"Pandangan ulama ahlusunah membedakan bahasan
kafir dengan zalim dan fasik. Ini pendapat muktabar. Ini suatu keharusan,
karena iman-kufur adalah wilayah keyakinan, bukan semata amal atau perbuatan,” tuturnya
dalam rilis bertema Hati-Hati Dalam Vonis Iman dan Kafir di akun Facebook
Yuana Ryan Tresna, Senin (26/05/2025).
Lanjut dijelaskan bahwa amal yang masuk dalam kategori
“alamat riddah” juga harus dipastikan lagi oleh kadi jika masih ada
ihtimal.
"Al-zhulm secara bahasa adalah semua
bentuk aktivitas yang menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Misal,
menempatkan hukum manusia pada posisi hukum Allah adalah zhulm. Lalu
apakah pelakunya (orang zalim) juga disebut kafir? Harus dilihat dulu, apakah
disertai keyakinan atau tidak, misal keyakinan bahwa hukum manusia lebih baik
dari hukum Allah," jelasnya.
Al-fisq, ia katakan, juga adalah semua
bentuk penyimpangan atau kedurhakaan atau kemasiatan yang terbuka. "Apakah
pelakunya (orang fasik) juga bisa disebut kafir? Belum tentu. Harus dilihat
apakah dia melakukan penyimpangan atau kedurhakaan tersebut disertai keyakinan
atau tidak," sambung Ajengan.
Ajengan memisalkan, ayat:
إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
"Para ulama tafsir memang menjelaskan bahwa
syirik itu adalah bentuk kezaliman yang besar sebagaimana termaktub dalam nas
tersebut, yaitu kezaliman yang mengeluarkan seseorang dari keimanan. Artinya
tidak semua kezaliman itu mengantarkan pada kekafiran," bebernya.
Lanjut ia memisalkan lagi, ayat:
إِلَّآ
إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ ٱلْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
Ia menyampaikan, memang bahwa apa yang dilakukan oleh
iblis tersebut bagian dari kedurhakaan. Kedurhakaan bisa merupakan kekufuran,
bisa juga tidak sampai pada kekufuran. "Artinya tidak semua pelaku
kedurhakaan atau kemaksiatan terbuka itu jadi kafir," tambahnya.
Ajengan mencontohkan dua hadis berikut:
لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
لَيْسَ
الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائْعٌ إِلٰى جَنْبِهِ
“Para ulama menjelaskan maksudnya adalah terkait
kesempurnaan iman. Bukan berati pelaku kedua kemaksiatan tersebut kafir,"
imbuhnya.
Ia juga menukil dua hadis berikut:
وَمَنْ
مَاتَ وَلَيْسَ في عُنُقِهِ بَيْعَةٌ ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
وَمَنْ
قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يُقَاتِلُ
لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يَدْعُو إِلَى الْعَصَبِيَّةِ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
"Para ulama menjelaskan bahwa mati jahiliah di
sini bukan mati dalam keadaan kafir, tetapi mati dalam keadaan berdosa,"
terangnya.
Ia katakan bahwa begitulah para ulama, sangat
hati-hati. “Artinya bahwa tsaqafah Islam itu adalah bangunan keilmuan (body
of knowledge) yang satu sama lain saling menguatkan, sehingga tidak ada
kontradiksi antara satu konsep dengan konsep lainnya,” ulasnya.
"Adanya dua dalil yang terkesan bertentangan,
juga bisa diselesaikan dengan penjelasan yang koheren dari para ulama
kita," katanya lagi
"Ringkasnya, kita harus hati-hati menjatuhkan
vonis kafir kepada yang tidak berhak, dan jangan juga enggan menjatuhkan vonis
kafir pada yang memang berhak," tutupnya.[] Lanhy Hafa