TintaSiyasi.id -- Apabila kita telisik ajaran Islam, baik dalam Al-Quran maupun Hadis bahwa Islam benar-benar menjunjung tinggi toleransi umat beragama. Hal ini fakta telah diimplementasikan oleh umat Islam di negeri ini yang mayoritas Muslim. Saat umat Nasrani merayakan Natalan di bulan Desember tak ada gejolak dan gangguan dari umat Islam. Karena memang syariat Islam tidak melarang umat Islam untuk bertoleransi tentu selama tidak menabrak syariat Islam. antara lain ditegaskan dalam firman Allah berikut :
قُلْ يٰٓاَيُّهَا الْكٰفِرُوْنَۙ لَآ اَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَۙ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۚ وَلَآ اَنَا۠ عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْۙ وَلَآ اَنْتُمْ عٰبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُۗ لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ࣖ
"Katakanlah (Muhammad), "Wahai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku"( Q.S.Al-Kafirun 1-6).
Ayat ini menegaskan tidak ada timbal-balik dalam beribadah.
Hari minggu ke gereja jumat ke masjid, tidak ada! Alias haram!
Desember Natalan bersama antara umat Islam dan Umat Nasrani. Bulan Rabiul Awal bersama-sama memperingati Maulid Nabi. Tidak ada! Haram hukumnya.
Ayat ini tegas 'lakum diinukum waliya addiin' - untuk kamu agamamu dan untuk saya agama saya'. Tanpa mengganggu umat lain sekaligus tak ada sinkretisme agama atau tidak ada pencampuran agama.
Dalam masalah kerjasama duniawi silahkan, tidak ada larangan (QS.Al-hujurat 13). Namun, dalam aspek akidah dan ibadah haram untuk kerjasama. Bahkan kita umat Islam tidak ada larangan untuk berbuat baik kepada non Islam selama mereka tidak mengusir kita dari negeri kita.(QS.Al-Mumyahanah : 8).
Bahkan begitu tolerannya kita umat Islam tidak boleh menyakiti ‘kafir zimmi’, yakni orang non Islam yg tidak memerangi umat Islam berdasarkan hadis Rasulullah Saw:
مَنْ آذَى ذِمِّيًا فَقَدْ آذَانِيْ، وَمَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللهِ
“Barangsiapa menyakiti seorang zimmi (non Muslim yang tidak memerangi umat Muslim), maka sesungguhnya dia telah menyakitiku. Dan barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah.” (HR. Imam Thabrani).
Beda Akidah
Di atas sudah diterangkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi toleransi umat beragama. Tentu ada rambu-rambunya agar tidak kebablasan dalam bertoleransi.
Dan untuk diketahui bahwa umat Nasrani dalam merayakan Natalan adalah merayakan hari kelahiran Yesus sebagai tuhan, sementara akidah Islam Yesus atau Nabi Isa a.s. sebagai nabi dan utusan Allah sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Quran (Al-Maidah : 75).
Oleh karenanya umat Islam jangan 'latah' ikut-ikut perayaan Natal bersama dengan umat Nasrani. Juga jangan ikut-ikutan meramaikan isu toleransi yang justru melemahkan akidah umat Islam. Bagaimana tidak, umat Islam tergiring oleh opini bahwa Natalan perlu dihormati sedemikian rupa. Padahal, jelas Natalan itu bentuk ibadah bagi umat Nasrani.
Umat Islam beribadah hanya kepada Allah Swt., Inna shalatii wanusukii wamahyaya wamamatii lillahi rabbil 'alamiin. Sesungguhnya shalat dan ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Tuhan Semesta Alam.
Saat shalat kita umat Islam membaca Al-fatihah, antara lain kita ucapkan 'iyyaka na' budu waiyyaka nasta'iin'. 'Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan'.
Itulah perbedaan keimanan antara Islam dan Nasrani. Oleh karena itu, kita umat Islam jangan ikut-ikutan dalam Natalan karena ritual Natalan itu bentuk ibadah agama nasrani. Menurut akidah Islam itu kufur dan syirik sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Quran di atas.(QS.Al-Maidah : 72).
Sama halnya jika kita mengucapkan 'Selamat Hari Natal' terhadap umat Nasrani yang sedang natalan, ini juga terlarang alias haram. Orang sedang melakukan ritual syirik, kok diucapkan 'Selamat'. Tentu lucu.
Jangan Korbankan Akidah Islam
Agar kita selamat dunia-akhirat termasuk dalam bergaul dan bertoleransi dengan umat non Islam ، pahamilah diinul Islam. Salah satu akidah pokok ajaran Islam adalah bahwa kebenaran agama Islam itu mutlak tidak nisbi. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran :
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ
"Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam."(QS Ali Imran: 19).
Dan siapa pun yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima:
وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُ
”Siapa saja yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima”. (QS. Âli ‘Imrân : 85).
Oleh karena itulah tidak benar toleransi ala liberal Barat yang mengajarkan kebenaran agama itu relatif dan semua agama sama saja. Kedua faham itu mengajarkan atau menafsiri kedua ayat tersebut secara subtantif dimana ayat ' al-Islam' diartikan 'penyerahan diri'. Jadi, dari agama apapun asal berserah diri kepada Tuhan itu dibetulkan. Karenanya nanti umat Islam maupun non Islam yang berserah diri akan masuk surga. Berdampingan di surga. Inilah ajaran liberisme agama ala Barat. Padahal tafsir yang benar 'al-Islam' itu 'diinul Islam' yakni agama Allah yang diwahyukan-Nya secara sempurna kepada Rasulullah Saw.
Umat Islam harus waspada terhadap paham relativisme dan pluralisme agama. Faham ini begitu masifnya dipropagandakan, baik dari kalangan umat Islam sendiri (karena tak faham), maupun dari kalangan non Islam yang memang sengaja untuk pendangkalan akidah Islam.
Penegasan MUI
Keharaman ikut merayakan natal bersama umat Nasrani sudah ditegaskan oleh MUI tahun 1981 yang pada waktu itu ketuanya adalah Buya Hamka. Dalam fatwanya tentang Natal Bersama, Buya Hamka menyatakan, “Menghadiri perayaan Natal adalah haram karena di dalamnya terdapat unsur pengakuan atau pembenaran atas keyakinan Trinitas.” Ia juga menegaskan, “Toleransi tidak boleh memaksa seorang Muslim menggadaikan akidah.”
Walaupun ada desakan dari pemerintah agar mencabut fatwa tersebut, tetapi buya Hamka lebih baik mengundurkan diri dari Ketum MUI daripada mencabut fatwa keharaman hadiri natal bersama .
Integritas kokohnya akidah buya Hamka inilah yang perlu diteladani oleh tokoh Islam atau ulama sebagai pewaris para Nabi. Jangan sampai karena jabatan duniawi akidahnya dikorbankan.
Na'udzubillahi mindzalik.
Fatwa MUI itu hanyalah merupakan 'penegasan'. Dan pada hakikatnya yang mengharamkan itu bukan MUI, tetapi Allah Swt., dalam Al-Quran.
Jadi, jangan karena jabatan atau karena faktor duniawi demi 'toleransi kebablasan' rela mengorbankan akidah Islam.
Akidah atau iman tauhid itu jantungnya Islam, dan merupakan modal utama seorang Muslim untuk selamat dunia-akhirat.
Sekali lagi saudaraku jangan kalian korbankan akidah Islam demi toleransi kebablasan.
Abd. Mukti
Pemerhati Kehidupan Beragama
Kuala Tungkal, Jambi