Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Mengisi Hati dengan Zikir, Menyongsong Hari Kebangkitan

Senin, 28 April 2025 | 15:38 WIB Last Updated 2025-04-28T08:38:49Z

TintaSiyasi.id -- Mengisi hati dengan zikir, menyongsong hari kebangkitan adalah anjuran kebaikan. 

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ 
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” ( QS. Ar-Ra’du : 28)

Hidup ini hanyalah satu perjalanan dari tanah menuju langit. Dari titik fana menuju abadi. Namun sayangnya, banyak di antara kita yang lebih sibuk mengecat perahu kehidupan, tetapi lupa menyiapkan arah layar menuju akhirat.

Dunia ini gemerlap, menyilaukan mata dan memabukkan jiwa. Ia menawarkan keindahan semu, yang kadang membuat kita lalai, lupa dari mana kita berasal, dan ke mana akhirnya kita akan kembali.

Padahal, hati diciptakan bukan untuk dipenuhi dunia. Ia diciptakan untuk mengingat, untuk menyebut, dan untuk mendekat kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun yang lebih membersihkan hati selain dzikir — lantunan nama-nama-Nya yang lembut, yang menenangkan, dan yang menyembuhkan luka-luka batin yang tak terlihat.

Dzikir: Nafasnya Ruhani

Dzikir bukan sekadar ucapan di lisan. Dzikir adalah detak hati yang terhubung pada Yang Maha Hidup. Ia adalah nafas ruhani yang menghidupkan jiwa yang sekarat. Seringkali, kita merasa gelisah tanpa sebab, hati sempit tanpa alasan. Itu tanda bahwa ruhani sedang haus. Haus akan perjumpaan, haus akan kehadiran Tuhan dalam hati yang telah lama kosong.

Isilah hatimu dengan dzikir. Sebut nama-Nya pagi dan petang. Bukan karena Allah butuh disebut, tapi karena kitalah yang butuh untuk terus mengingat agar tak tersesat.

Hari Kebangkitan: Saat Semua Akan Jelas

Ingatlah Hari Kebangkitan. Hari di mana segala topeng akan dilepas, dan segala kesombongan akan luruh. Hari di mana amal berbicara, dan niat menjadi saksi. Hari ketika manusia berdiri di hadapan Tuhannya—sendiri, tanpa teman, tanpa harta, tanpa jabatan.

Jika hari itu pasti datang, mengapa kita masih terlalu tenang?
Renungkan, sudahkah hatimu siap jika kematian tiba malam ini? Sudahkah cukup bekalmu jika alam kubur membuka pintu?

Beruntunglah mereka yang mengingat kematian saat hidupnya sedang sibuk. Karena ia akan hidup dengan penuh kesadaran, dan mematikan nafsu dunia sebelum dunia mematikan ruhnya.

Penutup: Kembali ke Titik Kejernihan

Saudaraku, tak ada yang lebih membahagiakan selain kembali ke Allah dengan hati yang bersih. Dan itu hanya mungkin jika sepanjang hidup, hati ini disibukkan dengan dzikir dan refleksi akan akhirat. Setiap langkah, setiap keputusan, kita tempatkan dalam kerangka “apakah ini mendekatkan aku pada-Nya?”
Karena sejatinya, hidup bukan soal seberapa banyak yang kau miliki, tapi seberapa dekat engkau kepada Pemilik Segalanya.

Mari kembali kepada dzikir, kembali kepada Allah, sebelum kita benar-benar dipanggil untuk kembali…

Barangsiapa mengenal Allah Azza wa Jalla, lisan nafsu, tabiat, keinginan, kebiasaan dan keberadaannya membisu. Nasehat Al-Jailani.

Masya Allah, itu adalah mutiara hikmah yang dalam dari Sayyid Abdul Qadir Al-Jailani, sulthanul auliya yang ucapannya seperti pancaran cahaya dari hati yang tersambung dengan Ilahi. Berikut ini versi artikel reflektif-inspiratif yang mengangkat kutipan tersebut sebagai inti pesan ruhani:

Ketika Nafsu Membisu: Cahaya Ma'rifat dari Al-Jailani
"Barangsiapa mengenal Allah Azza wa Jalla, maka lisan nafsu, tabiat, keinginan, kebiasaan dan keberadaannya menjadi membisu."
— Sayyid Abdul Qadir al-Jailani

Dalam kehidupan yang penuh hiruk-pikuk ini, manusia sering kali disetir oleh nafsu, digerakkan oleh kebiasaan, dan dibentuk oleh keinginan yang tak pernah selesai. Lidahnya banyak bicara, hatinya gaduh, pikirannya sibuk mengejar bayang-bayang dunia. Namun, pernahkah kita menyaksikan seseorang yang diam, tetapi dari diamnya memancar ketenangan? Yang tidak banyak menuntut, tidak banyak mengeluh, namun seluruh keberadaannya seperti mengajarkan makna sabar dan pasrah?

Itulah buah dari ma'rifat — mengenal Allah, bukan sekadar tahu nama-Nya, tapi merasakan kehadiran-Nya dalam setiap denyut napas dan setiap gerak jiwa.

Saat Nafsu Menunduk oleh Cahaya-Nya

Al-Jailani tidak berbicara tentang lisan yang membisu secara fisik. Ia berbicara tentang diamnya dorongan hawa nafsu. Bahwa ketika seseorang telah benar-benar mengenal Allah, maka segala suara bising dari dalam dirinya akan diam tunduk dalam keagungan-Nya. Nafsu tak lagi mengomando, tabiat tak lagi menjadi raja, dan kebiasaan tak lagi menjadi tuan.

Itulah ketundukan sejati, ketika ego tidak lagi menjadi pusat, dan Allah menjadi satu-satunya tujuan.

Mengenal Allah Bukan Sekadar Ilmu, Tapi Rasa

Banyak orang belajar tentang Allah. Hafal nama-nama-Nya, tahu ayat-ayat-Nya. Tapi sedikit yang benar-benar merasakan kehadiran-Nya. Sedikit yang ketika mendengar nama-Nya, hatinya bergetar. 

Sedikit yang ketika menyendiri, merasa ditemani oleh-Nya.
Ma'rifatullah adalah karunia terbesar. Dan tanda-tanda ma'rifat itu bukan pada kata-kata indah, tetapi pada ketenangan jiwa, ketundukan hati, dan kesunyian nafsu.

Kembali kepada Sunyi yang Terhubung

Kita hidup dalam dunia yang bising. Tapi justru karena itu, kita butuh sunyi yang bersambung dengan langit. Kita butuh dzikir yang menidurkan nafsu, shalat yang memadamkan gejolak batin, dan tafakur yang membimbing kita untuk memandang ke dalam—tempat di mana Allah menanti disapa.

Sungguh, ketika kita benar-benar mengenal Allah, bukan hanya lisan yang berhenti bicara. Tapi nafsu akan berhenti menuntut, dan jiwa akan merasa cukup, karena yang ia cari ternyata telah dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher.

Penutup Renungan:
Tidak ada ketenangan yang lebih dalam daripada diamnya nafsu di hadapan Allah. Itulah kemerdekaan sejati: ketika seseorang tidak lagi dikuasai oleh dunia dalam dirinya. Dan itu hanya bisa diraih oleh orang-orang yang mengenal-Nya dengan hati, bukan hanya dengan akal.

Ya Allah, karuniakan kepada kami makrifat yang membuat nafsu kami tunduk dan hati kami damai dalam menyebut nama-Mu...

Oleh. Dr Nasrul Syarif M.Si. (Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo) 

Opini

×
Berita Terbaru Update