Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Menghidupkan Tauhid, Memuliakan Syiar, dan Memaknai Kurban: Tadabur QS Al-Haj 31—33

Senin, 19 Mei 2025 | 09:47 WIB Last Updated 2025-05-19T02:47:24Z

TintaSiyasi.id—Dalam era modern yang penuh dengan hiruk-pikuk duniawi, manusia seringkali terjebak dalam simbol dan rutinitas ibadah tanpa menyentuh makna hakikinya. Surat Al-Hajj ayat 31–33 hadir bagaikan lentera yang menuntun jiwa-jiwa yang haus akan makna sejati dari tauhid, syiar agama, dan ibadah kurban.

1. Tauhid: Inti Kehidupan Sejati (QS Al-Hajj: 31)

“(Yaitu) orang-orang yang menjauhkan diri dari kemusyrikan terhadap Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka seolah-olah ia jatuh dari langit lalu disambar burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”

Tauhid bukan sekadar ucapan, melainkan pondasi yang mengatur arah hidup. Dalam ayat ini, Allah menggambarkan orang musyrik bagaikan benda yang jatuh dari langit, lalu disambar burung atau diterbangkan angin—satu metafora mengerikan tentang jiwa yang tercerai-berai, kehilangan arah, tanpa pegangan ruhani.

Sebaliknya, orang yang menjauhi syirik adalah mereka yang menegakkan iman murni kepada Allah, tidak menyandarkan harap kepada makhluk, tidak menggantungkan nasib pada benda, jimat, atau sistem dunia yang fana. Mereka adalah pribadi merdeka dalam jiwanya, karena hanya bersandar pada Dzat Yang Maha Hidup dan Maha Berkuasa.

Refleksi: Di tengah zaman yang menyembah materi, teknologi, dan kekuasaan, ayat ini menggugah kita untuk kembali pada tauhid sebagai jalan ketenangan, kekuatan, dan keselamatan.

2. Memuliakan Syiar: Cermin Ketakwaan Hati (QS Al-Hajj: 32)

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu berasal dari ketakwaan hati.”

Syiar adalah segala hal yang ditetapkan Allah sebagai lambang keagungan-Nya. Bisa berupa tempat seperti Masjidil Haram, waktu seperti bulan Dzulhijjah, atau amalan seperti kurban dan tawaf. Memuliakan syiar berarti menjadikan agama sebagai prioritas, bukan sekadar pelengkap.

Orang bertakwa akan:

Merasa mulia saat mengenakan pakaian sopan karena sadar itu bagian dari identitas Islam.

Menjaga waktu salat dengan hati gemetar karena itu panggilan Tuhan.

Menangis saat mendengar azan karena jiwanya meresapi makna panggilan itu.

Imam Ibn Katsir menjelaskan, bahwa mengagungkan syiar adalah bagian dari “penghormatan lahir yang bersumber dari hati yang tunduk kepada Allah.”

Refleksi: Mari kita evaluasi—apakah salat kita hanya rutinitas? Apakah kurban hanya tradisi tahunan? Ataukah kita benar-benar menghadirkan rasa penghormatan dan cinta dalam setiap ritual Islam yang kita jalani?

3. Makna Kurban: Manusia, Hewan, dan Jalan Kepasrahan (QS Al-Hajj: 33)

“Bagi kamu terdapat beberapa manfaat pada binatang-binatang ternak itu sampai waktu tertentu, kemudian tempat penyembelihannya ialah di Baitul ‘Atiq (Ka‘bah).”

Ayat ini mengajarkan bahwa hewan kurban bukan semata daging atau ritual, tapi bagian dari proses pengorbanan dan pendekatan diri kepada Allah. Kita diberi izin menikmati manfaat hewan itu: tenaganya, susunya, ketenangan jiwa melihatnya. Namun pada saatnya, kita diperintahkan melepaskan keterikatan itu—menyembelihnya sebagai bentuk penyembelihan ego dan hawa nafsu.

Seperti kisah Nabi Ibrahim dan Ismail—kurban adalah ujian terbesar cinta dan ketaatan. Apakah kita siap melepaskan sesuatu yang kita cintai demi perintah Allah? Kurban adalah simbol bahwa hidup ini bukan tentang memiliki, tapi tentang berserah dan memberi.

Refleksi: Kurban sejati bukan hanya menyembelih kambing atau sapi, tapi menyembelih sifat rakus, egoisme, dan keserakahan dalam diri.

---

Penutup: Tiga Pilar Kesucian Ruhani

QS Al-Hajj: 31–33 adalah tiga ayat yang membentuk satu kesatuan ruhani:

Tauhid sebagai fondasi iman,

Penghormatan terhadap syiar sebagai ekspresi lahiriah ketakwaan,

Dan kurban sebagai wujud nyata dari ketaatan dan penyucian diri.

Mari jadikan ayat-ayat ini sebagai peta perjalanan ruhani—bukan hanya dibaca saat musim haji, tetapi ditadabburi sepanjang hidup, agar kita menjadi umat yang cerdas dalam iman, tangguh dalam ujian, dan lembut dalam penghambaan.

Oleh. Dr Nasrul Syarif M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)

Opini

×
Berita Terbaru Update