Kapitalisme
melegalkan monopoli, bahkan menjadikannya norma. Di tangan sistem ini, kekayaan
terpusat di beberapa titik. Sementara wilayah luas dunia menjadi ladang
eksploitasi.
Oxfam dalam
laporan tahunannya menyebutkan, bahwa 1 persen orang terkaya di dunia menguasai
lebih banyak kekayaan daripada 99 persen sisanya. Ketimpangan ini bukan
anomali, tapi konsekuensi logis dari kapitalisme itu sendiri.
Oya, Oxfam
adalah konfederasi organisasi nonpemerintah (LSM) independen yang fokus pada
pengentasan kemiskinan global dan keadilan. Organisasi ini didirikan di Inggris
pada tahun 1942. Sekarang memiliki 20 anggota organisasi yang bekerja di
berbagai negara.
Sumber daya
yang melimpah, seperti tambang, air, hutan, dan lautan, diprivatisasi.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia dipaksa membuka keran investasi
sebesar-besarnya. Selanjunya kekayaan alam dikuras habis oleh korporasi
multinasional. Dalam sistem kapitalisme, negara justru berfungsi sebagai
pelayan modal, bukan pelindung rakyat.
Krisis Demi
Krisis Jadi Keniscayaan
Kapitalisme
bukan hanya gagal menghapus kemiskinan. Kapitalisme justru menciptakan
kemiskinan struktural dan krisis sistemik. Lihat saja sejarahnya: krisis besar
tahun 1929 (Great Depression), krisis minyak 1973, krisis Asia 1997, krisis
keuangan global 2008. Juga krisis rantai pasok dan inflasi global pasca pandemi
Covid-19. Semuanya berpangkal pada spekulasi, utang, dan kerakusan pasar bebas.
Kapitalisme
mendorong sektor keuangan tumbuh tak terkendali. Uang dicetak tanpa basis riil.
Perbankan menciptakan uang lewat sistem utang berbunga. Derivatif, saham,
obligasi, dan instrumen spekulatif menjadi ladang cuan segelintir elit.
Sementara rakyat jadi korban gelombang inflasi, PHK massal, dan utang pribadi
yang menumpuk.
Di Indonesia,
krisis moneter 1998 dan jebakan utang saat ini adalah contoh nyata. Demi
membayar bunga dan cicilan utang luar negeri, APBN dikorbankan. Sementara
sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan justru dibiayai
seadanya. Negara seperti terjerat dalam jebakan utang abadi.
Data APBN
2025 menyebut, total pembayaran utang mencapai Rp1.353,2 triliun. Angka ini
muncul dari pembayaran bunga Rp552,9 triliun plus cicilan pokok Rp800,3
triliun. Volume belanja APBN tahun ini Rp3.621 triliun. Artinya sekitar 37,7
persen APBN kita habis untuk bayar utang!
Pantas saja
pelayanan negara kepada rakyat belepotan. Harga-harga selangit mahalnya.
Apalagi sisa anggaran APBN itu sebagian besar habis untuk membiayai birokrasi:
gaji, bermacam fasilitas, perjalanan dinas, dan lainnya. Semua masih diperparah
dengan korupsi yang merajalela.
Kapitalisme
dan Kerusakan Lingkungan
Kapitalisme
bukan hanya merusak manusia. Ia juga menghancurkan alam. Logika utamanya adalah
akumulasi keuntungan maksimal dalam waktu sesingkat-singkatnya. Maka,
eksploitasi brutal atas alam menjadi tak terelakkan.
Hutan
digunduli. Tambang dikeruk tanpa kendali. Industri mencemari udara, air, serta
tanah. Pemanasan global, krisis iklim, polusi mikroplastik, bahkan punahnya
keanekaragaman hayati. Semuanya adalah harga mahal yang harus dibayar demi
pertumbuhan ekonomi kapitalistik.
Ironisnya,
ketika dampaknya muncul, rakyat kecil yang paling menderita. Petani gagal panen
karena cuaca ekstrem. Nelayan kehilangan ikan karena laut tercemar. Penduduk
kota terserang penyakit akibat udara beracun. Sementara korporasi besar tetap
menikmati insentif, relaksasi pajak, dan berbagai kemudahan lainnya.
Kapitalisme
Tidak Bisa Direformasi, tetapapi Harus Diganti.
Berbagai
upaya mereformasi kapitalisme terus dilakukan. Antara lain, green capitalism,
inclusive economy, ESG (Environmental, Social, Governance),
atau pajak karbon. Tapi semua gagal menyentuh akar masalah. Semua itu hanya
plester ideologis atas luka yang menganga. Masalahnya bukan sekadar pada teknis
distribusi atau etika bisnis. Masalah utamanya ada pada asas dan paradigma
sistem itu sendiri.
Islam
memandang kepemilikan umum seperti tambang besar, hutan, dan air, tidak boleh
dimiliki individu atau korporasi. Rasulullah saw. bersabda:
«المُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي
الْمَاءِ، وَالْكَلَأِ، وَالنَّارِ»
Kaum Muslim
berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi).
(HR Abu Dawud
dan Ibnu Majah)
Sistem Islam
menempatkan negara sebagai pengelola amanah. Bukan broker investasi. Arah
ekonominya bukan pada pertumbuhan yang semu, tapi pada pemerataan dan
keberkahan. Tidak ada bunga, tidak ada spekulasi, tidak ada utang ribawi yang
memperbudak.
Dunia Butuh
Sistem Alternatif, Islam!
Kegagalan
kapitalisme bukan sekadar soal statistik dan krisis ekonomi. Ini tentang
peradaban yang rusak dan orientasi hidup yang keliru. Yang paling utama, ini
soal pengingkaran terhadap fitrah manusia.
Dunia sedang
mencari jalan keluar dari labirin ini. Dan Islam menawarkan bukan sekadar
jalan, tapi peta besar. Islam sebagai agama sekaligus sistem ekonomi yang adil,
stabil, dan manusiawi.
(Bersambung
ke Bagian 1.3; Sosialisme, Janji Palsu Pembela Kaum Tertindas. In
sya Allah)
Jakarta, 4
Mei 2025
Oleh: Edy
Mulyadi
Wartawan
Senior