TintaSiyasi.id -- Presiden Prabowo Subianto menerima delapan taipan di Istana Kepresidenan, Jakarta Kamis (06 Maret 2025). Termasuk Sugianto Kusuma Atau Aguan, Pendiri Sedayu Group, hingga Toni Winata pemilik Artha Graha Group.
Hal tersebut diungkapkan oleh Seketaris Kabinet Teddy Wijaya melalui instagram @sekretariat kabinet yang dipantau Kompas TV.
Dalam pertemuan tersebut, Prabowo menyinggung soal situasi global dan tanah air. Prabowo juga menyampaikan perihal pelaksanaan makan bergizi gratis (MBG), swasembada pangan dan energi hingga BPI Danantara.
Adapun tujuan Presiden Prabowo Subianto mengundang para taipan ke istana negara untuk memberikan pandangan kritis dan pengalaman melakukan investasi, agar pengelolaan aset-aset Indonesia dapat dilakukan sebaik-baiknya dan sehati-hatinya. Upaya ini diduga kuat terkait pengelolaan dana pada badan pengelola investasi Danantara karena dihadiri oleh sejumlah pengawas dan pengurus Danantara. (kompas.tv, 7/3/2025)
Danantara adalah kekuatan dan potensi masa depan Indonesia, digadang-gadang sebagai perusahaan investasi global di Asia. Tetapi alangkah miris bagi kita sebab pemerintah membahasnya bukan bersama anak bangsa melainkan dengan para taipan. Pemerintah seperti menutup mata atas fakta yang telah terjadi selama ini, bahwa dengan keserakahan para konglomerat itu yang menjadi penyebab timbulnya banyak masalah proyek-proyek kasus besar seperti Rempang, PIK 2, IKN, Timah, Pagar laut, dan lain-lain.
Terlihat jelas negara justru menjadikan urusan rakyat sebagai bahan bancakan bagi para pemilik modal. Negara tergadai di tangan para taipan, rakyat menjadi korban berbagai kebijakan dan ketidakadilan ini. Penguasa dalam sistem kapitalis demokrasi ini bukan bekerja untuk rakyat tetapi bekerja untuk segelintir orang yaitu para konglomerat. Keberadaan lembaga-lembaga negara yang seharusnya merupakan penyambung lidah rakyat untuk menyampaikan aspirasi mereka justru terabaikan. Yang tercipta hanyalah kekayaan negeri ini dikuasi oleh segelintir orang dengan mengatas namakan rakyat. Dari sini jelas bahwa sistem demokrasi ini adalah sistem rusak.
Semua ini adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalisme dalam kehidupan bernegara. Penguasa seenaknya sendiri mengatur negara bahkan membuat rakyat sengsara.
Islam memiliki paradigma yang jelas tentang kepemimpinan. Islam memandang seorang pemimpin/penguasa adalah raa'in (pemelihara) dan Junnah (perisai) yang akan mengurus umat dengan benar yaitu dengan syariat Islam yang sudah ditetapkan hukumnya oleh Al-Hakim Sang Pembuat yaitu Allah SWT. Dalam Islam, kedaulatan atau hak yang membuat hukum ada ditangan syarak, bukan pada rakyat maupun penguasa. Penguasa hanyalah mengurus rakyat dengan hukum-hukum Allah SWT bukan dengan aturan sendiri apalagi aturan yang bersumber dari asing.
Semua sistem kehidupan akan menerapkan hukum syarak termasuk sistem ekonomi dan keuangan yang mandiri serta tidak bergantung pada asing. Ketersediaan anggaran yang kuat dan berkelanjutan dalam pos-pos pemasukan baitul maal akan mampu membiayai kebutuhan negara hingga mensejahterakan rakyat.
Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk menyadarkan umat tentang kebusukan sistem kepemimpinan kapitalisme demokrasi dan kewajiban untuk kembali pada sistem Islam. Karena tidak ada yang bisa memberikan keadilan dan pembelaan terhadap umat kecuali dengan penerapan syariat islam secara kaffah. Sudah cukup derita rakyat ini dalam sistem yang kufur yang rusak dan menyengsarakan. Sudah saat nya sistem rusak ini diganti dengan sistem yang terjamin kebenarannya sebab berasal dari Allah SWT.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Farida Marpaung
Aktivis Muslimah