

 

(Bersambung ke Bagian 1.2; KAPITALISME – MESIN PEMISKINAN DAN KRISIS TANPA AKHIR. In sya Allah)

 

Jakarta, 3 Mei 2025

 

 

Oleh: Edy Mulyadi

Wartawan Senior

Opini

×
Berita Terbaru Update