TintaSiyasi.id -- “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan...” (TQS. An-Nahl: 90)
Pendahuluan: Keadilan sebagai Inti Misi Kenabian
Rasulullah Muhammad Saw. diutus bukan hanya untuk menyampaikan wahyu, tetapi juga untuk menegakkan keadilan di tengah masyarakat yang sebelumnya dikuasai oleh kekuatan tirani, kekuasaan elite, dan kesenjangan sosial yang dalam. Beliau datang sebagai pembawa rahmat, namun juga sebagai penegak hukum yang adil—bagi sahabat maupun musuh, bagi yang miskin maupun kaya.
Dalam sejarah peradaban manusia, sangat sedikit pemimpin yang mampu menyeimbangkan antara kelembutan hati dan ketegasan hukum. Rasulullah Saw. adalah pengejawantahan sempurna dari dua sifat tersebut: rahmah dan ‘adl (kasih sayang dan keadilan).
1. Keadilan: Pilar Kehidupan yang Diperjuangkan Nabi
Dalam Islam, keadilan adalah pondasi utama keberlangsungan hidup manusia. Tanpa keadilan, ibadah menjadi hampa, kekuasaan menjadi aniaya, dan masyarakat menjadi rusak.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah pada hari kiamat... salah satunya adalah pemimpin yang adil.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Keadilan yang beliau tegakkan mencakup seluruh aspek:
• Keadilan hukum: menetapkan keputusan tanpa memandang siapa pelakunya.
• Keadilan sosial: memperjuangkan hak kaum tertindas.
• Keadilan ekonomi: melarang riba, menegakkan zakat, dan menjamin distribusi kekayaan.
• Keadilan gender dan etnis: menjunjung tinggi hak perempuan dan non-Arab.
2. Kisah-Kisah Keteladanan Rasulullah dalam Menegakkan Keadilan
a. Kasus Wanita Quraisy yang Mencuri
Dikisahkan seorang wanita bangsawan dari Bani Makhzum mencuri dan para tokoh Quraisy hendak membebaskannya. Mereka mengutus Usamah bin Zaid untuk meminta keringanan. Namun
Rasulullah bersabda tegas:
“Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ini adalah puncak keadilan: tidak ada istimewa di hadapan hukum, meskipun itu putri Nabi sendiri.
b. Persamaan di Hadapan Allah
Rasulullah SAW menyampaikan dalam Khutbah Haji Wada’:
“Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhan kalian adalah satu, dan bapak kalian juga satu. Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, kecuali dengan takwa.”
Ini adalah revolusi besar pada zamannya, menumbangkan kasta sosial dan rasialisme, serta menegakkan kesetaraan universal.
c. Pembagian Rampasan Perang
Setelah perang, Rasulullah selalu adil dalam pembagian ghanimah (rampasan perang). Tidak ada keistimewaan untuk kerabat atau tokoh-tokoh besar. Semua mendapatkan bagian yang telah ditetapkan syariat.
3. Keadilan sebagai Wujud dari Ihsan dan Rahmat
Keadilan Nabi bukanlah hukum kaku yang tanpa hati. Ia adalah keadilan yang diiringi kasih sayang (rahmah) dan kebaikan yang tulus (ihsan).
Beliau menegakkan hukum, tetapi tidak pernah kehilangan sisi empati dan kasih.
• Ketika menghadapi orang yang bersalah tetapi menyesal, beliau mengedepankan pengampunan jika memungkinkan.
• Ketika menyaksikan kemiskinan, beliau memberikan haknya sebelum diminta.
• Ketika menghadapi musuh yang keras, beliau justru sering memaafkan dengan mulia.
“Dan Kami tidak mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
(QS. Al-Anbiya’: 107)
4. Refleksi untuk Umat Islam Hari Ini
Umat Islam hari ini menghadapi tantangan besar dalam menegakkan keadilan, baik dalam skala rumah tangga, lembaga, maupun pemerintahan. Kita harus bercermin pada akhlak Rasulullah SAW:
• Apakah kita adil terhadap pasangan dan anak-anak?
• Apakah kita objektif dalam memutuskan sesuatu di komunitas?
• Apakah para pemimpin menegakkan keadilan sosial dan ekonomi?
Kita tidak akan mendapatkan keberkahan dalam masyarakat yang dipenuhi kezaliman, korupsi, nepotisme, dan diskriminasi. Allah tidak akan menolong bangsa yang meninggalkan prinsip ‘adl (keadilan).
5. Menjadi Pewaris Keadilan Rasulullah
Menjadi umat Rasulullah berarti menjadi penerus misi kenabiannya: membawa rahmat dan menegakkan keadilan.
Rasulullah SAW adalah teladan sempurna yang memperjuangkan hak orang miskin, membela kaum tertindas, mengayomi yatim-piatu, menasehati penguasa, dan menegur sahabat jika salah.
Maka setiap Muslim seharusnya:
• Menjadi pribadi yang adil dalam lisan dan perbuatan.
• Menjadi pemimpin yang tidak menyalahgunakan amanah.
• Menjadi pendidik dan da’i yang membela nilai-nilai keadilan Qur’ani.
• Menjadi pelajar dan profesional yang menjunjung integritas.
Penutup: Keadilan Menjadi Jalan Menuju Ridha Allah
Keadilan bukan hanya urusan duniawi, tapi merupakan jalan menuju keselamatan akhirat. Dalam timbangan Allah, keadilan adalah bukti takwa dan kemuliaan. Sebaliknya, kezaliman adalah kegelapan di hari kiamat.
Mari kita meneladani Rasulullah SAW dalam seluruh aspek kehidupan, terutama dalam keberanian dan konsistensinya menegakkan keadilan—bahkan terhadap orang-orang terdekatnya sendiri.
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kalian penegak keadilan karena Allah, sekalipun terhadap diri kalian sendiri atau orang tua dan kerabat kalian.”
(TQS. An-Nisa’: 135)
Rasulullah adalah pemimpin yang adil, bukan karena kekuasaan, tetapi karena ketundukannya total kepada Allah. Semoga kita dapat mengikuti jejaknya, dan menjadi bagian dari umat yang menjadi rahmat, bukan penyebab kerusakan.
"Keadilan adalah fondasi utama peradaban yang bermartabat. Dengan keadilan, kemakmuran bukan lagi sekadar impian; ia menjadi kenyataan yang dirasakan oleh semua kalangan. Persatuan akan tumbuh karena setiap individu merasa dihargai dan dilindungi haknya. Persaudaraan pun akan terjalin, sebab tidak ada lagi sekat kebencian dan kecemburuan sosial. Keadilan mampu menghentikan kekacauan, mengembalikan kehormatan yang ternodai, serta menjaga seluruh hak tanpa pandang bulu. Inilah sistem ilahi yang Rasulullah SAW perjuangkan: keadilan yang menjadi nafas umat, cahaya masyarakat, dan pijakan menuju ridha Allah." []
Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual, Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo