Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Mengatasi Kebodohan: Jalan Cerah Menuju Kemakmuran Bangsa

Jumat, 23 Mei 2025 | 18:07 WIB Last Updated 2025-05-23T11:08:02Z

TintaSiyasi.id -- “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujadilah: 11)

Pendahuluan: Kita adalah bangsa yang besar, namun masih terguncang oleh masalah yang sama

Kita adalah bangsa besar. Kaya akan sumber daya alam, keberagaman budaya, sejarah perjuangan yang heroik, dan potensi anak bangsa yang luar biasa. Namun, mengapa kita seolah terus berputar-putar dalam masalah yang itu-itu saja? Kemiskinan yang membelit, korupsi yang merajalela, perpecahan sosial, serta ketimpangan ekonomi dan pendidikan yang makin menganga.

Sesungguhnya, ada satu akar masalah yang sering kita abaikan, bahkan dianggap wajar: kebodohan.
Kebodohan bukan sekadar soal tidak bisa membaca atau menulis. Kebodohan adalah ketiadaan kemampuan untuk berpikir jernih, kritis, dan bijak. Kebodohan adalah ketika seseorang tidak tahu bahwa ia tidak tahu—dan tidak pula merasa perlu untuk belajar.
Inilah musuh bangsa yang sebenarnya. Dan jika kita tidak memeranginya dengan serius, maka kita sedang mempersiapkan jalan bagi kehancuran peradaban kita sendiri.

Kebodohan: Bukan Takdir, Tapi Akibat

Kita sering mendengar ungkapan: "Beginilah nasib bangsa kita."
Faktanya, keberuntungan tidak jatuh begitu saja dari langit . Nasib suatu bangsa ditentukan oleh pilihan kolektifnya : apakah mereka ingin belajar, membangun, dan bangkit—atau tetap merasa nyaman dalam keterbelakangan?

Lihatlah negara-negara yang pernah dijajah, dihancurkan oleh perang, atau bahkan hancur oleh krisis ekonomi, seperti Korea Selatan atau Jepang. Mereka tidak bangkit karena suatu mukjizat. Mereka bangkit karena ingin belajar , menanamkan pentingnya ilmu pengetahuan sejak dini, dan menumbuhkan rasa malu terhadap kebodohan.

Sementara kita, kadang masih memperdebatkan hal-hal remeh di ruang publik, senang dengan sensasi, tetapi enggan menggali ilmu yang membawa solusi. Kita lebih mudah percaya hoaks daripada jurnal ilmiah. Kita lebih semangat berdiskusi politik saat pemilu, tapi lupa mendidik anak-anak kita dengan ilmu kehidupan.
Ini bukan takdir. Inilah akibat dari ketidaktahuan yang telah kita pupuk bersama .

Ilmu: Jantung dari Kemakmuran Bangsa

Dalam Islam, ilmu adalah cahaya. Bahkan, wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca: "Iqra'!"

Artinya, peradaban Islam dibangun di atas pondasi ilmu. Ketika umat Islam menempatkan ilmu sebagai jalan hidup, lahirlah peradaban yang menakjubkan: Baghdad, Kordoba, Andalusia—pusat ilmu dunia yang dihormati oleh Timur dan Barat.

Namun saat umat Islam meninggalkan ilmu dan terjebak dalam konflik internal, kita pun mulai tertinggal, dan menjadi bangsa yang hanya jadi penonton dalam panggung global.

Kita harus sadar: negara tidak akan bisa sejahtera jika rakyatnya tidak berilmu. Tanpa ilmu, kita akan:
• Mudah sekali tertipu oleh pemimpin yang tidak dapat dipercaya.
• Menjadi pasar konsumtif bagi bangsa lain.
• Tidak punya daya saing di dunia kerja dan teknologi.
• Selalu mengandalkan bantuan asing, bukan menciptakan solusi sendiri.

Maka dari itu, mengatasi kebodohan bukan hanya soal pendidikan formal, tetapi soal kesadaran kolektif untuk menjadi bangsa pembelajar.

Bangkitnya Generasi Pembelajar: Tugas Kita Semua

Jangan pernah berpikir bahwa urusan memerangi kebodohan hanya tanggung jawab pemerintah atau guru. Ini adalah tanggung jawab setiap orang yang mengaku cinta tanah air dan ingin melihat bangsa ini maju.

• Seorang ayah dan ibu, ketika mendidik anaknya mencintai buku, bukan hanya main gadget, ia sedang menanamkan benih peradaban.
• Seorang guru, ketika mengajar dengan keteladanan dan semangat, ia sedang membentuk masa depan bangsa.
• Seorang pemuda , ketika ia memilih untuk belajar daripada bersenang-senang, sedang membela bangsanya dari kehancuran.

Kita semua punya peran. Tak perlu menunggu jadi menteri atau tokoh nasional untuk berbuat. Mulailah dari keluarga, komunitas, masjid, kampus, dan tempat kerja kita masing-masing.

Ulama dan Intelektual: Dua Pilar Penuntun Umat

Dalam sejarah Islam, kemajuan umat selalu ditopang oleh dua pilar penting: ulama dan intelektual. Keduanya bukan lawan, tapi saudara.

Ulama menjaga akhlak, iman, dan nilai-nilai spiritual. Intelektual menjaga logika, inovasi, dan kemajuan ilmu.
Ketika ulama hanya sibuk pada hukum lahiriah, tapi tidak mengajak berpikir kritis, umat jadi beku. Tapi ketika intelektual jauh dari nilai-nilai ruhani, kemajuan pun jadi hampa.

Kita butuh generasi berilmu dan berakhlak. Yang berpikir maju, tapi tetap rendah hati. Yang menguasai teknologi, tapi tetap mencintai masjid. Yang bisa berdialog dengan Barat, tapi akarnya tetap kokoh dalam nilai Islam.

Mengakhiri Kebodohan: Dari Mimpi Menjadi Gerakan
Membangun bangsa berilmu bukan mimpi kosong. Ini bisa jadi kenyataan jika kita memulainya hari ini.

Apa yang bisa kita lakukan secara nyata?

1. Ajak anak-anak mencintai membaca, bukan hanya menonton.
2. Jadikan masjid sebagai pusat ilmu, bukan hanya ritual.
3. Buat komunitas belajar, taman baca, diskusi buku, dan kelas inspiratif.
4. Dorong kampus dan pesantren menjadi rumah kreativitas, bukan sekadar tempat menghafal.
5. Dukung pemimpin yang peduli pada pendidikan, bukan sekadar pencitraan.
6. Lawan penyebaran hoaks, kultus individu, dan budaya instan.

Kesimpulan: Bangsa yang berilmu adalah bangsa yang berdaulat.
Kita tidak akan pernah menjadi bangsa besar jika masih dikuasai oleh kebodohan.

Kemerdekaan sejati bukan sekadar bebas dari penjajahan fisik, tapi bebas dari belenggu ketidaktahuan.

Saat kita mencintai ilmu, menghargai guru, membaca buku, dan mengajarkan anak-anak kita berpikir—maka di sanalah awal dari kemakmuran, keadilan, dan kejayaan negeri ini.
Mari kita bersatu: 
Lawan kebodohan, bangun peradaban!

"Barangsiapa yang menghendaki dunia, maka hendaklah ia mencari ilmu. Dan barangsiapa yang menghendaki akhirat, maka hendaklah ia mencari ilmu. Dan barangsiapa yang menghendaki keduanya, maka hendaklah ia mencari ilmu."
— (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh. Dr Nasrul Syarif M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)

Opini

×
Berita Terbaru Update