TintaSiyasi.id -- Merespons gagasan Gubernur Jawa Barat terkait pengiriman para siswa yang nakal ke Barak Militer, Praktisi Pendidikan Ustazah Rezkiana Rahmayanti, S.Pd., mengatakan bahwa sistem pendidikan negara Indonesia bisa dikatakan telah gagal.
"Pengiriman para siswa yang nakal ke Barak Militer, ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita bisa dikatakan telah gagal," ungkapnya dalam Muslimah on Room bertema Karut Marut Pendidikan Melahirkan Generasi Cemas, Bukan Emas di Channel Youtube Muslimah Media Hub, Sabtu (10/5/2025).
Ia menyebut, program Gubernur Jawa Barat viral karena diluncurkan bersamaan dengan Hari Pendidikan Nasional. Program yang diluncurkan di Bandung dan Purwakarta, telah mencatat hampir 120 siswa, dan para siswa didaftarkan oleh orang tuanya sekaligus menandatangani perjanjian tertulis bahwa anaknya bersedia mengikuti program secara sukarela. Bahkan, program tersebut diikuti oleh daerah lainnya, yaitu pemerintah Kota Singkawang, Kalimantan Barat dan Kabupaten Cianjur Jawa Barat.
"Bahkan, Natalius Pigai Menteri Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa kalau program ini nanti berhasil, akan berpotensi menjadi program nasional. Maka, nanti akan disampaikan ke Menteri Pendidikan untuk mengeluarkan peraturan agar hal ini dilakukan secara masif di seluruh Indonesia," tambahnya.
Kemudian ia mempertanyakan, sudah sejauh mana program tersebut, sehingga dianggap sebagai solusi. Dan dikatakan bahwa anak-anak yang dimasukkan dalam program yang bernama Program Pendidikan Karakter Disiplin dan Bela Negara, mereka adalah anak-anak yang bermasalah yang disebut susah diatur karena permasalahannya sudah level berat. Seperti anak yang tawuran, merokok, kecanduan game online, mengonsumsi alkohol dan narkoba, termasuk geng motor.
"Mereka dibawa ke Barak Militer sebagai respons untuk menyelesaikan permasalahan degradasi moral. Nah, ini membutuhkan intervensi serius di luar pihak sekolah dan orang tua. Kemudian banyak muncul pertanyaan, sampai sebegitukah untuk menyelesaikan persoalan degradasi moral anak-anak tersebut," mirisnya.
Sedangkan menurutnya, persoalan seperti yang demikian bukan hanya menimpa satu atau dua kasus anak saja, dan bukan juga hanya mengenai beberapa sekolah, tetapi beratus-ratus sekolah hingga sampai beribu-ribu siswa yang dikatakan susah diatur cukup masif. Bahkan, cukup sistematis. Hal itu bisa dilihat di media, betapa tidak pernah berkurang dan selalu ada berita tentang anak-anak sekolah yang dikatakan susah diatur, dan itu terjadi di luar rumah dan di luar sekolah. Sehingga, kadang kala pihak sekolah merasa tidak dapat menjangkaunya. Begitupun orang tua, mereka tidak bisa membekap anak-anaknya karena terjadi di luar rumah.
"Yang menjadi persoalannya adalah proses pembentukan yang ada pada anak itu yang membuat mereka bisa bersikap melakukan hal-hal di luar aturan. Itulah yang harus menjadi pertanyaannya. Nah, proses pembentukan kemampuan mereka untuk bersikap dan berpikir, itu kan lahir dari proses pendidikan yang ada di rumah pada saat anak belum berusia sekolah, itu sudah terbentuk karakter yang seharusnya di dalam rumah. Bagaimana mereka dikenalkan terhadap aturan dan kedisiplinan," ungkapnya.
Sedangkan katanya, ketika mereka berada di sekolah seharusnya pendidikan karakter tersebut akan semakin lebih kuat. Mengapa? Karena mereka bersama komunal, ada sistem komunitas yang diterapkan secara bersama. Itu yang sebenarnya seharusnya mampu membentuk karakter siswa dalam memahami dan mengatasi permasalahan dirinya.
"Nah, kalau tadi muncul permasalahan mereka yang masif, berarti mudah untuk dijawab, yaitu sistem pendidikan kita bisa dikatakan gagal dalam menghasilkan pembentukan karakteristik kepribadian yang mereka itu mandiri dan kemudian bertanggung jawab untuk menyikapi persoalan kehidupannya di dunia. Sehingga, alih-alih melahirkan generasi emas, justru generasi cemas," tandasnya.[] Nurmilati