Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Fantasi Sedarah, Bukti Manusia Kehilangan Arah?

Senin, 26 Mei 2025 | 10:53 WIB Last Updated 2025-05-26T03:53:43Z

TintaSiyasi.id -- Belakangan ini publik dibuat geram oleh grup Facebook bernama ‘fantasi sedarah’. Melalui percakapannya, grup beranggotakan tiga puluh ribuan orang ini terang-terangan menunjukkan perilaku menyimpang seks sedarah (inses). Setelah viral dibicarakan di media sosial barulah Kementrian Komdigi memblokir grup tersebut, Republika (17/05/2025).

Grup ‘fantasi sedarah’ bukanlah satu-satunya, kasus serupa juga pernah terjadi di beberapa wilayah. Dilansir dari laman Tempo.co (19/05/2025), sebelumnya pada awal bulan Mei terungkap kasus Inses kakak dan adik di Medan, bayi dari hubungan terlarang tersebut hendak dibuang melalui ojek online. Driver ojol yang terlibat segera melaporkan kepada pihak yang berwenang ketika menyadari barang yang hendak di antarkannya adalah seorang bayi. Lebih tragis, di bulan Juni 2023 Polisi mengungkap kasus inses antara ayah dan anak di Banyumas yang berujung pembunuhan tujuh bayi hasil hubungan keduanya.

Sejumlah potret penyimpangan ini menandakan manusia telah kehilangan nalar dan nurani. Bagaimana mungkin tabiat binatang kini rela diadopsi? Mengapa semua ini bisa terjadi? Mengapa manusia tak lagi menggunakan rambu-rambu dalam menjalani kehidupan?


Kebebasan Melampaui Segalanya

Sungguh dunia sudah tidak waras lagi, manusia menjelma menjadi binatang. Seorang ayah tega melampiaskan hasratnya kepada darah dagingnya. Seorang anak laki-laki tertarik dengan ibunya sendiri. Keluarga yang sejatinya tempat bernaung, rumah ternyaman dan aman, kini berubah menjadi ruang berbahaya penuh ancaman. Individu bisa melakukan apa saja atas prinsip kebebasan yang senantiasa diagungkan. Para pelaku memandang tindakan menyimpang yang dilakukannya sebagai sesuatu yang wajar, sebaliknya yang menolak perbuatan tersebut dianggap memiliki sudut pandang yang sempit. Sangat nyata, kebebasan yang lahir dari rahim demokrasi kapitalisme menjadikan manusia dibutakan oleh hawa nafsu dan tak mampu membedakan yang baik dan buruk.

Atas kebebasan ini pula masyarakat tidak lagi menjalankan perannya sebagai kontrol sosial yang sehat. Mendiamkan hal-hal tabu dengan dalih ‘ranah privasi’ menjadikan para pelaku merasa aman karena tidak mendapat tekanan sosial dari lingkungan. Kecaman baru dilemparkan setelah viral dibicarakan. Buktinya grup tersebut sudah eksis sejak lama dan beranggotakan puluhan ribu orang. Namun, kontrol sosial dari masyarakat tentu tidak cukup bila kebijakan negara tidak mampu menyolusi permasalahan ini hingga tuntas. Pemblokiran grup serta hukuman yang akan diberikan kepada pelaku hanya bersifat jangka pendek. Apakah menjamin tidak akan ada kasus serupa di masa depan?

Jamak kita ketahui, negara selama ini bertindak reaktif dalam menyikapi permasalahan. Perhatian terhadap suatu masalah baru diberikan ketika viral. Kebijakan berupa undang-undang hanya bersifat larangan yang tidak bersifat preventif. Hukuman berupa kurungan penjara maupun denda pun tidak memberikan efek jera. Mestinya negara melakukan upaya sistemik dalam membangun tatanan kehidupan. Sistem demokrasi kapitalisme sejatinya hanyalah produk akal manusia yang terbatas, lemah dan serba kurang. Akibatnya manusia bertindak semaunya, baik buruk menjadi relatif. Betapa kacaunya dunia ini bila manusia dibiarkan mengatur dirinya sendiri. Alhasil manusia kehilangan arah, maka untuk kembali menjadi manusia sesuai fitrah dibutuhkan sistem alternatif pengganti bagi demokrasi kapitalisme.


Islam sebagai Kompas dalam Kehidupan

Sistem Islam akan memastikan sinergitas antara individu, masyarakat dan negara. Melalui sistem pendidikan Islam, khilafah akan mencetak individu-individu bertakwa. Ketakwaannya tak hanya muncul dalam aspek ibadah maupun akhlak, tetapi mewujud ke seluruh lini kehidupan. Sebagai bentuk implementasi firman-Nya dalam Al Baqarah ayat 208 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. Tolok ukur perbuatan ialah syariat yang berasal dari Sang Pencipta, bukan kehendak manusia yang serba lemah dan terbatas. Selain itu amar makruf nahi mungkar menjadi kewajiban bagi tiap individu sehingga tercipta kontrol sosial yang kuat.

Negara dalam hal ini khilafah akan proaktif dalam mengurusi segala permasalahan umat. Sejak awal negara akan memblokir seluruh konten-konten merusak. Tidak menunggu viral baru bertindak. Tak hanya itu negara akan mengupayakan kemandirian digital sehingga tidak bergantung kepada pihak luar sebagaimana yang terjadi saat ini.

Dalam Islam, pelaku zina akan dijatuhi hukuman berupa cambuk bagi yang belum menikah dan rajam bagi yang sudah menikah. Sebagaimana dalam firman-Nya yang artinya, “Perempuan yang berzina dan laki laki yang berzina, maka deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang beriman” (An-Nur 24:2).

Terkait inses (hubungan seksual antara anggota keluarga yang mahram) adalah dosa besar dan termasuk bentuk zina yang sangat keji. Karena melibatkan mahram banyak ulama menganggapnya lebih berat daripada zina biasa, sehingga hukuman bisa lebih tegas berupa hukuman mati.
Hukuman bagi pelaku tak hanya memberikan efek jera (zawajir) sehingga mencegah hal serupa kembali terjadi tetapi juga sebagai penebus dosa di hari akhir (jawabir). Sudah seharusnya manusia mencampakkan sistem demokrasi kapitalisme dan beralih menggunakan Islam sebagai kompas dalam menjalani kehidupan sesuai fitrah agar tidak lagi kehilangan arah.

Wallahu a’lam. []


Oleh: Nurhidayah Gani
(Aktivis Muslimah)

Opini

×
Berita Terbaru Update