TintaSiyasi.id-- "Jika syukurmu kepada Allah Azza wa Jalla telah terlaksana dengan benar, niscaya Allah mengilhamkan ke dalam hati dan lisan para makhluk untuk berterima kasih dan mengasihimu. Ketika itulah, tidak ada jalan lagi bagi syetan dan para pembantunya atas dirimu."
— Sayyid Abdul Qadir al-Jailani
Syukur: Bukan Hanya Kata, Tapi Suatu Keadaan Jiwa
Syukur bukan sekadar ucapan “Alhamdulillah” setelah mendapat nikmat. Ia adalah suatu keadaan batin, yang lahir dari pengakuan mendalam bahwa segala yang kita miliki adalah pemberian Allah, dan karenanya, harus digunakan untuk mendekat kepada-Nya.
Ketika syukur telah meresap ke dalam hati dan amal, maka getarannya memancar keluar. Maka Allah pun menggerakkan hati makhluk lain—mereka mencintai, menghormati, bahkan mendoakan orang-orang yang bersyukur.
Itulah misteri energi ruhani dari syukur sejati: diam-diam, ia membangun benteng dari kebencian, menjauhkan fitnah, dan meluruhkan permusuhan, tanpa kita sadari.
Allah yang Menggerakkan Hati Makhluk
Kadang kita heran, mengapa ada orang yang begitu dicintai, dihormati, meski ia tak pernah menuntut. Ia tidak memburu pujian, tapi pujian datang sendiri. Tidak mengejar cinta manusia, tapi dicintai tanpa syarat. Mengapa?
Karena ia bersyukur.
Syukur yang tulus mengangkat seseorang dari pengaruh dunia. Hatinya bersih dari iri, lisannya bebas dari keluh, langkahnya ringan karena tidak sibuk mengumpat takdir. Dan orang-orang seperti ini, Allah jaga dengan cinta-Nya dan cinta makhluk-Nya.
Benteng dari Gangguan Syetan
Dalam nasehatnya, Al-Jailani mengisyaratkan sesuatu yang agung:
"Ketika syukurmu benar, tidak ada jalan lagi bagi syetan dan para pembantunya atas dirimu."
Mengapa?
Karena syetan masuk dari celah-celah keluh kesah, iri hati, kesombongan, dan kelalaian. Sementara syukur menutup semua pintu itu. Orang yang bersyukur tidak merasa lebih dari orang lain, juga tidak merasa kurang. Ia hidup di tengah-tengah takdir dengan rasa ridha dan tenang.
Maka siapa yang ingin aman dari tipu daya syetan, jadilah orang yang selalu bersyukur—di saat lapang, terlebih lagi di saat sempit.
Penutup Renungan:
Syukur bukan hanya membahagiakan kita secara batin, tetapi juga membuka jalan-jalan tak terlihat menuju penerimaan dan cinta makhluk. Ia adalah getaran ruhani yang menyembuhkan dan melindungi. Dan orang yang hidup dalam syukur, sejatinya telah hidup dalam payung rahmat Allah, jauh dari bisikan syetan dan godaan dunia.
Ya Allah, ajarkan kami syukur yang sejati. Syukur yang tidak hanya di lisan, tapi hidup di hati, membentuk amal, dan mendatangkan cinta dari langit dan bumi...
Barangsiapa ilmunya mengalahkan hawa nafsunya, itulah ilmu yang bermanfaat. Kata Al-Jailani.
Masya Allah… satu lagi untaian hikmah tajam dan menembus relung jiwa dari Sayyid Abdul Qadir al-Jailani. Ini bukan sekadar nasihat, tapi cermin besar bagi para penuntut ilmu: bahwa ilmu yang sejati adalah yang mampu mengendalikan hawa nafsu, bukan justru menjadi alat untuk memuaskannya.
Ilmu yang Menundukkan Nafsu: Jalan Menuju Kebenaran Sejati
"Barangsiapa ilmunya mengalahkan hawa nafsunya, itulah ilmu yang bermanfaat."
— Sayyid Abdul Qadir al-Jailani
Ilmu Bukan Sekadar Pengetahuan, Tapi Cahaya
Di zaman yang serba cepat ini, ilmu mudah diperoleh. Sekali klik, jutaan informasi hadir. Namun Sayyid Abdul Qadir al-Jailani mengingatkan kita: bukan banyaknya ilmu yang menjadikan seseorang mulia, tapi sejauh mana ilmu itu mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Ilmu yang hakiki adalah ilmu yang menjadikan pemiliknya takut kepada Allah, rendah hati, dan mampu menundukkan dorongan-dorongan jiwa yang mengajak pada kesombongan, syahwat, dan ambisi duniawi.
Ilmu yang tidak mampu mengendalikan nafsu, justru bisa menyesatkan. Ia menjadi seperti pisau tajam di tangan anak kecil—berbahaya bagi dirinya dan orang lain.
Tanda Ilmu yang Bermanfaat
Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa ilmu yang bermanfaat adalah yang menambah rasa takut kepada Allah, menumbuhkan akhlak mulia, dan menjauhkan dari maksiat. Maka bila setelah belajar, seseorang justru merasa lebih tinggi, lebih benar sendiri, atau lebih rakus terhadap dunia, bisa jadi itu bukan ilmu yang menundukkan nafsu, tapi ilmu yang sedang dikendalikan oleh nafsu.
Al-Jailani menunjukkan ukuran yang sangat jujur dan dalam:
Apakah ilmumu membuatmu bisa berkata “tidak” pada dorongan hawa nafsu?
Kalau belum, maka ilmumu belum sampai ke derajat manfaat.
Ilmu untuk Membebaskan, Bukan Menjerat
Betapa banyak orang yang tahu hukum-hukum Allah, tapi masih bermain-main dengan dosa. Betapa banyak da’i, guru, bahkan ulama yang jatuh bukan karena tidak tahu—tetapi karena ilmunya kalah oleh nafsunya.
Maka, ilmu sejati bukan hanya membuatmu pintar berbicara, tapi kuat dalam melawan dirimu sendiri. Tidak semua orang yang bisa menjelaskan sabar, mampu bersabar. Tidak semua yang hafal ayat-ayat tawakal, benar-benar berserah diri.
Inilah panggilan dari Al-Jailani: Jadikan ilmumu sebagai perisai melawan nafsu, bukan kendaraan untuk menuruti nafsu dengan cara yang halus dan berlapis dalil.
Penutup Renungan:
Ilmu adalah cahaya. Tapi cahaya itu hanya menerangi jalan, jika tidak ditutup oleh bayang-bayang nafsu. Maka barangsiapa belajar untuk memperbaiki dirinya, dan menjadikan ilmunya penuntun melawan hawa nafsu, dialah yang sedang berjalan di atas jalan keselamatan.
Ya Allah, jadikan ilmu kami sebagai cahaya yang menuntun, bukan sekadar beban yang memantulkan kesombongan. Ajarkan kami untuk berilmu sekaligus mampu menundukkan nafsu dengan ilmu itu…
Oleh. Dr Nasrul Syarif M.Si. Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo)