TintaSiyasi.id -- Pendahuluan: Jalan Dakwah dalam Era Perbedaan
Dakwah bukan sekadar seruan, tetapi seni membangkitkan kesadaran. Di era keterbukaan informasi dan kebebasan berpikir seperti sekarang, dakwah tidak bisa mengandalkan pendekatan satu arah atau gaya memaksa. Umat manusia semakin cerdas, kritis, dan memiliki ragam latar belakang pemahaman. Maka, dialog menjadi sarana utama untuk menyentuh nalar dan hati secara bersamaan.
Inilah makna terdalam dari firman Allah Swt:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang paling baik." (QS. An-Nahl: 125).
Tiga metode dakwah Qur’ani:
1. Hikmah – penalaran yang dalam dan bijak.
2. Mau‘izhah Hasanah – nasihat yang lembut dan menyentuh.
3. Jidal Billatī Hiya Aḥsan – dialog dengan cara paling baik dan beradab.
Tulisan ini akan menggali secara mendalam metode terakhir, yaitu “Wajādilhum billatī hiya aḥsan”, sebagai pendekatan strategis dan spiritual dalam berdakwah di tengah pluralitas pemikiran dan tantangan zaman.
Makna Mendalam: Apa itu “Wajādilhum Billatī Hiya Aḥsan”?
1. Makna Kata
Jādilhum: dari kata jādala, artinya berdiskusi, berdialog atau berdebat dalam pengertian intelektual.
Billatī hiya aḥsan: dengan cara yang paling baik, indah, bijak, dan santun.
Jadi, Allah memerintahkan agar berdialog dengan argumen yang kuat, tetapi disampaikan dengan adab, kasih sayang, dan kehalusan. Ini adalah kombinasi unik antara kekuatan logika dan kemuliaan akhlak.
2. Bukan Sekadar Debat
Metode ini bukan tentang menang atau kalah, tetapi menyampaikan kebenaran dengan cara yang tidak menyakiti. Dakwah bukan ajang mempertontonkan kehebatan intelektual, tetapi ikhtiar mencerdaskan umat dan menyelamatkan mereka dari kebingungan.
Tafsir Para Ulama: Fondasi Ilmiah dan Hikmah Dakwah
Ibn Katsir
Menggarisbawahi bahwa jidal harus dilakukan dengan lemah lembut dan sopan, walaupun kepada musuh dakwah. Ia mengutip banyak contoh Rasulullah yang menahan diri dari perdebatan emosional, bahkan saat dilecehkan.
Imam Al-Qurthubi
Beliau menekankan bahwa cara “aḥsan” (terbaik) tidak berarti membiarkan kebatilan, tetapi menampiknya dengan argumen yang tidak memancing permusuhan, apalagi mempermalukan.
Syaikh As-Sa‘di
Menurutnya, billatī hiya aḥsan adalah metode untuk memecahkan kekakuan dan kekerasan hati dengan pendekatan rasional dan penuh kasih. Ini cocok digunakan terhadap orang yang keras kepala sekalipun, karena akhlak baik seringkali membuka hati yang tertutup.
Teladan Rasulullah: Dialog Sebagai Jalan Hidayah
1. Debat Intelektual dengan Ahlul Kitab
Ketika berdiskusi dengan pendeta Nasrani dari Najran, Rasulullah tidak menunjukkan permusuhan, tetapi mengundang dialog terbuka. Beliau tidak mencaci, tetapi menyampaikan hujjah Qur’ani dengan tenang dan logis. Sebagian dari mereka akhirnya mengakui keindahan akhlak Nabi.
2. Respons terhadap Provokasi
Ada seorang musyrik yang selalu memprovokasi Rasul. Suatu hari Rasul hanya tersenyum dan berkata, “Apakah kau sudah selesai?” Dengan penuh akhlak, beliau menyampaikan bahwa kebenaran tidak perlu dibungkus dengan kemarahan. Ini membuat lawannya diam seribu bahasa.
Strategi Penerapan di Zaman Modern
1. Dakwah di Media Sosial
Jangan membalas cacian dengan cacian.
Gunakan infografis, kutipan ilmiah, dan video singkat yang mengedukasi.
Buka ruang diskusi, bukan monolog.
2. Dialog Lintas Agama
Gunakan bahasa universal: kasih, keadilan, dan nilai-nilai moral.
Hindari simbol-simbol yang memicu trauma.
Jadikan dakwah sebagai jembatan, bukan benteng.
3. Dakwah di Lingkungan Akademik dan Sekuler
Sertakan data, analisis, dan argumentasi filosofis.
Tidak menggurui, tetapi mengajak berpikir.
Tunjukkan bahwa Islam rasional, beradab, dan solutif.
Inspirasi untuk Para Dai: Membangun Tradisi Intelektual dan Akhlak
“Perdebatan terbaik bukan tentang menjatuhkan lawan, tetapi membangkitkan pemahaman.”
Dakwah dengan jidal yang aḥsan mengharuskan dai:
Berilmu dan terus belajar
Berjiwa besar dalam menyikapi penolakan
Bersabar menghadapi perbedaan
Tidak merasa diri paling suci
Dakwah bukan tentang popularitas, tetapi tentang kontribusi menyinari jalan orang lain. Semakin tinggi keilmuan seorang dai, seharusnya semakin rendah hatinya dalam menyampaikan risalah.
Penutup: Dakwah yang Mencerahkan, Bukan Membakar
Kita hidup di zaman yang bising oleh debat dan silang pendapat. Tapi Islam hadir dengan suara yang bening: suara yang mengajak, bukan memaksa. Metode “wajādilhum billatī hiya aḥsan” adalah jawaban Al-Qur’an untuk zaman ini: berdakwah melalui keindahan dialog, dengan kejernihan logika dan kehangatan akhlak.
Mari berdakwah bukan hanya dengan lisan, tetapi dengan kedalaman ilmu dan ketulusan hati. Karena seringkali, yang paling menggetarkan bukan kata-kata keras, tapi kelembutan yang menyentuh nurani.
Dr. Nasrul Syarif M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo