“Menanggapi rencana uji coba
vaksin TBC dan Malaria dari Bill Gates di Indonesia yang menimbulkan
kontroversi di sejumlah kalangan, dapat disampaikan Opini Intelektual sebagai
berikut,” rilis HILMI kepada TintaSiyasi.ID.
HILMI menyatakan, uji klinis (clinical
trial) adalah proses ilmiah dan etis yang digunakan untuk menguji keamanan
dan efektivitas obat atau vaksin pada manusia. Di situ ada lembar persetujuan (informed
consent) dari calon sample, proses ini di bawah pengawasan ketat
(sudah melewati uji klinis 1-3 di laboratorium dan hewan uji), dan semua
melewati protokol ketat dari badan etika dan kesehatan nasional maupun
internasional (BPOM, WHO dll). Bila ada kecelakaan, korban akan mendapatkan
perlindungan dan santunan.
“Jadi uji klinis bukan menjadikan
sample sebagai "kelinci percobaan", dalam konotasi tidak jelas
dasar terapinya, langsung dipraktikkan ke manusia tanpa orang itu tahu
terapinya sudah diuji atau belum, tanpa pengawasan atau kontrol yang adil, dan
bila ada kecelakaan, pasien tidak mendapat perlindungan hukum atau medis.
Bilang saja "qadarullah". Yang seperti ini justru banyak
terjadi pada pengobatan alternatif abal-abal (kadang bawa-bawa istilah
"nabawi", "sunnah", "syariat" atau "akhir
zaman"),” terang HILMI.
Selain itu, sebut HILMI, data
menunjukkan sebagai berikut:
Pertama,
Indonesia memang memiliki kasus TBC sebanyak 1,06 juta kasus (menurut WHO
Global Tuberculosis Report, 2023), atau 10 persen dunia.
Kedua,
untuk malaria, menurut World Malaria Report 2023, Indonesua ranking 3 di
bawah Nigeria dan Rep. Demokratik Congo. Indonesia ada 15,9 juta kasus, atau 7persen
global.
Ketiga,
Indonesia dipilih karena faskesnya relatif lebih merata dibanding India, dan
tingkat pendidikan masyarakatnya relatif lebih tinggi dari kaum Prindapan
itu.
Keempat,
secara infrastruktur, Indonesia juga lebih maju dari negara-negara Afrika itu,
mayoritas kasus di Papua.
Kelima,
yayasan yang didirikan Bill Gates (Bill & Melinda Gates Foundation, BMGF)
memang sudah lama "menginvestasikan" miliaran dolar untuk riset guna
menciptakan vaksin bagi penyakit yang masih endemik di dunia, seperti TBC dan
malaria. Mereka menegaskan bahwa profit dari investasi ini adalah angka harapan
hidup yang lebih tinggi bagi anak-anak di negara berkembang, bukan profit
pribadi.
Keenam,
BMGF pernah menyumbang Serum Institute of India sebesar USD 200 juta (sekitar
Rp3,4 triliun) untuk memproduksi vaksin Covid untuk dibagikan ke negara-negara
miskin secara gratis.
Ketujuh,
aneka tuduhan teori konspirasi terhadap Gates dll sudah berulang dibantah, dan
tak pernah terbukti.
Kedelapan,
dampak buruk potensial dari uji coba vaksin TBC dan malaria BMGF di Indonesia
meliputi efek samping medis (respons alergi, selama ini sangat kecil),
tantangan etika seperti informed consent dan persepsi eksploitasi,
ketidakpercayaan publik seputar 26.000 jiwa yang dipilih sebagai sample,
beban pada sistem kesehatan, ketergantungan pada pendanaan asing, dan konflik
dengan prioritas lokal. Kekhawatiran itu diperburuk oleh sebaran fasilitas
kesehatan yang tidak merata dan tingkat pendidikan rendah di beberapa daerah,
yang meningkatkan risiko kesalahan prosedur dan stigma.
“Untuk meminimalkan dampak buruk,
diperlukan transparansi, edukasi publik yang kuat, dan penguatan kapasitas
lokal. Meskipun risiko ada, uji coba ini juga menawarkan peluang untuk
mengatasi beban TBC dan malaria yang besar di Indonesia, asalkan dikelola dengan
hati-hati dan sensitif pada konteks local,” imbuh HILMI dalam rilisnya.
Pandangan Islami atas Rencana
Uji Coba Vaksin oleh Bill Gates di Indonesia
HILMI menyebut bahwa rencana Bill
Gates untuk melakukan uji coba vaksin TBC dan malaria di Indonesia adalah
sebuah inisiatif global yang patut disambut secara positif. “Islam sebagai
agama yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat, tidak
menutup diri terhadap kemajuan teknologi, termasuk di bidang kesehatan. Selama
prosedur uji coba dilakukan secara benar, halal, transparan, dan memenuhi
kaidah ilmiah serta etika medis, maka hal ini sejalan dengan prinsip Islam
dalam menjaga jiwa (hifz al-nafs), salah satu dari lima tujuan utama
syariat (maqāşid al-syari'ah),” beber HILMI.
“Namun, di sisi lain, menjadi
keprihatinan tersendiri bahwa inisiatif sebesar ini justru datang dari luar
umat Islam. Seharusnya, di tengah umat ini, ada para aghniyā'
(orang-orang kaya) yang memiliki visi dan kepedulian untuk mengambil peran
serupa, bahkan melampaui itu. Apalagi ketika umat ini menyimpan sejarah panjang
kejayaan dalam sains dan pengobatan, yang dahulu melahirkan tokoh-tokoh seperti
Ibn Sina, al-Razi, dan al-Zahrawi,” ungkap HILMI lagi.
Akan lebih ideal, lanjut
penjelasan HILMI, jika inisiatif-inisiatif besar dalam bidang kesehatan dan
teknologi justru digagas oleh negara-negara Islam sendiri. “Umat Islam memiliki
misi global sebagai rahmatan lil 'alamin, yang dulu dijalankan oleh
Khilafah Islamiah melalui penyebaran ilmu dan teknologi untuk kemaslahatan umat
manusia. Salah satu contohnya adalah teknologi awal vaksinasi cacar (variolation)
yang diterapkan di Kekhalifahan Utsmaniah, dan kemudian diperkenalkan ke
Inggris oleh Lady Mary Wortley Montagu. Ini menjadi bukti bahwa dunia Islam
bukan hanya penerima teknologi, tetapi pernah menjadi pelopornya,” sebut
himpunan para intelektual tersebut.
“Jika umat Islam kembali meraih
visi besar ini -yakni kepemimpinan dalam peradaban dan sains- mereka bukan
hanya akan mampu menjaga negeri-negeri Islam dari ancaman penyakit, tetapi juga
melindungi seluruh dunia dari agenda-agenda jahat yang menjadikan kesehatan
global sebagai komoditas keuntungan elit tertentu. Maka, kebangkitan umat Islam
dalam bidang ilmu pengetahuan adalah keniscayaan untuk membangun dunia yang
lebih adil dan manusiawi,” sebut HILMI dalam akhir rilisnya.[] Rere