TintaSiyasi.id -- “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.”
(QS. Fathir: 28)
Pendahuluan: Ketika Ilmu Menyatu dengan Wahyu
Ilmu dan dakwah, dalam khazanah Islam, bukan dua dunia yang terpisah. Sejak awal peradaban Islam, kita menyaksikan para ilmuwan besar seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Farabi, dan Al-Ghazali bukan hanya pakar di bidangnya, tetapi juga pendakwah nilai-nilai kebenaran. Ilmu mereka tidak berhenti pada teori atau laboratorium; ia mengalir menjadi energi perubahan sosial, spiritual, dan peradaban.
Namun, dalam dunia modern, terjadi pemisahan antara keilmuan dan spiritualitas. Ilmu menjadi steril dari nilai, dan dakwah seringkali terkurung dalam simbolisme sempit. Di sinilah ilmuwan memiliki nilai strategis dalam pusaran dakwah — membawa keilmuan yang mencerahkan, menyatu dengan misi ilahiyah.
Ilmuwan: Pewaris Para Nabi di Era Teknologi
Ilmuwan sejati bukan hanya pencari data, tetapi pencari makna. Dalam Islam, ulama disebut sebagai waratsatul anbiya — pewaris para nabi. Ini berarti mereka memikul misi profetik: membebaskan manusia dari kejahilan, menyelamatkan dari kerusakan, dan menuntun pada cahaya kebenaran.
Namun di era disrupsi digital, ilmuwan menghadapi tantangan baru: banjir informasi palsu, manipulasi data, teknologi yang disalahgunakan, hingga ideologi sekuler yang mengebiri makna hidup. Dalam pusaran inilah, peran dakwah menjadi penting: mengarahkan ilmu untuk kemaslahatan, bukan sekadar keuntungan dunia.
Menjadikan Dakwah sebagai Poros Kehidupan Ilmuwan
Apa jadinya jika seorang ilmuwan menjadikan dakwah sebagai pusat orbit hidupnya?
1. Penelitian menjadi ibadah. Ia meneliti bukan untuk prestise atau dana hibah, tapi untuk menjawab kebutuhan umat.
2. Publikasi menjadi syiar. Tulisan dan temuannya diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai Islam dan keadilan.
3. Pengajaran menjadi pembinaan. Kelas bukan hanya ruang transfer ilmu, tapi juga medan penanaman akhlak dan tauhid.
4. Kehidupan pribadi menjadi keteladanan. Ilmuwan dakwah menjaga integritas moral di tengah badai materialisme.
Ilmuwan seperti ini tidak terjebak dalam dualisme akademik vs. agama. Ia hidup dalam satu visi: hidup adalah dakwah, dan dakwah adalah jalan hidup.
Ilmuwan sebagai Agen Transformasi Umat
Mengapa umat membutuhkan ilmuwan yang berdakwah?
Karena dakwah hari ini tidak cukup dengan retorika. Umat butuh narasi yang terstruktur, data yang valid, solusi yang ilmiah, dan kejujuran intelektual. Di sinilah ilmuwan memiliki senjata yang tak tergantikan:
Peran Strategis Dampaknya dalam Dakwah
Pemikir Analitis Mendeteksi masalah sosial secara sistematis dan menawarkan solusi
Pengembang Teknologi Membuat platform dakwah digital berbasis AI dan data science
Peneliti Sosial Membangun strategi pemberdayaan umat yang berbasis data
Pendidik Menanamkan nilai Islam secara ilmiah dan menyentuh logika anak muda
Komunikator Publik Menjadi influencer intelektual yang menghadirkan narasi kebaikan
Tantangan yang Harus Dihadapi Ilmuwan-Da’i
Perjuangan ilmuwan dakwah tidak mudah. Mereka akan menghadapi tantangan, antara lain:
• Sistem akademik sekuler yang memisahkan nilai dari riset
• Stigma masyarakat yang menganggap dakwah bukan bagian dari ilmiah
• Godaan dunia seperti jabatan, kekuasaan, dan ketenaran
• Tekanan global seperti ideologi liberal, hedonisme, dan relativisme moral
Namun seperti yang dikatakan Sayyid Qutb:
“Perjuangan itu lebih mulia daripada kemenangan.”
Ilmuwan dakwah adalah mereka yang tetap berdiri, berpikir, dan bergerak — meski di tengah badai.
Inspirasi dari Sejarah: Ketika Ulama dan Ilmuwan Menyatu
Lihatlah Imam Al-Ghazali. Ia adalah filsuf, teolog, dan ahli tasawuf. Tapi lebih dari itu, ia adalah juru dakwah peradaban. Karya-karyanya seperti Ihya Ulumuddin mengubah wajah keilmuan Islam, menyatukan rasionalitas dan spiritualitas.
Atau Ibnu Khaldun, sosiolog pertama dunia. Ilmunya bukan sekadar akademik, tapi dakwah untuk membangun peradaban Islam yang adil dan maju.
Hari ini, dunia menanti ilmuwan seperti mereka.
Penutup: Dakwah adalah Nafas Ilmuwan Sejati
Ilmuwan yang menjadikan dakwah sebagai poros kehidupan tidak akan pernah kering ide, tidak akan kehilangan arah, dan tidak akan tenggelam dalam dunia yang penuh tipuan. Ia hidup dalam kebermaknaan. Setiap goresan penanya, ketukan keyboardnya, dan detak jantungnya, semua berdenyut dalam irama dakwah.
Maka, wahai para ilmuwan, jadilah obor yang menerangi zaman.
Gunakan ilmumu untuk menuntun umat, bukan membingungkan.
Jadikan dakwah sebagai arah, bukan selingan.
Dan biarlah sejarah mencatat, bahwa di masa kelam umat, engkau adalah cahaya.
Kutipan Penutup
“Hidup bukan tentang berapa banyak gelar yang engkau sandang, tapi seberapa dalam ilmumu menjadikanmu bermanfaat bagi umat dan diridhai oleh-Nya.”
Oleh. Dr. Nasrul Syarif M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)