Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Pandangan Mengatakan Khilafah Tidak Wajib Bertentangan dengan Dalil-Dalil Syar'i

Senin, 17 Maret 2025 | 21:48 WIB Last Updated 2025-03-17T14:49:08Z
TintaSiyasi.id -- Ulama Jawa Barat Ustaz Ali Moeslim, S. Ag., menjelaskan bahwa pandangan yang mengatakan bahwa khilafah tidak wajib bertentangan sesungguhnya dengan dalil-dalil syar'i yang berasal dari Al-Qur'an, sunah, dan ijmak sahabat.

"Pandangan mengatakan tidak wajib khilafah, bertentangan sesungguhnya dengan dalil-dalil syar'i yang berasal dari Al-Qur'an sunnah dan juga ijmak sahabat," ungkapnya Di kanal YouTube Mercusuar Ummat, dalam acara Bedah Khilafah - Benarkah Menegakkan Khilafah Sebuah Kewajiban?, Selasa (4/3/2025).

Ia menerangkan, pertama, dalil kewajiban khilafah itu terdapat dalam Al-Qur'an, sebagaimana Allah memerintahkan ataupun mewajibkan berhukum dengan syariat Islam. Wa mal lam yaḫkum bimâ anzalallâhu fa ulâ'ika humul-kâfirûn. (Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir). (Qs. Al Maidah 44).

Tidak ada lagi tafsiran lain kecuali bahwa wajib berhukum dengan syariat Islam. Syariat yang diturunkan oleh Allah kepada Baginda Muhammad Saw., yang mengatur tiga hubungan. Pertama adalah hablum minallah yang berisi akidah dan ibadah secara umum. Kedua mengatur hubungan antara manusia dengan dirinya, akhlak, makanan, pakaian. Itu semua ada aturan. Ketiga, muamalah, yang dikenal ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum sistem kenegaraan. Itu semua ada aturannya.

"Berikutnya adalah hukum, yang kita kenal dengan hudud, jinayat, semua telah Allah aturkan kepada kita, bagaimana mungkin Allah memerintahkan kita wa mâ khalaqtul-jinna wal-insa illâ liya‘budûn (Qs. Az Zariyat 56) tetapi aturan tentang ibadah hanya mengatur ibadah mahdhah tidak mungkin," paparnya.

Maka, ia menegaskan kewajiban berhukum syariat Islam dalam segala hal, tidak ada pilihan lain, tidak ada sistem lain yang bisa menerapkan Islam secara kaffah selain khilafah. 

"Kita lihat bahwa selama 14 abad setidaknya mulai dari zaman Rasulullah dilanjutkan oleh para khalifah dari Kulafaur Rasyidin khalifah yang dari Umayyah, lalu khalifah dari Abbasiyah dari khalifah dari Ottoman ya dari Utsmaniah itu semuanya ada dan dia menerapkan syariat Islam secara kaffah," sambungnya.

Kedua, Allah memerintahkan kaum Muslim mengangkat pemimpin, Allah Saw., berfirman innallâha ya'murukum an tu'addul-amânâti ilâ ahlihâ wa idzâ ḫakamtum bainan-nâsi an taḫkumû bil-‘adl. (Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil). (Qs. An Nisa 58).

"Ayat ini menunjukkan tentang kewajiban menegakkan kepemimpinan yang berhukum kepada hukum Islam, kepada syariat Islam, dalam ayat lain athî‘ullâha wa athî‘ur-rasûla wa ulil-amri mingkum (Qs. Nisa 59). Jadi pemimpin yang memang adalah orang Muslim pasti dengan keadilannya, dia akan menjalankan syariat Islam. Jadi dari situ saja sudah begitu jelas, ayat itu tidak mengambang, pemimpin yang bagaimana, siapa, tentu ditunjukkan kepemimpinan yang sesuai dengan syariat yaitu khilafah," paparnya. 

Ketiga, larangan mengikuti hukum jahiliyah. Dalam ayat Al-Quran dijelaskan tentang larangan mengikuti hukum jahiliyah Allah Saw., berfirman a fa ḫukmal-jâhiliyyati yabghûn, wa man aḫsanu minallâhi ḫukmal liqaumiy yûqinûn. Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (Qs. Al Maidah 50).

"Jahiliyah bukan kebodohan tidak tahu tentang yang ketahuan tidak, jadi jahiliah kata para ulama adalah ketidaktaatan kepada hukum dari Allah, tidak ada ketaatan kepada para nabi, tidak ada ketaatan pada Allah yang menciptakan, kepada Allah yang memberikan aturan itu sesungguhnya jahiliyah," jelasnya.

Jadi, ia menekankan, setiap sistem pemerintahan, sistem hukum ataupun sistem kehidupan yang tidak bersumber pada Allah dan rasul itu adalah jahiliyah.

"Hukum apapun namanya, dikatakan positif atau hukum negatif umpamanya itu adalah hukum jahiliyah, yang tidak boleh diikuti oleh kita, dengan begitu ayat Al-Qur'an jelas menentang kepada ataupun argumen yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah, yang itu jelas hukum atau diangkatnya khalifah adalah untuk menerapkan hukum Allah," terangnya.

Kamudian, ia menjelaskan dalil hadis yang menjelaskan khilafah. "Lalu bagaimana dalil dalam sunnah Rasulullah itu memerintahkan kita untuk mengangkat pemimpin, dalam hadis menyatakan "jika ada tiga orang keluar untuk bepergian, hendaknya mereka mengangkat seorang dari mereka sebagai pemimpin." [HR. Abu Daud]," paparnya.

Sehingga, ia mengatakan persoalan kecil dari kehidupan (safar) membutuhkan pemimpin, lalu nagaimana dengan kehidupan yang luas di dunia, ini menandakan ataupun mengindikasikan wajibnya mengangkat (pemimpin) jika dalam kelompok kecil saja diwajibkan ada pemimpin, maka bagaimana dengan umat Islam secara keseluruhan, ini menunjukkan bahwa keharusan adanya pemimpin yang memimpin seluruh umat yaitu khalifah atau Imam.

"Kalau Abu Bakar karena dia datang berikutnya sebagai pengganti, maka dikatakan khalafah maka disebutnya sebagai khalifah yang sering menyebut Khalifah Abu Bakar, berikutnya kita tahu Umar, apa yang biasa disebutkan (memanggil) yang menjadi kebiasaan bagi kaum muslimin saat itu menyebutnya adalah Amirul Mukminin Umar Bin Khattab, berikutnya Ali Bin Abi Thalib ataupun mampu Usman itu juga disebut dengan khalifah, lalu juga Ali Bin Abi Thalib menyebutnya dengan imam jadi tiga kata yang sama menunjuk kepada pemimpin tertinggi daripada kaum muslimin," terangnya.

Lalu hadis yang lain tentang bai'at kepada khalifah, "Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak ada baiat di lehernya, maka ia mati dengan cara mati jahiliyah.” (HR. Muslim no. 1851). 

"Jika kematian pasti, tetapi tidak ada baiat kepada khalifah maka dihitung sebagai mati dalam keadaan jahiliah, berarti wajib, karena kematian dari sebuah kepastian, sementara ketiadaan adalah sebuah pilihan antara perjuangan, memperjuangkan kembali atau membiarkannya," tegasnya.

Kemudian, ia mengutip hadis tentang kepemimpinan “Dahulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Yang akan ada adalah para khalifah dan mereka banyak (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ibn Majah). 

"Nabi Muhammad utusan Allah yang terakhir, dikatakan sebagai penutup para nabi, jika nabi saja ditutup oleh Rasulullah, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada lagi (nabi) tetapi itu ditegaskan dijawab bahwa sesungguhnya ada pengganti setelahnya, akan tetapi namanya bukan nabi yaitu khalifah, kepemimpinan pemimpin, jadi Bani Israil itu selalu kehidupannya atau kaum mereka itu dipimpin oleh para nabi, dalam sejarah dikatakan sebagai terbanyak dari Bani Israil nabi itu," terangnya.

Berikutnya, ia menjelaskan sumber hukum berikutnya ijma sahabat, para sahabat sepakat tentang wajibnya khilafah. Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat langsung bersepakat untuk mengangkat khalifah sebelum memakamkan beliau. Ingat, ketika jasad yang suci wafat 12 rabiul awal usia Rasulullah 63 tahun, dalam shirah, Umar menyatakan yang bilang nabi meninggal kami akan potong lehernya, tetapi Abu Bakar menyanggah, bahwa jika dia meninggal apakah kalian akan kembali jahiliyah, lalu Abu Bakar menyampaikan siapa yang menyembah manusia dia itu mati, dia itu akan mati, tetapi yang menyembah Allah, Allah itu hidup tidak mati, maka Umar saat itu berteriak mengancam orang yang menyatakan kematian Rasulullah, itulah tabiat daripada sahabat yang beriman, bertakwa, disadarkan Al-Qur'an, disadarkan dengan hadis, disadarkan dengan titah dari Rasulullah, mereka beristighfar," paparnya.

Kemudian, berkumpullah dan kaum Muhajirin dari kaum Anshar untuk memilih pengganti Rasulullah karena agama ini harus terus berjalan, risalah ini harus terus berjalan walaupun Rasulullah telah wafat. [] Alfia Purwanti

Opini

×
Berita Terbaru Update