TintaSiyasi.id -- Ramai kritik dari masyarakat terhadap pemerintah dan DPR yang duduk merevisi UU (RUU) TNI. Pasalnya, rapat ini digelar di hotel mewah di Jakarta pada Jumat-Sabtu, 14-15 Maret 2025. Terlebih yang menjadi sorotan karena ini dilakukan pemerintah di tengah efisiensi anggaran besar-besaran.
Diketahui, Hotel Fairmont Jakarta menjadi lokasi rapat dengan harga Rp 2,6 juta-10,6 juta per malam yang hanya berjarak dua kilometer dari Gedung DPR RI di Senayan, Jakarta. (Kompas, 17-3-2025)
Menanggapi kritik ini, Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, "Ya itu tanyakan kepada kesekjenan apakah kemudian itu melanggar atau tidak." (Kompas, 17-3-2015). Sedangkan Ketua Komisi I DPR Utut Adianto mengatakan, "(Efisiensi) itu kan pendapatmu." Utut beralasan, "Dari dulu (DPR sudah rapat di hotel mewah), coba kamu cek." (Tempo, 16-3-2025).
Melihat jawaban para wakil rakyat seakan kita dapat melihat tak ada sedikitpun rasa bersalah atas tindakan mereka. Ini seakan mengukuhkan bahwa di dalam sistem pemerintahan demokrasi kapitalisme kenyamanan pejabat adalah di atas penderitaan rakyat.
Mengapa rapat merah diadakan oleh pemerintah dan DPR di tengah efisiensi anggaran?
Apa dampak rapat mewah di tengah efisiensi anggaran terhadap kehidupan rakyat?
Bagaimana mekanisme Islam mengelola anggaran negara?
Rapat Mewah di Tengah Efisiensi Anggaran Adalah Wujud Pengkhianatan Pemerintahan Kapitalisme terhadap Rakyat
Rapat mewah di tengah efisiensi anggaran secara besar-besaran harusnya membuat malu pemerintah dan DPR terhadap rakyat. Namun, nampak dari beberapa pernyataan pejabat terkait jangankan merasa malu bahkan merasa bersalah kepada rakyat pun tidak ditampakkan. Sungguh ini menunjukkan rendahnya komitmen para penguasa terhadap persoalan umat.
Dalam sistem demokrasi kapitalisme ini, seakan budaya elitis dalam pemerintahan tidak menimbulkan rasa bersalah terhadap rakyat. Pejabat dalam sistem demokrasi sering kali sudah terbiasa dengan gaya hidup mewah dan fasilitas eksklusif. Tidakkah ini mencerminkan adanya mentalitas elitis yang memandang jabatan sebagai sarana mendapatkan keuntungan pribadi.
Sering kali kesejahteraan rakyat diabaikan. Lihatlah dari sikap pemerintah dan DPR ini, sementara rakyat diminta berhemat dengan dalih efisiensi anggaran, sedangkan para pejabatnya justru menggelar rapat di hotel mewah. Ini menunjukkan bahwa kebijakan efisiensi tidak diterapkan secara adil, tetapi hanya membebani rakyat kecil.
Sudah bukan rahasia, pemerintahan dalam kapitalisme menempatkan kekuasaan di tangan segelintir elite, yang sering kali lebih mementingkan kepentingan kelompok daripada kesejahteraan rakyat. Mungkinkah rapat-rapat yang dilakukan para pejabat yang katanya sudah biasa di hotel mewah terkait dengan kepentingan bisnis tertentu?
Karena bukan hal baru lagi dalam kapitalisme, pemerintah sering bertindak layaknya perusahaan yang mencari keuntungan bagi segelintir pihak, bukan sebagai pelayan rakyat. Rapat di hotel mewah juga mencerminkan mentalitas pejabat yang lebih mementingkan kenyamanan sendiri dibandingkan pengabdian kepada masyarakat.
Lebih parah lagi dalam kapitalisme, tata kelola anggaran sering kali dialokasikan berdasarkan kepentingan elite, bukan kebutuhan rakyat. Efisiensi anggaran lebih sering menjadi jargon daripada kenyataan, terutama ketika menyangkut kepentingan para pejabat.
Rapat mewah yang diadakan di tengah efisiensi anggaran mencerminkan karakter pemimpin dalam kapitalisme lebih peduli pada kenyamanan pribadi daripada tanggung jawabnya terhadap rakyat. Ini bukan sekadar pemborosan, tetapi bukti bahwa sistem kapitalisme mengkhianati rakyat. Inilah wujud pengkhianatan pemerintahan kapitalisme terhadap rakyat.
Dampak Rapat Mewah di Tengah Efisiensi Anggaran terhadap Kehidupan Rakyat
Tentu perilaku pemerintah dan DPR menggelar rapat mewah di tengah efisiensi anggaran berdampak terhadap kehidupan rakyat, di antaranya:
Pertama, ketidakadilan sosial. Ketika rakyat diminta berhemat dan berbagai bantuan sosial dikurangi dengan alasan efisiensi, tetapi pejabat tetap menikmati fasilitas mewah, ini menciptakan ketidakadilan yang mencolok. Rakyat semakin terpuruk akibat kebijakan penghematan, sementara pejabat terus hidup dalam kemewahan. Ini menciptakan ketidakadilan sistemik yang memicu kemarahan sosial.
Kedua, meningkatnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Kebijakan yang kontradiktif antara penghematan anggaran untuk rakyat tetapi pemborosan untuk pejabat akan memperkuat persepsi bahwa pemerintah tidak berpihak kepada masyarakat. Ini dapat meningkatkan ketidakpuasan dan ketidakstabilan sosial. Masyarakat akan semakin apatis terhadap kebijakan negara karena merasa pemerintah hanya berpihak pada elite.
Ketiga, prioritas anggaran yang keliru. Dana yang digunakan untuk rapat mewah seharusnya bisa dialokasikan untuk sektor yang lebih mendesak seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur. Namun, dalam sistem kapitalisme, prioritas sering kali lebih condong ke kepentingan elite daripada kebutuhan rakyat.
Mekanisme Islam Mengelola Anggaran Negara
Syekh Taqiyyuddin an Nabhani dalam kitab Nidzamul Islam mengatakan bahwa penguasa sesungguhnya dalam sistem kapitalisme adalah para pemilik modal karena itu masyarakat bisa melihat dan merasakan sendiri kuatnya pengaruh pemilik modal men-drive penguasa agar kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sesuai dengan kepentingan mereka.
Konsep negara kapitalisme telah membuat rakyat menderita, sementara penguasa dan kroninya hidup bermewah-mewah. Negara kapitalisme berperilaku zalim kepada masyarakat karena visi ra'awiyah (pengurusan rakyat oleh penguasa) tidak digunakan dalam bernegara. Padahal visi ra'awiyah adalah perintah dari As-Syari' kepada negara dalam mengurus rakyatnya.
Rasulullah Saw. menjadi teladan pemimpin raa'in tatkala beliau menjabat sebagai kepala negara Islam di Madinah. Rasulullah Saw. bersabda, "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari)
Begitu juga wakil rakyat yang di dalam sistem Islam (khilafah) disebut Majelis Umat adalah pihak yang memiliki peran untuk menjaga agar negara atau penguasa dan para pejabat menjalankan amanahnya sebagai pengurus rakyat sesuai dengan syariat Allah. Jadi tugas wakil rakyat dalam sistem khilafah tidak seperti DPR dalam sistem kapitalisme yang menjadi lembaga legislatif karena pihak yang berhak membuat hukum hanyalah Allah SWT. Manusia hanya berhak memutuskan semua perkara berdasarkan syariat termasuk perkara kenegaraan.
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Maidah ayat 48 yang artinya, "... Maka, putuskanlah (perkara) mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu..."
Terkait masalah anggaran Islam memiliki syariat terkait hal itu. Hal ini sudah dijelaskan oleh Syekh Taqiyyuddin an Nabhani dalam kitabnya Nidzamul Iqtishadiy (Sistem Ekonomi Islam). Baitul Mal merupakan lembaga keuangan negara khilafah. Baitul Mal memiliki tiga pos yaitu pos kepemilikan negara, pas kepemilikan umum, dan pos zakat. Setiap pos tersebut memiliki jalur pemasukan dan pengeluaran masing-masing.
Pemasukan pos kepemilikan negara bersumber dari kharaj, fai', usyur, ghanimah, jizyah, ghulul, dan sebagainya. Pemasukan pos kepemilikan umum bersumber dari semua hasil pengelolaan sumber daya alam. Dan pos pemasukan zakat berasal dari harta zakat fitrah, zakat mal, shadaqah, infaq, waqaf, hibah kaum Muslim.
Sedangkan untuk mekanisme pengeluarannya dana pos kepemilikan negara bisa digunakan untuk kepentingan jihad, menggaji aparat negara, seperti jaisy (tentara), syurthah (polisi), guru, dan sejenisnya. Dana pos kepemilikan umum dialokasikan untuk pembiayaan kebutuhan rakyat, seperti penyediaan pendidikan dan kesehatan gratis. Sedangkan dana pos zakat hanya dialokasikan kepada delapan asnaf dan sesuai peruntukannya. Inilah sumber keuangan negara khilafah.
Adapun cara negara khilafah mengatur anggaran tidak berbasis sistem tahunan seperti negara kapitalisme. Namun, anggaran negara khilafah disusun berdasarkan kebutuhan masyarakat. Konsep keuangan yang berbasis Baitul Mal membuat negara memiliki dana yang siap untuk disalurkan, sehingga tidak akan ada dana yang menganggur dan tidak terserap karena penganggaran berbasis real time. Konsep ini sudah dijelaskan di kitab yang sama Nidzamul Iqtishadiy fil Islam, karya Syekh Taqiyyuddin an Nabhani.
Sebagai contoh pada masa khilafah Abbasiyah, tepatnya pada masa pemerintahan Abdullah al-Makmun, beliau pernah mendapat kiriman kharaj sebesar 30 juta dirham. Diriwayatkan Ath-Thaifuri dalam Akhbar Baghdad, Khalifah Abdullah al-Makmun membagikan harta tersebut kepada masyarakat hingga mencapai 24 juta dirham. Sedangkan kakinya masih tetap di atas kendaraannya, kemudian beliau memerintahkan agar sisanya diserahkan kepada Al-Ma'la untuk diberikan kepada tentaranya di sana.
Seperti inilah gambaran anggaran disesuaikan untuk kepentingan rakyat sebagaimana yang diperintahkan syariat. Ini sesuai dengan prinsip Islam bahwa kedaulatan di tangan syarak dan kekuasaan milik umat. Sebab penguasa dipilih untuk menjalankan syariat Allah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Dan rakyat memiliki kewajiban untuk melakukan muhasabah lil hukkam. (Sumber: Muslimah Media Hub) []
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst
Oleh: Dewi Srimurtiningsih
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo