TintaSiyasi.id -- Merespons tindakan Pemerintah Indonesia yang melakukan negosiasi tarif impor yang dikenakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di Washington, Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana pertanyakan apakah itu mempertahankan kedaulatan ekonomi atau justru membuka celah ketergantungan.
"Apakah kita sedang mempertahankan kedaulatan ekonomi atau justru membuka celah ketergantungan baru," ungkapnya di akun TikTok agung.wisnuwardana, Rabu (30/4/2025).
Ia memaparkan fakta bahwa Amerika mengancam dengan ingin menaikkan tarif produk Indonesia yang ternyata bukan 35 persen tetapi 47 persen. Sebagai upaya meredam tekanan, Indonesia menawarkan solusi untuk menambah impor dari Amerika Serikat mulai dari LPG, kedelai, gandum hingga produk pertanian lainnya.
"Faktanya impor LPG dari Amerika Serikat naik tajam, dari 0,6 juta ton menjadi 2,5 juta ton. Ini bisa mengurangi tekanan jangka pendek tetapi juga membuat kita makin sensitif terhadap harga global," tegasnya.
Terkait mengapa posisi Indonesia seperti inferior padahal negosiasi memang sedang berjalan itu disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, posisi tawar Indonesia rendah. Indonesia masih sangat tergantung dengan pasar ekspor luar negeri terutama Amerika Serikat dan Cina.
Kedua, Indonesia tidak memiliki strategi balasan. Bandingkan dengan Cina, Kanada, Colombia, dan Uni Eropa yang langsung pasang tarif balik waktu ditekan oleh Trump.
Ketiga, negosiasi Indonesia cenderung elit to elit bukan berbasis kepentingan publik. Akibatnya petani lokal bisa kalah saing dengan produk pertanian dari Amerika Serikat. Rakyat biasa yang rugi, petani makin tertekan karena kedelai atau jagung impor yang lebih murah.
"Impor BBM dan LPG membuat neraca energi kita makin defisit. Industri kecil kena tarif ekspor tinggi makin susah menembus pasar global," ujarnya.
Ia menjelaskan, yang dibutuhkan Indonesia sekarang adalah ketegasan visi ekonomi jangka panjang, bukan sekadar deal taktis yang bisa mengorbankan petani, industri dan kemandirian energi.
"Sampai kapan Indonesia menjadi penonton dalam konstalasi politik dan ekonomi internasional? Sampai kapan Indonesia selalu inferior di kancah politik ekonomi global? Kapan kita punya tim negosiasi yang mungkin lebih cenderung mikir jangka panjang bukan sekadar buat deal deal saja," pungkasnya.[] Alfia Purwanti