“Deforestasi papua butuh kebijakan pemerintah yang
berakar,” cetusnya, Ahad (25/05/2025).
“Jadi begini, Papua saat ini lagi disorot dunia. Bukan
karena prestasi, tetapi karena proyek strategi nasional food estate di
Merauke yang diprediksi menyebabkan deforestasi terbesar di planet ini dalam
dekade terakhir,” sebutnya.
Fajar menyebut, sebab enggak tanggung-tanggung, proyek
tersebut akan membuka 2,6 juta lahan atau hampir 3 juta hektar untuk dijadikan
kawasan pertanian dan bioenergi. “Luas itu kurang lebih setara dengan 40 kali
luas DKI Jakarta, dan sebagian besar daerah adalah hutan hujan tropis yang
belum terjamah,” ulasnya.
“Proyek ini adalah untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.
Ini menyangkut perkembangan lahan pertanian, pembangunan pabrik gula, dan bioetanol,”
jelasnya.
Kemudian Fajar menyebut, lembaga internasional Mighty
Earth bareng The Three Maps yang memberi analisis serius soal
penebangan hutan besar-besaran yang lagi terjadi di Papua. “Hutan dataran
rendah, lahan gambut, hutan rawa alami, bahkan hutan bakau semua mulai hilang. “Ini
bukan sekadar akibat pembiaran, tetapi karena memang negara yang langsung
bilang, ‘Kami akan tebang sebagai hutan terakhir yang tersisa’ ya langsung dari
negara.’,” ungkapnya.
“Proyek ini diklaim pemerintah demi ketahanan pangan
dan energi, tetapi banyak pakar bilang ini cara pikir yang salah kaprah. Pemerintah
menganggap bahwa lahan-lahan itu terdegradasi dan hanya rawa, padahal faktanya
itu semua adalah ekosistem yang sangat penting, yaitu tempat tidurnya spesies
langka dan penyimpanan karbon alami yang besar banget,” bebernya.
Menurut laporan dari Kementerian Hehutanan sendiri,
imbuhnya, angka deforestasi neto Indonesia pada tahu 2024 mencapai 175,4 ribu hektar. “Yang lebih parah, menurut statistika,
Indonesia itu negara ke-4 dunia yang paling banyak kehilangan hutan hujan
tropisnya,” ucapnya.
“Kan kita sudah deforestasi lebih dari 74 juta hektar
sejak tahun 1950. Mau nambah lagi? Dan kata Glenn Horowit, CEO-nya Might Eath
ini tragis kenapa? Karena Indonesia selama ini sudah banyak dapat pujian. Mulai
berhasil memisahkan antara pertanian dan deportasi tetapi proyek tunggal ini
bisa merusak semua kemajuan yang sudah capek-capek dibangun sebelumnya,”
sesalnya.
Ia menyebutkan, bukan anti pembangunan dan kemajuan, tetapi
yang dikritik adalah cara pikir yang pendek, yang masih berpikir tebang dulu
tanam nanti. “Papua bukan tanah kosong, itu rumah bagi banyak komunitas adat,
satwa langka, dan ekosistem yang enggak bisa diganti. Kalau kita membiarkan
proyek ini jalan tanpa kontrol, yang rugi bukan cuma orang Papua, tetapi kita
semua rakyat Indonesia karena krisis iklim itu tidak kenal batas wilayah.
“Jangan biarkan hutan kita habis dibungkus janji
pangan nasional, karena kita enggak butuh nasi yang tumbuh dari tanah yang
terbakar. Kita hanya butuh kebijakan yang cerdas dan berakar,” tandasnya.[] Titin
Hanggasari