Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Haji dan Persatuan Umat Islam: Menyatukan Hati dalam Panggilan Ilahi

Jumat, 30 Mei 2025 | 17:31 WIB Last Updated 2025-05-30T10:31:43Z


TintaSiyasi.id -- “Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhan kalian, maka sembahlah Aku.”
(QS. Al-Anbiya: 92)

Pendahuluan: Haji, Rukun Islam yang Mengglobal

Setiap tahun, jutaan Muslim dari seluruh penjuru dunia berkumpul di tanah suci Makkah. Mereka datang dari berbagai bangsa, warna kulit, bahasa, dan status sosial. Mereka mengenakan pakaian yang sama: dua helai kain putih tanpa jahitan. Tidak ada raja, tidak ada rakyat jelata. Tidak ada pejabat, tidak ada buruh. Semua menyatu dalam satu panggilan: “Labbaikallahumma labbaik…”

Inilah haji. Sebuah ritual ibadah yang bukan hanya spiritual, tetapi juga simbol peradaban. Bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan ruhani dan ideologis. Haji adalah cermin dari kesatuan umat Islam, sekaligus pengingat bahwa kita adalah satu tubuh yang disatukan oleh akidah dan syariat yang sama.

Namun, di balik kemegahan ibadah haji, umat Islam justru mengalami perpecahan yang menyakitkan. Di saat jutaan Muslim bertemu di satu tempat, dunia Islam tetap terkotak-kotak dalam batas-batas nasionalisme. Di saat lisan melantunkan kalimat tauhid, sistem hidup umat justru jauh dari tauhid.

Lalu, di manakah letak hakikat persatuan umat yang dijanjikan oleh haji?

Makna Simbolik Haji dalam Menyatukan Umat

1. Kain Ihram: Simbol Kesetaraan dan Keikhlasan

Ketika seorang Muslim mengenakan ihram, ia melepaskan simbol duniawi. Jabatan, gelar, kekayaan, dan kebangsaan ditanggalkan. Semua menjadi sama di hadapan Allah. Inilah pendidikan tauhid yang paling nyata: tiada kemuliaan kecuali karena takwa.

2. Thawaf: Mengelilingi Satu Kiblat, Satu Tujuan

Thawaf mengajarkan bahwa hidup harus berporos pada pusat yang sama—yakni Allah SWT. Umat Islam disatukan oleh kiblat yang satu, bukan ideologi atau kepentingan nasional. Seharusnya, ini menjadi dasar persatuan umat: satu arah, satu hukum, satu visi hidup.

3. Wuquf di Arafah: Puncak Kesatuan dan Doa Umat

Jutaan orang berdiri di padang Arafah dalam waktu yang sama, dengan doa yang sama. Tidak ada peristiwa manusia yang seagung ini dalam sejarah dunia. Ini seharusnya menjadi titik tolak kesadaran: jika kita bisa bersatu di Arafah, mengapa tidak dalam kehidupan politik dan sosial?

4. Lempar Jumrah: Melawan Musuh Bersama

Melempar jumrah bukan hanya ritual fisik, tapi simbol perlawanan terhadap godaan setan, nafsu, dan sistem yang memecah belah umat. Ia mengajarkan bahwa musuh kita satu: kebatilan, bukan sesama Muslim.

Haji: Titik Temu Umat, Bukan Sekadar Ritual

Rasulullah SAW menyampaikan khutbah perpisahan di Arafah dengan seruan yang menggugah dunia:

> “Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu dan ayah kalian satu. Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas non-Arab, atau non-Arab atas orang Arab, kecuali karena takwa…”

Ini bukan hanya pidato. Ini adalah manifesto kemanusiaan. Sebuah landasan peradaban Islam yang menghapus rasisme, chauvinisme, dan sekularisme. Namun, setelah haji, mengapa umat justru kembali kepada sekat-sekat yang memisahkan?

Jawabannya ada pada satu kata: sistem.

Masalah Umat: Ketika Persatuan Hanya Bersifat Ritual

Hari ini, haji dijalankan dalam kerangka nasionalistik dan administratif. Setiap negara memiliki kuota sendiri. Setiap jamaah diatur oleh panitia nasional masing-masing. Maka, meski bertemu di satu tempat, umat tetap tercerai secara struktural dan politis.

Ironi terjadi di tanah suci: berjamaah dalam ibadah, tapi berpisah dalam cita-cita.

Ketiadaan Kepemimpinan Islam Global atau Khilafah Islamiyah menjadikan haji hanya sebagai simbol, bukan momentum perubahan. Jika dahulu para khalifah menggunakan musim haji untuk menyampaikan amanat umat, hari ini tidak ada yang mampu menyuarakan penderitaan Palestina, Uighur, Suriah, atau Rohingya di tengah jutaan jamaah.

Solusi: Menghidupkan Kembali Ruh Persatuan Umat

1. Menghidupkan Kesadaran Politik Islam di Kalangan Umat

Umat perlu menyadari bahwa haji bukan sekadar ibadah spiritual, melainkan panggilan ideologis untuk bersatu di bawah panji Islam. Kesadaran ini harus dibangkitkan melalui dakwah, pendidikan, dan media.

2. Menolak Nasionalisme yang Memecah Belah

Nasionalisme adalah virus yang menumpulkan ukhuwah Islamiyah. Umat harus melampaui batas-batas kebangsaan untuk kembali kepada ikatan tauhid dan ukhuwah akidah.

3. Menyambut Kembali Kepemimpinan Islam Global

Sebagaimana umat dahulu bersatu dalam naungan Khilafah, hari ini kita pun harus berjuang untuk hadirnya kembali institusi itu. Hanya dengan kepemimpinan Islam global, haji bisa menjadi ajang diplomasi umat, bukan sekadar prosesi ibadah tahunan.

Refleksi: Apa yang Kita Bawa Pulang dari Haji?

Apakah hanya oleh-oleh dan foto-foto selfie? Ataukah kesadaran akan pentingnya persatuan, perjuangan, dan pengorbanan?

Haji seharusnya membentuk jiwa pemimpin: mereka yang ingin menyatukan umat, menegakkan syariah, dan melawan kezaliman global. Jika setiap haji pulang dengan semangat perubahan, maka umat akan bergerak, dan sejarah akan berubah.

Penutup: Haji dan Harapan Baru untuk Dunia Islam

Haji adalah panggilan dari langit untuk menyatukan hati, akal, dan langkah umat Islam. Ia bukan hanya napak tilas sejarah Nabi Ibrahim, tapi juga persiapan menuju kebangkitan baru.

Mari kita jadikan haji sebagai titik awal perbaikan umat. Dari haji kita belajar kesetaraan. Dari haji kita memahami pentingnya arah hidup. Dan dari haji, kita harus menyadari bahwa umat ini hanya akan mulia jika bersatu di bawah panji Islam yang kaffah.

> “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah antara dua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kalian mendapat rahmat.”
(QS. Al-Hujurat: 10)

Oleh. Dr Nasrul Syarif M.Si. (Dosen, Penulis dan Sekjen Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa)

Opini

×
Berita Terbaru Update