Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Grup Facebook "Fantasi Sedarah": Rasa Aman yang Hilang di Rumah

Minggu, 25 Mei 2025 | 22:51 WIB Last Updated 2025-05-25T15:52:01Z

TintaSiyasi.id -- Pada malam 15 Mei 2025, seorang pengguna media sosial menemukan postingan mencurigakan dari sebuah grup Facebook tertutup bernama “Fantasi Sedarah”. Hasil tangkapan layar dari grup yang ternyata sudah beranggotakan lebih dari dua ribu akun aktif itu dibagikannya di X. Tangkapan layar itu menampilkan cerita erotis bertema inses serta tautan ke berkas foto anak di layanan berbagi file anonim. 

Dalam hitungan jam, warganet menelusuri grup tersebut lalu melaporkannya ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), dan sejumlah media daring. Tagar #TutupFantasiSedarah pun langsung trending, memicu tekanan publik agar pemerintah dan Meta bertindak cepat (detiknews.com, 17/5/2025).

Sore 16 Mei, Komdigi secara resmi meminta Meta men-takedown grup beserta seluruh mirror link dan, untuk sementara, memblokir akses URL dari Indonesia. Bersamaan itu, Polda Metro Jaya membuka penyelidikan pasal berlapis UU ITE, UU Pornografi, dan UU Perlindungan Anak, menelusuri log server untuk mengidentifikasi admin serta lima belas akun pengunggah aktif. 

Pada 17 Mei, polisi mengumumkan telah mengantongi identitas tersangka utama dan menyita berbagai perangkat digital sebagai barang bukti. Setelah ditakedown, grup serupa muncul dengan nama berbeda dengan isi yang sama. Warganet mendorong agar langkah pemerintah bukan hanya mentakedown akun tetapi juga memberikan sanksi yang membuat jera. 

Fenomena terbentuk dan berkembangnya grup Facebook “Fantasi Sedarah” mencerminkan keretakan serius dalam nilai moral masyarakat yang sangat jauh dari Islam. Ketika agama tidak lagi menjadi landasan dalam membedakan benar dan salah, manusia cenderung membenarkan penyimpangan dengan dalih kebebasan berekspresi atau "fantasi pribadi". 

Dalam ruang digital yang minim pengawasan nilai spiritual, batas antara imajinasi dan kriminalitas bisa kabur, apalagi ketika didukung oleh algoritma platform yang hanya mementingkan keterlibatan pengguna, bukan etika. Ketika agama dijauhkan dari pendidikan, keluarga, dan kebijakan, masyarakat rentan kehilangan kompas moral, mengenai halal dan haram, dan perilaku menyimpang seperti normalisasi inses pun bisa tumbuh dalam diam. 

Hal ini diperparah dengan kondisi negara yang mengabaikan peran agama dalam sistem kehidupan sosialnya. Akan sangat sulit bagi negara untuk merespons fenomena semacam ini secara menyeluruh. Hukum positif memang bisa menghukum perbuatan, tetapi tidak mampu menyentuh akar. Akar masalahnya adalah hilangnya rasa takut kepada Allah Swt. Sekularisme menjadikan agama hanya ada di ruang-ruang pribadi yang tidak memberi pengaruh pada kehidupan. Ketika aturan Allah Swt. tidak dijadikan rujukan dalam membangun kebijakan digital, pendidikan karakter, dan kontrol sosial, maka ruang-ruang seperti media sosial akan terus menjadi tempat subur bagi perilaku menyimpang yang merusak generasi muda. Dalam konteks ini, fenomena “Fantasi Sedarah” bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga alarm keras atas jauhnya masyarakat dari nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi pelindung fitrah manusia.

Untuk itu, sebagai ideologi, Islam menawarkan solusi yang berlapis, yakni, solusi individu, keluarga, masyarakat, hingga kebijakan negara. Pertama, sebagai individu, masyarakat yang memiliki keimanan yang kokoh adalah benteng pertama. Keimanan kepada Allah Swt. akan menekankan penjagaan pandangan (ghadd al-bashar) dan pengelolaan hasrat lewat puasa, zikir, dan shalat malam. Ibadah-ibadah ini bukan sekadar ritual, tapi sarana mengekang hawa nafsu, sehingga fantasi haram tidak menemukan ruang berkembang.

Kedua, adanya keluarga sebagai madrasah utama. Rasulullah Saw. mewajibkan orang tua menanamkan adab dan akidah sejak dini. MIsalnya, Islam memberi rambu-rambu dalam mengajarkan anak tentang aurat, sehingga anak memiliki penegetahuan batasan sentuhan halal-haram. Pemahaman ini akan membuat anak mewaspadai tanda-tanda terjadinya pelecehan. Hal ini sangat bergantung pada pemahaman dan peran orang tua.

Ketiga, masyarakat dengan budaya dakwah (amar ma’ruf nahi munkar). Islam mendorong masyarakat untuk saling mengingatkan. Masyarakat perlu melakukan kontrol terhadap berbagai kemaksiatan yang ada di sekitar dan mencegahnya. 

Keempat, negara berperan sebagai qayyim (penjaga). Syariat menempatkan pemerintah untuk menutup semua pintu menuju zina. Negara perlu membuat regulasi yang mewajibkan platform memiliki filter konten inses dan pedofilia, sehingga mencegah platform digunakan untuk kampanye dan wasilah kemaksiatan. Negara juga perlu memperbaiki sistem pendidikan agar bisa membentuk individu yang bersyaksiyah Islam. Tak ketinggalan adalah penegakan hukum cepat dan tegas, sehingga bisa memberikan efek jera yang membuat pelaku tidak akan mengulangi perbuatan serupa. 

Demikianlah Islam menyelesaikan fenomena rusak ini. Hilangnya Islam dalam kehidupan menjadikan masyarakat kehilangan fitrah kemanusiaannya. Hal ini membentuk perangai bejat yang sangat jauh dari gambaran kepribadian seorang Muslim. Untuk itu, maka Islam perlu segera dikembalikan dalalm kehidupan demi mengembalikan fitrah sesuai tujuan penciptaannya. []


Oleh: Endang Rahayu Tri
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update