Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Ikhlas: Inti Perjalanan Ruhani Menuju Allah

Minggu, 04 Mei 2025 | 09:45 WIB Last Updated 2025-05-04T02:46:06Z
TintaSiyasi.id -- Pendahuluan, di antara sekian banyak akhlak yang diperintahkan dalam Islam, ikhlas menempati derajat yang tertinggi dan paling menentukan. Ia adalah rahasia di balik diterimanya amal, inti dari seluruh ibadah dan jiwa dari setiap gerakan menuju Allah..Tanpa ikhlas, amal sebesar apa pun hanya akan menjadi debu yang beterbangan, tidak berharga di sisi Allah. Sebaliknya, dengan ikhlas, bahkan amal yang kecil akan menjadi besar di sisi-Nya.

Sayyid Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi dalam kitabnya Kifâyatul Atqiyâ’ wa Minhâjul Ashfiyâ’ menulis: "Ketahuilah bahwa ikhlas adalah menyucikan amal dari selain Allah. Ia merupakan syarat diterimanya amal. Barang siapa beramal dengan mengharap selain Allah, maka amalnya tertolak dan sia-sia."
Ikhlas, dengan demikian, adalah kunci keselamatan dunia dan akhirat.

Definisi Hakiki Ikhlas

Secara bahasa, ikhlas berasal dari kata khalasha yang berarti "murni" atau "bersih dari campuran."

Secara istilah menurut para ulama:
• Imam Al-Jurjani mendefinisikannya:
"Ikhlas adalah tidak menginginkan dengan amalannya selain mendekatkan diri kepada Allah."
• Sayyid Abu Bakar Syatha menegaskan bahwa:
"Ikhlas itu memurnikan niat dari segala sesuatu selain Allah, baik keinginan akan pujian, kekayaan, atau pangkat."
Dengan kata lain, ikhlas berarti beramal hanya karena Allah, bukan karena manusia, dunia, atau diri sendiri.

Tingkat-Tingkat Ikhlas

Ikhlas bukan satu tingkatan yang statis, melainkan bertingkat-tingkat, sesuai dengan kedalaman makrifat seseorang. Dalam Kifayatul Atqiya, tingkatan ikhlas antara lain:

1. Ikhlas dari Puji dan Cela
Beramal tanpa peduli apakah akan dipuji atau dicela oleh manusia. Orang yang ikhlas tetap beramal dalam kesunyian maupun dalam keramaian.

2. Ikhlas dari Harapan Duniawi
Amal dilakukan bukan untuk mendapatkan dunia. Seperti harta, jabatan atau popularitas.

3. Ikhlas Hakiki
Amal dilakukan semata karena Allah, bukan karena pahala atau takut siksa, melainkan hanya karena Allah memang berhak untuk disembah.

Imam Al-Qusyairi dalam Risalah Qusyairiyah berkata:
"Ikhlas adalah rahasia antara Allah dan hamba-Nya. Malaikat tidak mengetahuinya untuk mencatatnya, setan tidak mengetahuinya untuk merusaknya, dan hawa nafsu tidak mengetahuinya untuk memalingkannya."

Tanda-tanda Ikhlas

Sayyid Abu Bakar Syatha mengajarkan, seseorang dapat mengukur keikhlasannya melalui tanda-tanda berikut:

• Tidak berubah amal karena manusia.
Jika dipuji, ia tidak bertambah semangat; jika dicela, ia tidak berkurang semangat.

• Menyembunyikan amal kebaikan.
Sebisa mungkin amal kebaikan dilakukan secara tersembunyi, sebagaimana menyembunyikan dosa.

• Menganggap amalannya kecil.
Orang ikhlas tidak membanggakan amalannya. Ia selalu merasa bahwa amalannya belum pantas diterima.

• Bergantung sepenuhnya kepada Allah.
Ia tidak merasa aman dengan amalnya, tetapi selalu berharap rahmat Allah.

Bahaya Riyaa' dan Sum'ah

Dalam Kifayatul Atqiya’, Sayyid Abu Bakar Syatha memperingatkan tentang dua penyakit yang menghancurkan keikhlasan:
• Riyaa’ (Pamer): beramal agar dilihat manusia.
• Sum’ah (Mencari ketenaran): beramal agar didengar dan dikenal.

Keduanya adalah bentuk "syirik kecil," sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
"Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil." Para sahabat bertanya: "Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Riyaa'." (HR. Ahmad).
Riyaa’ membuat amal tidak hanya tidak diterima, tetapi juga menjadi sebab turunnya murka Allah.

Cara Menumbuhkan dan Menjaga Ikhlas

Ikhlas adalah perkara berat. Bahkan Imam Sufyan Ats-Tsauri pernah berkata:
"Aku tidak mengobati sesuatu yang lebih sulit daripada niatku. Ia terus berbolak-balik dalam diriku."

Namun, ikhlas bisa diusahakan dengan langkah-langkah berikut:

1. Muraqabah (Merasa diawasi Allah).
Menyadari bahwa Allah melihat hati kita sebelum melihat amal lahiriah kita.
2. Menghadirkan niat sejak awal, saat amal, dan setelah amal.
Ikhlas perlu diperbarui sepanjang amal.
3. Membiasakan amal tersembunyi.
Lakukan amal yang hanya Allah yang tahu.
4. Memohon kepada Allah.
Berdoa agar diberikan keikhlasan. Rasulullah ﷺ pun berdoa:
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari syirik yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa yang tidak aku ketahui."
5. Mengingat ketidakberartian amal tanpa ikhlas.

Amal tanpa ikhlas adalah beban, bukan bekal.
Ikhlas: Cahaya di Akhir Jalan

Seorang hamba yang ikhlas akan berjalan dalam kehidupan ini dengan ringan.
Ia tidak terikat pujian manusia, tidak tergantung pada hasil duniawi dan tidak gelisah dengan cercaan. Ia tahu bahwa yang penting bukan bagaimana manusia menilainya, tetapi bagaimana Allah memandang hatinya. Di dunia, ia akan mendapatkan ketenangan batin. Di akhirat, ia akan mendapatkan kemuliaan yang tidak tergambarkan.

Allah berfirman:
"Sungguh, hanya untuk Allah agama yang bersih (ikhlas)." (QS. Az-Zumar: 3).

Dan di dalam hadis qudsi disebutkan:
"Aku adalah yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa beramal dengan menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya." (HR. Muslim).

Penutup
Ikhlas adalah lautan tanpa tepi. Ia adalah ruh bagi segala amal, dan cahaya bagi segala perjalanan ruhani. Dalam dunia yang penuh pujian, ketenaran, dan pencitraan ini, ikhlas menjadi barang langka yang sangat mahal.
Namun, justru karena kelangkaannya, ia menjadi permata paling berharga di sisi Allah.
Maka marilah kita bermohon kepada Allah, dengan hati yang berserah:
"Ya Allah, bersihkanlah hati kami dari segala sesuatu selain Engkau.
Jadikanlah semua amal kami murni karena-Mu, demi wajah-Mu Yang Mulia.
Dan janganlah Engkau biarkan kami terpedaya dengan dunia yang fana ini."
آمِيْن يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Dr. Nasrul Syarif M.Si  
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana  UIT Lirboyo

Opini

×
Berita Terbaru Update