TintaSiyasi.id -- Mengatasi banjir yang sering melanda, Bupati Bandung Dadang Supriatna, bekerja sama dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (DPUTR) Kabupaten Bandung, bergerak cepat dalam merealisasikan pembangunan tiga jembatan dan satu Tembok Penahan Tebing (TPT) di wilayah rawan banjir, salah satunya berada di Kecamatan Dayeuhkolot, tepatnya di Kampung Sukabirus, Desa Citeureup, di aliran sungai Cipurut.
Bupati Dadang Supriatna dalam arahannya mengungkapkan bahwa ia meminta pembangunan tersebut agar dapat dilakukan tanpa menunda waktu, sehingga jangan sampai ada masyarakat yang merasa tidak didengarkan. Lebih lanjut, Dadang mengatakan dalam kondisi darurat seperti banjir kita selaku pemerintah harus hadir di tengah mereka.
Mendapat instruksi tersebut, Kepala DPUTR Kabupaten Bandung, Zeis Zultawaqa, langsung melakukan survei, pengukuran dan data teknis. Hal ini guna memastikan infrastruktur yang akan dibangun sepanjang 70 meter dan tinggi 4,5 meter itu bisa tepat sasaran dan sesuai kebutuhan warga yaitu dapat menahan erosi tebing dan luapan air. (Balebandung.com, Rabu, 7 Mei 2025).
Menilai dari gerakan cepat yang dilakukan Bupati Dadang Supriatna dalam mengatasi banjir, hal tersebut memang sewajarnya dilakukan oleh kepala daerah kepada masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya, namun perlu dicermati apakah pembangunan jembatan dan TPT merupakan solusi yang tepat?
Kenyataannya, pembangunan jembatan maupun TPT hanya bagian dari penanganan jangka pendek dan bersifat sementara, sehingga tidak menyentuh akar masalah. Padahal banjir merupakan masalah struktural dan sistemis yang harus ditangani secara integral dari hulu hingga hilir, artinya bukan hanya sekadar penanganan di wilayah yang terdampak, sementara disisi lain penyebab utamanya tidak diatasi.
Masalah yang terus dibiarkan seperti alih fungsi lahan yang tidak terkontrol, berantakannya pengelolaan tata ruang, di mana kawasan rawan banjir tetap dijadikan pemukiman, atau buruknya sistem drainase karena tertutup sampah hingga saluran yang tidak terhubung dengan baik, serta ruang terbuka hijau yang semakin terbatas, sejatinya hal inilah yang perlu diatasi.
Sayangnya dalam sistem sekuler saat ini, pemerintah cenderung bersikap reaktif, menangani masalah setelah terjadi masalah, dan cenderung fokus pada proyek sementara. Alhasil problematik banjir menjadi masalah yang tidak kunjung terselesaikan selama bertahun tahun. Dengan demikian, banjir bukan lagi bencana musiman melainkan cermin kegagalan pemerintah dalam menjaga amanah alam dan pengurusan rakyat.
Sebaliknya, dalam paradigma Islam pemimpin bukan hanya sekedar pelaksana namun pengurus urusan umat yang wajib menjalankan amanah. Khalifah sebagai kepala negara Islam akan menerapkan kebijakan tata ruang berdasarkan syariah, tidak boleh ada eksploitasi dalam alih fungsi lahan, termasuk penebangan liar. Drainase akan dibuat sebagaimana fungsinya, negara juga akan memberi sanksi tegas bagi orang yang mencemari lingkungan, seperti membuang sampah sembarangan.
Selain itu, pembangunan dalam Islam dibuat demi kepentingan dan keamanan umat, pemukiman akan dihindarkan dari tempat rawan bencana, seperti bantaran sungai dan kawasan rawan bencana. Infrastruktur dibangun bukan hanya untuk segelintir orang tertentu melainkan untuk kemaslahatan umat. Inilah beberapa gambaran bentuk tanggung jawab negara sebagai pelindung rakyat, sebagaimana sabda Rasulullah Saw., " Seorang Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka" (HR.Bukhari dan Muslim).
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Dina Aprilia
Aktivis Muslimah