Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pertamina dalam Badai Korupsi: Mencari Solusi

Senin, 17 Maret 2025 | 08:12 WIB Last Updated 2025-03-17T01:12:10Z

TintaSiyasi.id -- Seluruh publik Indonesia kembali dibuah gaduh oleh kasus korupsi yang dilakukan anak usaha PT Pertamina (Persero) dengan nilai kerugian negara yang mencapai Rp.1000 triliun oleh Patra Niaga Riva Siahaan dan yang lainya. Kejaksaan Agung (Kejagung) terus melakukan pendalaman pada kasus dugaan korupsi di Pertamina Patra Niaga terkait tata kelola minyak mentah. Jumlah tersangka pun terus bertambah dari yang awalnya ditetapkan tujuh orang. Mereka adalah Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya (MK), dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne (EC). Di beberapa media menyampaikan bahwa yang dihitung sementara Rp193,7 triliun itu sejak tahun 2023. Maka secara logika hukum, logika awam, kalau modusnya itu sama, berarti jika dihitung jumlah dari Rp193,7 triliun dikalikan lima memperoleh hasil Rp968,5 triliun atau mendekati Rp1.000 triliun. Dengan demikian jumlah kerugian negara ini tentu berjumlah sangat fantastis. Seperti diketahui, proses bisnis penjualan BBM di PT Pertamina melibatkan banyak anak usahanya. Mulai dari pengadaan minyak mentah, pengolahan minyak, hingga penjualan BBM di SPBU, masing-masing dilakukan oleh anak usaha yang berbeda. Pelaksana Tugas Harian (PTH) Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo Putra menjelaskan setidaknya ada dua skema penyediaan barang untuk produk gasoline seperti Pertamax dan Pertalite.

Dalam kasus tersebut, tiga direktur subholding Pertamina ditetapkan sebagai tersangka. Dan Pertamina memastikan selama proses penyidikan tersebut, operasional Pertamina dalam melayani kebutuhan BBM kepada masyarakat tetap berjalan. Awal mula terungkapnya kasus ini berdasarkan peristiwa yang terjadi di masyarakat, khususnya berkaitan dengan BBM. Mulai dari kenaikan harga BBM hingga kualitas BBM yang tak bagus, Kemudian semua informasi itu dikumpulkan dan dilakukan pengkajian oleh pendyidik. Dan parahnya penyidik menyampaikan sebenarnya peristiwa-peristiwa buruk ini sudah terjadi sejak masa pandemic Covid lalu.


Korup dan Problematik

Sebenarnya gonjang-ganjing persoalan Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya pertalite dan pertamax ini telah berlangsung sejak PT Pertamina berencana mengubah BBM jenis RON 90 atau Pertalite menjadi Pertamax Green 92 atau RON 92 pada tahun 2023 lalu. Namun saat itu rencana Pemerintah dalam menghapus BBM jenis Pertalite ditolak, sebab dikhawatirkan akan meningkatkan biaya operasional kerja jika harus membeli BBM yang lebih mahal. Penghapusan BBM jenis Pertalite juga diprediksi akan berdampak luas terhadap perekonomian masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah. Hingga pada akhirnya rencana diubah menjadi wacana Pemerintah untuk melakukan pembatasan penjualan BBM bersubsidi, alias pembatasan pertalite dan solar. Kebijakan pembatasan tersebut dinilai akan lebih tepat sasaran, dengan salah satu skema Pertalite hanya bisa digunakan untuk kendaraan roda empat di bawah 1.400 cc dan motor di bawah 250 cc. Namun rupanya wacana tersebut juga mendapatkan banyak penolakan dari masyarakat dan diprediksi juga akan menurunkan daya beli. Sampai pada akhirnya berbagai wacana kebijakan tersebut mengalami tarik ulur hingga harus dianulir oleh Presiden Jokowi dan tampak gagal direalisasikan.

Kini puncak permasalahan itu pada terkuaknya kasus korupsi pertamina yang rugikan negara hingga Rp193,7 triliun dengan modus pengoplosan Pertalite dengan Pertamax. Dilansir dari Kompas.com, Selasa (25/2/2025), Kejagung menyebut PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian “diblending” atau dioplos di depo/storage menjadi Pertamax. Parahnya saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax. Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Riva Siahaan melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92.


Buah Liberalisasi Sektor Energi

Dari persoalan kenaikkan harga BBM yang terjadi di setiap tahunnya, polemik pembatasan dan subsidi hingga terkuaknya kasus korupsi Pertamina ini, sejatinya adalah bentuk kedzaliman yang sangat memukul rakyat alih-alih memberikan pelayanan dan kemudahan bagi rakyat dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti energi. Namun tak bisa dipungkiri, berbagai permasalahan yang membelit di tubuh Pertamina ini adalah buah dari liberalisasi pada sektor energi khususnya migas. Tujuan dari liberalisasi adalah adanya kelonggaran pembatasan dari pemerintah di suatu negara yang memungkinkan perusahaan swasta mendapat ruang untuk bekerja secara mandiri dan berkembang dalam pembangunan negara, terutama pada sektor hilir. Sebagaimana dikutip Koran Kompas edisi 14 Mei 2003, seorang tokoh mengatakan, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi Pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.’’

Inilah bukti bahwa pangkal dari segala permasalahan BBM ini adalah liberalisasi. Liberalisasi ini dilakukan tak lain demi kepentingan perusahaan migas asing dan para komprador(perantara/kaki tangan)nya di dalam negeri. Mereka memperjual-belikan migas yang memang pasarnya terus tumbuh membesar seiring dengan kenaikan jumlah penduduk dan konsumsi BBM, sekalipun dengan cara-cara curang dan melanggar hukum demi memperoleh keuntungan besar. Dikutip dari Majalah Trust edisi November 2004 lalu, dikatakan “Saat ini terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).” Maka secara tidak langsung hal tersebut membuka persaingan antara Pertamina yang notabene adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perusahaan-Perusahaan milik swasta.

Liberalisasi pada semua sektor ini sendiri adalah produk yang lahir dari rahim sistem demokrasi, dengan sistem ini para kapitalis dari dalam dan luar negeri mendapat karpet merah dalam memuluskan seluruh keinginannya untuk memperbesar bisnis mereka, melalui campur tangan kebijakan pemerintah, maupun pihak legislative dalam melahirkan peraturan perundangan yang menguntungkan mereka, seperti UU Migas Nomer 22 Tahun 2001. Maka wajar saja pengelolaan migas haruslah sesuai dengan kepentingan mereka alih-alih untuk kepentingan rakyat.

Dari langkah liberalisasi inilah makin mengecilkan peran negara dalam pengelolaan SDA dari hulu hingga ke hilir. Baik pada migas, industry kelistrikan maupun pertambangan seperti emas, minyak, nikel dan batu bara. Namun sebaliknya peran swasta justru kian membesar, maka itu artinya keuntungan yang direguk oleh mereka akan jauh lebih besar pula. Dengan kekuatan finansial yang terus membesar itu, mereka kemudian masuk ke ranah politik, mempengaruhi pertarungan politik negeri ini demi melanggengkan kepentingan mereka. Merekalah yang disebut sebagai oligarki pemegang kendali politik domestik yang kian hari kian menzalimi rakyat. Pada akhirnya beban rakyat kian berat dengan berbagai kebijakan yang mereka ciptakan seperti menaiknya TDL, BBM yang itu semua juga serta merta berdampak pada kenaikan seluruh komoditas bahan pokok yang dibutuhkan rakyat. Termasuk melakukan manipulasi bahan bakar oleh PT Patra Niaga sebagai anak usaha dari Pertamina dalam tata kelola minyak mentah, yang menihilkan control dan peran negara dalam pengelolaan maupun distribusinya.


Penegakkan Hukum yang Tak Bisa Diharapkan

“Indonesia adalah negara hukum!” itulah retorika yang seringkali didendangkan para politisi dan pakar-pakar di negeri ini, walau pada realitasnya persoalan penegakan hukum atau supremasi hukum masih menjadi PR/pekerjaan rumah besar. Faktanya hukum di negeri ini hanya menjadi sarana bagi kepentingan para penguasa dan oknum-oknum penegak hukum yang dekat dengan penguasa itu sendiri. Pada akhirnya alih-alih sebagai sarana penegakan kebenaran dan keadilan, hukum di negeri justru seringkali jadi alat diskriminasi bagi penghalang kepentingan penguasa. Tebang pilih, bahkan justru seringkali menyimpang dari norma dan asas-asas hukum yang dibangun. Bahkan hukum kerap dijadikan dalih dan legitimasi untuk melakukan kebijakan politik kekuasaan. Dalam konteks kasus korupsi adalah bukan menjadi rahasia lagi bahwa praktik-praktik korupsi di negeri ini tampaknya makin parah, massif dan terstruktur. Dengan cara beragam, brutal dan tak terkendali. Bahkan praktik-praktik korupsi ini sudah banyak masuk di ring istana. Sebagai contoh, penangkapan dua menteri di era rezim Jokowi lalu ada Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang merupakan kader Partai Gerindra. Juga ada Menteri Sosial Juliari Peter Batu Bara yang ditangkap KPK karena diduga korupsi bantuan sosial (bansos) yang merupakan kader PDIP. Adapun kasus-kasus korupsi di perusahaan plat merah (BUMN) sepanjang 2024 lalu, dari mulai PT Timah, PT Dana Pensiun Asabri, Asuransi Jiwasraya dan Garuda Indonesia, yang kesemuanya telah merugikan negara hingga puluhan triliunan rupiah. Maka kasus korupsi pada Pertamina ini bukanlah sesuatu hal yang baru lagi untuk publik Indonesia, melainkan sudah menjadi budaya para pemangku kepentingan negeri ini, bahkan menjadi kasus korupsi paling fantastis sepanjang sejarah dan rekam jejak berbagai kasus korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara.

Kendati panjangnya deretan mega sekandal praktik-praktik korupsi tersebut, nyatanya dalam proses penegakkan hukum atas para pelakunya hampir semuanya memakan waktu yang begitu lama. Bahkan bertahun-tahun pun belum selesai hingga berujung tanpa kejelasan. Seperti kasus mega korupsi yang melibatkan BLBI, Bank Century, Jiwasraya, e-KTP, dll sampai hari ini rakyat tidak mendapatkan kejelasan terkait status pidana para pelakunya. Termasuk pada kasus korupsi teranyar di Pertamina, nampaknya publik kita sudah paham akan ke mana arah dan akhirnya, lambat, dan juga akan berujung tanpa kejelasan yang pasti. Namun sebaliknya, kasus korupsi yang tidak melibatkan para pejabat penting yang punya kewenangan dan kekuasaan besar maka akan cepat diproses hukum. Walau dalam media seringkali masyarakat diperlihatkan para terduga koruptor yang diborgol tangannya dan dipajang di hadapan publik, itu hanyalah dari kalangan kepala dinas atau kepala daerah dan sejenisnya. Namun, bagi kebanyakan pelaku mega korupsi tidak ditampilkan di muka public, sebab dengan mudah mereka bisa melarikan diri ke luar negeri. Bahkan ada yang mendapat perlakuan khusus. Itulah fakta suram dan lemahnya penegakan hukum negeri ini bagi para koruptor.


Peran Islam sebagai Solusi

Segudang kasus dan skandal para pemangku kepentingan selain merugikan negara, juga sangat mendzalimi rakyat. Maka inilah relevansi bagi umat untuk memperjuangkan hingga menerapkan kembali Islam sebagai system dalam mengatur kehidupan bernegara. Islam mempunyai aturan paripurna terkait pengelolaan SDA seperti energi minyak bumi dan gas, barang-barang tambang, hasil laut dan kehutanan. Sebab dalam Islam semua itu merupakan sumberdaya alam yang masuk dalam kategori barang milik publik (al-milkiyyah al-‘âmmah). Pengelolaannya harus dilakukan oleh negara, dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada publik/untuk kepentingan rakyat. Melalui penerapan syariah Islam ini juga, para pemangku kepentingan tidak bisa semau sendiri dalam mengelola SDA, apalagi jika dilakukan untuk keuntungan mereka sendiri maupun untuk kepentingan asing. Rasulullah Saw. telah menjelaskan sifat kebutuhan umum tersebut dalam sebuah hadis. Nabi Saw. bersabda, “Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud).

Sedangkan dalam sistem kapitalis yang diterapkan hari ini justru sebaliknya, barang-barang kepemilikan umum ini bisa diserahkan kepada swasta atau individu. Dalam Islam, barang-barang tambang seperti minyak bumi beserta turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain menjadi kewajiban Negara dalam mengatur produksi dan distribusinya untuk rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Migas merupakan kekayaan milik umum yang tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh setiap individu masyarakat, karena membutuhkan keahlian khusus, teknologi tinggi, serta biaya yang besar. Maka negaralah yang punya wewenang untuk mengelola dan mengeksplorasi bahan tersebut. Yang kemudian hasilnya dimasukkan ke kas Baitul Mal. Khalifah berwenang mendistribusikan hasil tambang dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi kemaslahatan umat. Untuk hasil SDA seperti minyak atau bensin ini di dalam Islam negara dilarang menjualnya kepada rakyat, sebab terkait dengan penggunaan konsumsi rumah tangga. Jikapun negara harus menjualnya kepada rakyat hanya sebatas harga produksi, setidaknya dengan harga yang tidak mahal/murah untuk keperluan produksi komersial. Namun boleh hukumnya bagi Pemerintah/negara mencari keuntungan semaksimal mungkin dengan dijual/diekspor kepada pihak luar negeri. Namun hasil keuntungan penjualan barang-barang tambang yang diekspor ke luar ataupun pemasaran di dalam negeri, akan dikembalikan lagi untuk kepentingan rakyat bisa dibagikan dalam bentuk uang, atau membangun fasilitas pendidikan gratis, kesehatan gratis atau untuk pelayanan umum lainnya. Serta dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan distribusi.

Adapun dalam penyelesaian kasus korupsi seperti pada pejabat Pertamina ini, sedari awal Islam akan mencegah manusia untuk memiliki ‘niat korupsi’. Pada titik inilah, Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait pemberantasan korupsi. Dalam Islam, kepemimpinan dan kekuasaan atau jabatan adalah amanah, yang tanggung jawabnya tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah di akhirat kelak. Karena itu sistem Islam yang disandarkan pada akidah Islam memberikan solusi yang tak hanya muncul ketika ada masalah. Namun sistem Islam sejak dini tidak memberikan celah sedikitpun bagi para pemangku jabatan untuk bisa bertindak korupsi.
Maka dari itu langkah awal Islam khususnya dalam pemilihan penguasa dan pejabat negara haruslah sosok yang bertaqwa yang memiliki kepribadian Islam dengan keimanan yang kokoh, dan zuhud. Sosok seperti itu yang akan menjadikannya seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT (QS al-Fajr [89]: 14; QS al-Hadid [57]: 4). Sehingga hasil yang didapatkan adalah para pejabat yang berkualitas, amanah dan dengan cara pemilihan yang tidak berbiaya tinggi, hal ini menjadi penting untuk menekan korupsi, suap, dan lainnya. Sekalipun demikian, tetap ada perangkat hukum yang disiapkan untuk mengatasi kecurangan yang dilakukan pejabat atau pegawai negara. Selain itu, terdapat larangan keras menerima harta ghulul, yaitu harta yang diperoleh dengan cara tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik negara atau milik masyarakat. Pemerintahan Islam akan membentuk Badan Pemeriksa Keuangan. Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah Khilafah menyebutkan, untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pemeriksa Keuangan (https://www.muslimahnews.com/2019/05/25/metode-distribusi-harta-dalam-islam/).

Para pejabat negara di dalam Islam juga akan diberi gaji cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekundernya dan tersiernya, namun calon pejabat atau pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat. Selanjutnya, saat menjabat pun dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan maka diverifikasi apakah penambahannya itu syar’i atau tidak. Jika terbukti korupsi maka harta akan disita dan dimasukkan kas negara. Pelakunya akan diproses hukum.

Proses hukum bagi para koruptor yang diterapkan Islam berupa system sanksi yang tegas, guna memberikan efek jera sekaligus pencegah kasus serupa muncul berulang. Karena itu hukuman keras bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta/pemiskinan, pengasingan/penjara, hingga cambuk dan hukuman mati. Khalifah Umar pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah, yang saat itu menjadi gubernur Syam (Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Khilafah, hlm.123). itulah langkah Islam dalam memberantas korupsi dan upaya pencegahannya, sekaligus menunjukkan keagungan dan keistimewaan Islam sebagai aturan dan solusi kehidupan.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Liza Burhan
Aktivis Muslimah 

Opini

×
Berita Terbaru Update