Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

HILMI: Dunia Islam Harus Membaca Peluang Geopolitik Baru

Senin, 19 Mei 2025 | 21:06 WIB Last Updated 2025-05-19T14:06:54Z

TintaSiyasi.id -- Menganalisis geopolitik global dan peluangnya bagi umat Islam, dalam Intellectual Opinion No. 005 yang dikeluarkan Senin, 19 Mei 2025, Perhimpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) menyatakan bahwa dunia Islam harus membaca peluang geopolitik baru untuk bersatu dan bangkit.

"Dunia Islam harus membaca peluang geopolitik baru: saat Barat melemah dan Timur menguat. Diperlukan data yang komprehensif untuk integrasi potensi SDM, SDA, serta SDM antar negeri Islam. Persatuan adalah kunci. Forum seperti OKI harus diperkuat, tidak hanya simbolik, tetapi real seperti era Khilafah," ungkapnya. 

HILMI menilai, kini ada pergeseran kekuatan ekonomi global: Amerika Serikat (AS) versus China. Dominasi Amerika Serikat sebagai kekuatan tunggal pasca-Perang Dingin, menurutnya, mulai goyah sejak krisis ekonomi 2008 dan kian diperlemah oleh ketegangan politik dalam negeri serta kebangkitan ekonomi China. 

Sementara itu, kata HILMI, Dunia Islam berada pada posisi strategis, namun belum mampu memanfaatkan peluang transisi ini. Menurutnya, diperlukan kajian peluang kebangkitan umat Islam dalam konteks perubahan tatanan global, dengan analisis kuantitatif dan historis.

Dalam dua dekade terakhir, lanjutnya, ekonomi Tiongkok tumbuh pesat dan berhasil menyalip negeri Paman Sam dalam Gross Domestic Product (GDP) berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP). Pada 2024 GDP PPP China mencapai 31.0 triliun USD, melesat pesat dari 2,5 triliun USD pada tahun 2000. Sedangkan GDP PPP Amerika Serikat pada 2024 ada di angka 26,0 triliun USD. Padahal, di tahun 2000 sudah mencapai 10, 0 triliun USD.

Menghadapi situasi ini, menurut HILMI Amerika Serikat melakukan strategi “test the water” melalui perang tarif (trade war) terhadap China sejak 2018, dengan tujuan menguji siapa saja negara-negara yang masih bergantung dan takut padanya. Namun, hasilnya justru memperlihatkan daya tahan dan diversifikasi China meningkat.

"Pertanyaan utama: Apakah kemunduran Amerika ini peluang bagi umat Islam? Jawabannya sangat bergantung pada kesiapan internal umat dalam mengelola sumber daya," ungkapnya.

Lebih lanjut HILMI menilai, Dunia Islam memiliki kekayaan alam (minyak, gas, tambang) luar biasa. Minyak, misalnya, 70% cadangan minyak dunia kata HILMI ada di 57 negara OKI. Namun, menurutnya, terjadi salah kelola, minim kapitalisasi teknologi, dan inovasi. Infrastruktur dan modal sosial untuk kolaborasi riset di dunia Islam menurutnya juga sangat lemah. Sementara, ketergantungannya pada teknologi impor cukup tinggi dan devisanya didominasi ekspor bahan mentah.

Dalam hal kekayaan intelektual pun,  HILMI menilai Dunia Islam masih rendah, sekitar 15.000 paten per tahun (Data: WIPO, 2022) dari total negeri-negeri muslim, sedangkan di China ada 1 juta paten per tahun, dan AS sekitar 300.000 paten per tahun.

Sementara itu, lanjutnya, dalam hal kualitas sumber daya manusia (SDM), dengan populasi mencapai 1,9 miliar jiwa (25% populasi dunia), umat Islam hanya menghasilkan 6–8% artikel ilmiah global dan memiliki rasio peneliti yang sangat rendah berdasarkan data Unesco Science Report, 2021.

"AS memiliki 4400 peneliti per 1 juta jiwa. China 1300, Dunia Islam ratarata kurang dari 500!" paparnya. 


Masalah Fragmentasi: Ashabiyah/Nasionalisme?

HILMI menilai, proyek geopolitik Islam bersatu sering kali gagal karena loyalitas sektarian dan kepentingan domestik di dunia Islam. Hal ini menurutnya menghambat integrasi ekonomi, pertahanan, bahkan kerja sama ilmu pengetahuan. Diketahui, sejak runtuhnya Khilafah Utsmaniyah, umat Islam terfragmentasi ke dalam negara-bangsa. Semangat nasionalisme yang ditinggalkan era kolonialisme pun menggantikan ukhuwah Islamiyah. 

Ia menilai, dunia Islam gagal memiliki satu voice dalam forum global. Ia mencontohkan, di PBB, suara dunia Islam sering terpecah terkait isu Palestina atau Rohingya karena tekanan dan kepentingan nasional masing-masing. Begitu juga, lanjut HILMI, dengan organisasi Islam, sering bertentangan dan saling menegasikan. 

"Salah satu hambatan utama kebangkitan Islam adalah juga fragmentasi internal. Nasionalisme sempit mengalahkan ukhuwah," tegasnya.

Karena itu, HILMi mengingatkan, agar dunia Islam bersatu, forum seperti OKI harus diperkuat, tidak hanya simbolik, tetapi riil seperti era khilafah.

"Persatuan adalah kunci," tegasnya.

Meski tidak memungkiri akan adanya tekanan ekonomi dan militer, namun HILMI yakin bahwa bukan berarti hal itu musibah, melainkan bisa jadi justru menjadi berkah. Ia melihat, memang saat ini banyak negeri Islam berada dalam kondisi sulit, seperti perang, embargo, krisis ekonomi. Namun menurutnya, inilah justru masa yang dapat melahirkan generasi pejuang yang kuat, jika mereka sabar dan tekun belajar.

Studi atas kasus Iran, misalnya. Menurutnya, Iran adalah contoh nyata bagaimana tekanan internasional (embargo sejak 1979) justru memacu kemandirian. Produksi dalam negerinya meningkat: dari otomotif, drone, hingga farmasi dan militer. Kemajuan Iran menurutnya luar biasa dalam hal industri dirgantara dan teknologi nuklir. Sistem keuangan lokalnya dikembangkan (tanpa SWIFT). Rakyatnya pun terbiasa hidup mandiri dan tidak konsumtif. 

"Embargo bukan kutukan. Ia bisa menjadi berkah jika direspons dengan tekad. Embargo justru mempercepat inovasi karena memaksa kemandirian. Negeri-negeri Islam harus belajar dari Iran: Mandiri adalah hasil dari tekanan, bukan kenyamanan," ungkap HILMI.

Mengutip Ibnu Khaldun (1332–1406) dalam Muqaddimah-nya: "Zaman berat melahirkan generasi kuat. Generasi kuat membangun zaman mudah. Zaman mudah melahirkan generasi lemah bila malas berdakwah dan tenggelam dalam hidup mewah. Generasi lemah akan mengembalikan mereka ke zaman yang berat", HILMI mengingatkan bahwa sejarah bergerak dalam siklus dan membuktikan bahwa umat yang sabar dan kreatif akan bertahan. 

"Bangkitnya umat akan diuji oleh tekanan ekonomi dan militer — tapi sejarah membuktikan, umat yang sabar dan kreatif akan bertahan," pungkasnya.[] Saptaningtyas

Opini

×
Berita Terbaru Update