Dari RAND Corporation ke
Rencana Pembangunan Nasional
Salah satu tonggak penting
perumusan proyek Islam moderat adalah laporan RAND Corporation bertajuk "Building
Moderate Muslim Networks" (2007). Laporan ini secara benderang
menjelaskan perlunya membentuk jaringan Muslim moderat di berbagai negara,
termasuk Indonesia. Langkah itu untuk membendung kebangkitan Islam politik dan
penegakan syariah.
RAND menegaskan bahwa target
utama adalah menjinakkan kelompok Islam yang memperjuangkan penerapan Islam.
Ini harus dilakukan secara total. Selanjutnya menggantikan dengan kelompok yang
lebih lunak, demokratis, dan kompatibel dengan nilai-nilai Barat.
Di Indonesia, proyek ini bukan
sekadar wacana. Tetapi telah bertransformasi jadi kebijakan negara. Dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, secara
eksplisit disebutkan bahwa pemerintah Indonesia akan mengarusutamakan narasi
Islam moderat (wasathiyah). Caranya ditempuh melalui berbagai jalur:
pendidikan, dakwah, media, dan kebudayaan. Dalam dokumen resmi tersebut, narasi
Islam moderat disebut sebagai pilar penting dalam menjaga persatuan bangsa.
Sekaligus menjadi alat kontra-radikalisme.
Lembaga-Lembaga Lokal sebagai
Agen Global
Banyak lembaga lokal yang
berfungsi sebagai operator proyek ini. Sebut saja BNPT, BPIP, dan Kemenag.
Sejumlah ormas Islam besar dan berpengaruh juga sering digandeng dalam kampanye
deradikalisasi dan promosi Islam moderat. Apakah Majelis Ulama Indonesia (MUI)
pun tak luput dari upaya pembaruan agar lebih sejalan dengan agenda moderasi
ini? Silakan ditanyakan langsung kepada petingginya.
Fakta ini menunjukkan betapa masifnya
proyek Islam moderat. Ia tidak hanya berhenti di wilayah opini. Keliru kalau
dianggap demikian. Faktnya ia sudah merasuk ke dalam struktur negara, kurikulum
pendidikan, dan kanal-kanal keagamaan.
Dana triliunan rupiah dari APBN,
termasuk hibah luar negeri, turut menggerakkan. Semua ini sesuai dengan
strategi RAND: menggandeng "Muslim moderat" lokal yang memiliki
pengaruh dan menjadikan mereka wajah Islam yang didukung negara.
Narasi Islam Ramah dan Islam
Marah: Distorsi Pemahaman
Salah satu strategi utama proyek
ini adalah menggiring umat untuk menerima dikotomi palsu: Islam ramah vs Islam
marah. Siapa pun yang menyeru kepada penerapan syariat Islam dianggap radikal,
fundamentalis, bahkan teroris. Sebaliknya, mereka yang menafsirkan Islam hanya
sebagai nilai-nilai moral personal seperti toleransi, keadilan sosial, dan
pluralisme, diangkat sebagai teladan umat.
Narasi ini tidak hanya menjauhkan
umat dari ajaran Islam yang kaffah. Tetapi juga mengubah parameter kebaikan.
Dalam QS Al-Baqarah [2]: 177, Allah Swt. mengingatkan:
> لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا
وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ...
Bukanlah menghadapkan wajahmu
ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan
itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian... (QS Al-Baqarah [2]: 177)
Ayat ini menegaskan bahwa standar
kebaikan tidak ditentukan oleh arah atau formalitas. Kebaikan, menurut Islam,
ditentukan oleh komitmen iman dan amal saleh. Termasuk menegakkan syariat.
Maka, jika syariat ditolak atas nama toleransi atau demokrasi, itu bukanlah
kebaikan sejati.
Pendangkalan Melalui
Pendidikan dan Media
Proyek Islam moderat beroperasi
kuat di sektor pendidikan. Kurikulum dirancang ulang agar tidak lagi memuat
ajakan kepada jihad (dalam makna syar'i). Frasa khilafah, atau amar
makruf nahi mungkar dalam konteks politik juga lenyap. Bahkan buku-buku agama
di sekolah negeri telah disesuaikan agar sejalan dengan agenda moderasi.
Media pun menjadi alat efektif.
Para dai selebriti, tokoh agama di televisi, bahkan influencer Muslim di
media sosial didorong untuk membawa pesan Islam damai. Islam inklusif. Islam
yang cocok untuk negara sekuler. Tentu, tak ada tempat untuk Islam kaffah di
ruang ini.
Fatwa yang Disterilkan
Lembaga fatwa kini dipaksa untuk
menyesuaikan diri. Fatwa yang menyerukan boikot terhadap sistem sekuler
dianggap membahayakan kerukunan. Bahkan, fatwa tentang kewajiban menegakkan
syariat atau haramnya demokrasi seringkali ditolak oleh penguasa dan dicap
radikal. Ini sejalan dengan narasi bahwa agama sebaiknya dipisahkan dari
politik dan hukum negara.
Apa yang kita saksikan hari ini
bukan sekadar penyebaran Islam moderat. Yang sedang terjadi adalah pendangkalan
dan pengkerdilan ajaran Islam. Sebuah proyek global yang diterjemahkan ke dalam
kebijakan lokal demi mensterilkan Islam dari potensi perubahan total. Maka,
kewajiban kita bukan ikut arus, tetapi justru menegakkan kembali Islam yang
utuh, total, dan menyelamatkan. Islam yang kaffah.
(Bersambung ke Bagian 2.4: Islam
Kaffah Bukan Islam Modifikasi, In sya Allah)
Jakarta, 11 Mei 2025
Oleh: Edy Mulyadi
Wartawan Senior