TintaSiyasi.id -- Merespons perseteruan India dan Pakistan yang masih memanas sejak beberapa pekan terakhir, Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) mengingatkan akan urgensi satu negara pertama yang mempersatukan visi umat, agar tidak selamanya terombang-ambing dalam konflik yang dipicu nasionalisme.
"Sudah saatnya dunia Islam kembali memiliki satu negara pertama yang mempersatukan visi umat, agar tidak selamanya terombang-ambing dalam konflik yang dipicu nasionalisme sempit dan dimanipulasi oleh permainan oligarki global," ungkapnya dalam Opini Intelektual No. 003 yang dirilis 09 Mei 2025.
HILMI menerangkan potensi umat Islam di sana, dengan luas wilayah India yang mencapai 3,287 juta km² jumlah umat Islam di sana mencapai 223,4 juta (15,5 persen) jiwa, sedangkan Pakistan seluas 796.100 km², populasi muslim mencapai 240,8 juta (98 persen) jiwa. Selain itu, HILMI menyebut, kedua negara memiliki akar historis warisan Islam di Anak-Benua. Yakni, sebelum Republik India lahir, kawasan ini pernah disatukan Kesultanan Delhi dan Dinasti Mughal selama berabad-abad; mayoritas Hindu tetap dipertahankan. Kini, sekitar 200 juta Muslim (14 persen populasi) hidup di India menjadikannya komunitas Muslim terbesar di luar negara-negara mayoritas Islam.
"Implikasinya: bila konflik memanjang, solidaritas berbasis agama di dunia Islam termasuk di dalam India cenderung mengalir ke Pakistan, meningkatkan tekanan domestik bagi New Delhi," terangnya.
Lebih lanjut HILMI mengatakan bahwa oligarki global terus memanfaatkan isu terorisme sebagai dalih untuk menciptakan konflik demi keuntungan industri keuangan, energi dan senjata. Menurutnya, konflik 2025 tersebut memperlihatkan perang proksi berlapis. Yakni, Beijing menilai setiap pelemahan India akan menguntungkan posisi Tiongkok di Himalaya. Kemudian, Barat memandang India sebagai mitra tandingan Tiongkok, tetapi tetap menekankan stabilitas. Di sisi lain, lanjut HILMI, Rusia mencoba menjaga keseimbangan sambil mempertahankan ekspor energi dan senjata.
"Stabilitas Asia Selatan penting bagi rantai pasok global dan kerja sama regional seperti BRICS. Tapi tanpa penyelesaian menyeluruh atas Kashmir, Tibet, dan diskriminasi minoritas, siklus krisis ini kemungkinan akan terus berulang," terangnya.
Sementara itu, bila upaya peredaman mengikuti langkah PBB, Amerika Serikat (AS), China, ataupun Rusia, yang terjadi PBB akan mendesak “penahanan diri maksimum” dan menawarkan mediasi. Sedangkan AS, menurutnya, akan mengambil langkah kunci menekan India–Pakistan dan menahan ekspor drone bersenjata. Sementara Rusia, imbuhnya, mengusulkan format Moskow–Beijing–Washington atau Konferensi Tashkent 2.0. Adapun Tiongkok, mengambil langkah mendukung gencatan senjata, namun bela “hak Pakistan membela diri”.
"Prancis dan Israel terus menyuplai India namun mendesak penyelidikan atas insiden udara," imbuhnya.
Karena itu, HILMI mengingatkan, umat Islam di India, Pakistan, dan seluruh dunia Islam ditantang untuk mengambil peran aktif dalam meredakan ketegangan melalui dakwah yang mencerahkan dan keteladanan dalam membangun persatuan.
"Persatuan dunia Islam yang damai akan menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia, menjaga Asia Selatan dan dunia dari bencana perang nuklir serta membongkar skenario oligarki global yang terus memanfaatkan isu terorisme sebagai dalih untuk menciptakan konflik demi keuntungan industri keuangan, energi dan senjata," pungkasnya.[] Saptaningtyas