Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Kapitalisme: Mesin Pemiskinan dan Krisis Tanpa Akhir (Seri Kegagalan Sistem-Sistem Global 2)

Selasa, 06 Mei 2025 | 22:35 WIB Last Updated 2025-05-07T15:57:50Z

Tintasiyasi.ID -- Kapitalisme adalah sistem yang menjanjikan kemakmuran. Tapi faktanya justru menyebar kesenjangan dan penderitaan. Ia dibangun di atas asas kebebasan kepemilikan dan logika akumulasi modal. Hasilnya? Dunia dikuasai segelintir korporasi. Sedangkan miliaran manusia lainnya harus berjuang sekadar untuk makan dan memenuhi kebutuhan dasar.

 

Kapitalisme melegalkan monopoli, bahkan menjadikannya norma. Di tangan sistem ini, kekayaan terpusat di beberapa titik. Sementara wilayah luas dunia menjadi ladang eksploitasi.

 

Oxfam dalam laporan tahunannya menyebutkan, bahwa 1 persen orang terkaya di dunia menguasai lebih banyak kekayaan daripada 99 persen sisanya. Ketimpangan ini bukan anomali, tapi konsekuensi logis dari kapitalisme itu sendiri.

 

Oya, Oxfam adalah konfederasi organisasi nonpemerintah (LSM) independen yang fokus pada pengentasan kemiskinan global dan keadilan. Organisasi ini didirikan di Inggris pada tahun 1942. Sekarang memiliki 20 anggota organisasi yang bekerja di berbagai negara.

 

Sumber daya yang melimpah, seperti tambang, air, hutan, dan lautan, diprivatisasi. Negara-negara berkembang seperti Indonesia dipaksa membuka keran investasi sebesar-besarnya. Selanjunya kekayaan alam dikuras habis oleh korporasi multinasional. Dalam sistem kapitalisme, negara justru berfungsi sebagai pelayan modal, bukan pelindung rakyat.

 

Krisis Demi Krisis Jadi Keniscayaan

 

Kapitalisme bukan hanya gagal menghapus kemiskinan. Kapitalisme justru menciptakan kemiskinan struktural dan krisis sistemik. Lihat saja sejarahnya: krisis besar tahun 1929 (Great Depression), krisis minyak 1973, krisis Asia 1997, krisis keuangan global 2008. Juga krisis rantai pasok dan inflasi global pasca pandemi Covid-19. Semuanya berpangkal pada spekulasi, utang, dan kerakusan pasar bebas.

 

Kapitalisme mendorong sektor keuangan tumbuh tak terkendali. Uang dicetak tanpa basis riil. Perbankan menciptakan uang lewat sistem utang berbunga. Derivatif, saham, obligasi, dan instrumen spekulatif menjadi ladang cuan segelintir elit. Sementara rakyat jadi korban gelombang inflasi, PHK massal, dan utang pribadi yang menumpuk.

 

Di Indonesia, krisis moneter 1998 dan jebakan utang saat ini adalah contoh nyata. Demi membayar bunga dan cicilan utang luar negeri, APBN dikorbankan. Sementara sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan pangan justru dibiayai seadanya. Negara seperti terjerat dalam jebakan utang abadi.

 

Data APBN 2025 menyebut, total pembayaran utang mencapai Rp1.353,2 triliun. Angka ini muncul dari pembayaran bunga Rp552,9 triliun plus cicilan pokok Rp800,3 triliun. Volume belanja APBN tahun ini Rp3.621 triliun. Artinya sekitar 37,7 persen APBN kita habis untuk bayar utang!

 

Pantas saja pelayanan negara kepada rakyat belepotan. Harga-harga selangit mahalnya. Apalagi sisa anggaran APBN itu sebagian besar habis untuk membiayai birokrasi: gaji, bermacam fasilitas, perjalanan dinas, dan lainnya. Semua masih diperparah dengan korupsi yang merajalela.

 

Kapitalisme dan Kerusakan Lingkungan

 

Kapitalisme bukan hanya merusak manusia. Ia juga menghancurkan alam. Logika utamanya adalah akumulasi keuntungan maksimal dalam waktu sesingkat-singkatnya. Maka, eksploitasi brutal atas alam menjadi tak terelakkan.

 

Hutan digunduli. Tambang dikeruk tanpa kendali. Industri mencemari udara, air, serta tanah. Pemanasan global, krisis iklim, polusi mikroplastik, bahkan punahnya keanekaragaman hayati. Semuanya adalah harga mahal yang harus dibayar demi pertumbuhan ekonomi kapitalistik.

 

Ironisnya, ketika dampaknya muncul, rakyat kecil yang paling menderita. Petani gagal panen karena cuaca ekstrem. Nelayan kehilangan ikan karena laut tercemar. Penduduk kota terserang penyakit akibat udara beracun. Sementara korporasi besar tetap menikmati insentif, relaksasi pajak, dan berbagai kemudahan lainnya.

 

Kapitalisme Tidak Bisa Direformasi, tetapapi Harus Diganti.

 

Berbagai upaya mereformasi kapitalisme terus dilakukan. Antara lain, green capitalism, inclusive economy, ESG (Environmental, Social, Governance), atau pajak karbon. Tapi semua gagal menyentuh akar masalah. Semua itu hanya plester ideologis atas luka yang menganga. Masalahnya bukan sekadar pada teknis distribusi atau etika bisnis. Masalah utamanya ada pada asas dan paradigma sistem itu sendiri.

 

Islam memandang kepemilikan umum seperti tambang besar, hutan, dan air, tidak boleh dimiliki individu atau korporasi. Rasulullah saw. bersabda:

 

«المُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْمَاءِ، وَالْكَلَأِ، وَالنَّارِ»

 

Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api (energi).

(HR Abu Dawud dan Ibnu Majah)

 

Sistem Islam menempatkan negara sebagai pengelola amanah. Bukan broker investasi. Arah ekonominya bukan pada pertumbuhan yang semu, tapi pada pemerataan dan keberkahan. Tidak ada bunga, tidak ada spekulasi, tidak ada utang ribawi yang memperbudak.

 

Dunia Butuh Sistem Alternatif, Islam!

 

Kegagalan kapitalisme bukan sekadar soal statistik dan krisis ekonomi. Ini tentang peradaban yang rusak dan orientasi hidup yang keliru. Yang paling utama, ini soal pengingkaran terhadap fitrah manusia.

 

Dunia sedang mencari jalan keluar dari labirin ini. Dan Islam menawarkan bukan sekadar jalan, tapi peta besar. Islam sebagai agama sekaligus sistem ekonomi yang adil, stabil, dan manusiawi.

 

(Bersambung ke Bagian 1.3; Sosialisme, Janji Palsu Pembela Kaum Tertindas. In sya Allah)

 

Jakarta, 4 Mei 2025

 

 

Oleh: Edy Mulyadi

Wartawan Senior

Opini

×
Berita Terbaru Update