TintaSiyasi.id -- Apakah Indonesia kembali menjadi laboratorium terbuka bagi eksperimen kesehatan global? Pertanyaan itu menyeruak setelah Presiden Prabowo Subianto bertemu dengan Bill Gates, Rabu (7-5-2025), dan membahas rencana uji klinis vaksin TBC di tanah air. Kolaborasi ini sontak menjadi buah bibir di jagat maya, memicu silang pendapat yang mencerminkan kegelisahan publik atas agenda kesehatan yang dinilai tak sepenuhnya transparan. (Kompas.com, 20-5-2025)
Di era digital yang penuh dengan arus informasi tak terbendung, teori konspirasi tumbuh subur, bahkan menjalar ke ranah kesehatan masyarakat. Salah satu narasi yang mencuat adalah tuduhan bahwa Indonesia menjadi “kelinci percobaan” vaksin oleh tokoh global seperti Bill Gates. Narasi ini menggugah emosi, menimbulkan ketakutan, namun sayangnya jauh dari fakta.
Namun, menyebut Indonesia sebagai “kelinci percobaan” mengimplikasikan bahwa vaksin yang diberikan belum teruji atau penduduk dijadikan objek uji coba tanpa persetujuan. Ini adalah kesalahan besar. Setiap vaksin yang digunakan di Indonesia—terutama yang didistribusikan secara massal—telah melalui uji klinis dan mendapatkan izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta rekomendasi dari organisasi kesehatan global seperti WHO.
Narasi bahwa Indonesia dijadikan “kelinci percobaan vaksin” oleh tokoh global seperti Bill Gates sering dianggap sebagai teori konspirasi liar yang tidak berdasar. Namun jika kita hanya menertawakannya tanpa menyelami akar masalahnya, kita justru gagal memahami realitas sosial yang lebih dalam. Rakyat Indonesia dan banyak negara berkembang lainnya, semakin kehilangan kepercayaan terhadap pemimpinnya sendiri dan elite global yang terlihat terlalu jauh dari kepentingan rakyat.
Gejala dari Ketidakpercayaan
Munculnya anggapan bahwa vaksin global hanyalah alat manipulasi bukan lahir dari ketidaktahuan (kurangnya literasi), melainkan dari luka kolektif dan kecurigaan yang telah lama dipendam terhadap sistem yang kerap mengabaikan keadilan. Rakyat melihat kesenjangan ekonomi yang makin menganga, keputusan politik yang lebih berpihak pada investor daripada petani, dan korupsi yang seolah abadi meski wajah pemerintah berganti-ganti.
Di tengah pandemi, masyarakat bukannya diberi penjelasan yang transparan, tetapi malah didorong ikut vaksinasi tanpa ruang dialog. Kehadiran tokoh global seperti Bill Gates dalam narasi vaksin justru memperkuat kesan bahwa kebijakan kesehatan dalam negeri berada di bawah bayang-bayang kekuatan asing. Inilah yang membuat teori konspirasi tumbuh subur, yakni akibat ketidakpercayaan telah lebih dulu menancap.
Kritik terhadap tokoh seperti Bill Gates bukan hal baru. Kontribusinya di bidang kesehatan tak bisa disangkal, namun peran Bill Gates yang begitu dominan dalam proyek vaksin global menimbulkan kecurigaan: apakah ini bentuk kepedulian, atau manuver kekuasaan berkedok amal? Di tengah dominasi Big Pharma, ketimpangan akses vaksin, dan kontrol paten yang tak kunjung dilonggarkan, kecurigaan itu bukan sekadar paranoia.
Pemimpin yang Gagal Membangun Kepercayaan
Namun kita juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan narasi luar. Di dalam negeri, kurangnya komunikasi terbuka, kebijakan yang berubah-ubah, dan kesan bahwa pemerintah lebih mendengar lembaga internasional ketimbang jeritan rakyat membuat jurang ketidakpercayaan makin dalam. Saat rakyat tidak merasa dilibatkan, tidak diberi penjelasan, dan tidak diajak berdiskusi, maka wajar bila mereka menciptakan narasi sendiri.
Pertanyaan sesungguhnya bukan apakah Indonesia dijadikan kelinci percobaan, melainkan mengapa rakyat dengan mudah mempercayai bahwa itu mungkin terjadi. Jawabannya sederhana namun menyakitkan, yakni karena mereka tidak lagi percaya pada niat baik pemimpinnya.
Jika bangsa ini ingin keluar dari lingkaran teori konspirasi, maka solusinya bukan menertawakan rakyat, tapi membangun kembali jembatan kepercayaan. Melalui keterbukaan, keadilan, dan keberpihakan yang nyata.
Kesehatan dalam Islam
Dalam Islam, kesehatan adalah hak dasar manusia (haqq al-insān), bukan barang dagangan. Rasulullah saw. bersabda:
"Tidak ada penyakit yang Allah turunkan kecuali Dia juga menurunkan obatnya." (HR. Bukhari)
Ini menunjukkan pentingnya pengobatan dan upaya penyembuhan sebagai bagian dari rahmat Allah yang wajib difasilitasi. Oleh karena itu, dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah/negara yang menerapkan syariat secara menyeluruh) berfungsi sebagai pelayan umat, bukan pelayan korporasi. Imam al-Mawardi dan para fuqaha klasik menjelaskan bahwa penguasa wajib menyediakan layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan secara gratis serta merata.
Untuk itu, negara wajib mengelola sumber daya alam dan kekayaan negara untuk membiayai layanan tersebut, tanpa bergantung pada utang atau swasta. Misalnya, pada masa Kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, rumah sakit (Bimaristan) dibangun di banyak kota besar seperti Baghdad, Kairo, dan Damaskus. Layanan medis di sana gratis, bahkan pasien miskin diberi uang saku setelah sembuh.
Dalam sistem Islam, kesehatan dan vaksin tidak boleh dikomersialkan. Obat, vaksin, dan layanan medis adalah kebutuhan pokok yang tidak boleh dikendalikan oleh pasar bebas. Produksi dan distribusinya diatur oleh negara, bukan oleh perusahaan swasta multinasional yang mencari profit. Dengan demikian, vaksin akan disediakan gratis oleh negara, dan tidak akan dijadikan alat bisnis oleh elite atau asing.
Pembiayaan layanan kesehatan dalam negara Islam tidak butuh utang atau swastanisasi. Negara Islam akan membiayai layanan kesehatan melalui pengelolaan kekayaan umum (seperti tambang, energi, dll) yang tidak boleh diprivatisasi, harta zakat, kharaj, fa’i, dan sumber pendapatan syar’i lainnya. Ini sangat berbeda dengan negara kapitalis yang menyerahkan pelayanan kepada korporasi dan membuat rakyat membeli haknya sendiri.
Khatimah
Dalam sistem Islam, negara wajib menyediakan vaksin dan layanan kesehatan secara gratis, universal, dan berkualitas, karena hal itu merupakan amanah dan bukan sekadar program sosial. Negara tidak akan membiarkan perusahaan atau yayasan swasta—baik lokal maupun asing—mengendalikan nasib kesehatan rakyatnya. Inilah bedanya antara sistem Islam yang berorientasi pada rahmat bagi seluruh alam, dan sistem kapitalisme yang menjadikan kesehatan sebagai ladang bisnis global. Wallahu a’lam bishawwab.[]
Oleh: Mila Ummu Nuha
Aktivis Muslimah