TintaSiyasi.id -- Ibu adalah poros kehidupan dalam sebuah keluarga. Dari dirinya mengalir kasih sayang, arah didikan, dan ketenangan dalam keluarga. Sejak awal melihat dunia, seorang anak bergantung penuh pada kehadiran sosok ibu, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara batin. Oleh karena itulah Islam memandang ibu sebagai ummu wa rabbatul bait, ibu sekaligus pengelola dan penjaga nilai dalam rumah yang memikul amanah besar.
Allah Swt., menegaskan hal ini dalam QS. Luqman ayat 14:
"Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun".
Dalam keluarga, ibu memegang peran yang tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Ia menjadi figur pertama yang membentuk cara pandang anak terhadap kehidupan. Dari tutur katanya, anak belajar berbicara, dari sikapnya anak belajar bersikap, dari kebiasaan yang ia bangun di rumah, anak mencerap nilai-nilai yang kelak menjadi dasar kepribadiannya. Oleh sebab itu, kuat atau rapuhnya sebuah keluarga sangat ditentukan oleh bagaimana seorang ibu menjalankan perannya sebagai pendidik utama dalam pembentukan jiwa dan karakter anak.
Peran ibu bukan hanya mengurusi urusan rumah tangga semata, tetapi seorang ibu mampu menjadi pendamping, pendengar, penasihat, dan pemberi contoh kepada anak-anaknya dalam menanamkan nilai kesabaran, tanggung jawab, empati, serta keimanan. Anak-anak yang tumbuh dalam sentuhan nilai agama dan kasih sayang ibu akan memiliki ketahanan mental dan kepribadian yang lebih kokoh dalam menghadapi kehidupan.
Di dalam rumah tangga, kehadiran ibu menjadi penyangga kestabilan emosional keluarga. Ia menjadi tempat kembali bagi anak-anak dan penenang bagi suaminya. Ketika ibu menjalankan perannya dengan kesadaran iman, rumah tidak sekadar menjadi tempat tinggal, tetapi ruang aman yang melahirkan rasa percaya, ketenteraman, dan harapan. Akan tetapi, realitas sosial menunjukkan bahwa peran penting ibu sering kali berada dalam tekanan yang berat. Beban ekonomi, hubungan rumah tangga yang tidak sehat, serta tuntutan sosial yang tinggi, kerap menggerus ketahanan mental seorang ibu dan fungsi pengasuhan pun melemah.
Kondisi ini tercermin dari beberapa data yang menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi di Indonesia, bahkan di lingkungan keluarga. Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur mencatat bahwa sepanjang Januari hingga Desember 2025 terjadi 570 kasus kekerasan terhadap anak, angka yang tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya yang mencapai 578 kasus (detik.com, 22 Desember 2025).
Sumber lain dari aplikasi Sistem Informasi Online (SIMFONI) milik Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mencatat bahwa sepanjang Januari hingga akhir Juni 2025 terdapat 13.845 kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan seksual sebagai jenis yang paling dominan (detik.com, 30 Juni 2025).
Kasus-kasus tersebut tidak muncul secara tiba-tiba. Tekanan ekonomi yang berkepanjangan, kekerasan dalam rumah tangga, serta gangguan kesehatan mental yang tidak tertangani dengan cepat, sering kali menjadi latar belakangnya. Dalam kondisi tertekan dan kehilangan pegangan, sebagian ibu tidak mampu mengelola emosi dan beban hidupnya dengan baik.
Fenomena ini juga tidak terlepas dari sistem kehidupan kapitalisme sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini, keberhasilan hidup diukur terutama dari capaian materi dan kesenangan duniawi. Sementara nilai-nilai agama didorong ke ruang pribadi semata. Akibatnya, fungsi keluarga mengalami pergeseran makna, agama tidak lagi menjadi fondasi pengasuhan dan pengambilan keputusan di dalam rumah, keluarga pun menjadi rapuh dan mudah kehilangan arah.
Dalam kondisi seperti ini, muncul pula kecenderungan sebagian orang tua, khususnya ibu, yang secara tidak sadar mengalihkan hampir seluruh tanggung jawab pendidikan dan pengasuhan anak kepada pihak sekolah. Sekolah sering diposisikan seolah-olah menjadi tempat untuk memperbaiki seluruh perilaku anak, sementara rumah hanya berfungsi sebagai tempat singgah. Padahal, sekolah sejatinya berperan sebagai mitra, bukan pengganti peran ibu dalam membentuk karakter, akhlak, dan kepribadian anak. Ketika pendidikan nilai, kedekatan emosional, serta penanaman iman tidak dibangun secara kuat di rumah, sekolah memiliki keterbatasan dalam pengasuhan yang seharusnya bermula dari peran ibu. Maka dengan demikian menguatkan kembali peran ibu menjadi kebutuhan yang sangat mendesak.
Seorang Ibu membutuhkan dukungan dari suaminya, keluarga, lingkungan, serta sistem kehidupan yang menghargai fungsi keibuannya. Pada akhirnya, Ibu adalah jantung keluarga, dari rahim dan pelukan seorang ibulah akan lahir generasi yang kelak menentukan arah sebuah peradaban di tengah tantangan zaman ini, mengembalikan ibu pada peran dan kemuliaannya adalah ikhtiar nyata agar ibu tetap menjadi surga tak tergantikan bagi anak-anaknya. Wallahu 'alam bishawab.
Ida Rosidah
Aktivis Muslimah