TintaSiyasi.id -- Washington menolak proposal Mesir terkait rekonstruksi Gaza pasca perang yang diajukan oleh negara-negara Arab dalam pertemuan di Kairo. Namun, Presiden Donald Trump menolak dan "ngotot" pada visinya sendiri untuk mengusir warga Palestina dari Gaza dan mengubah wilayah kantong itu menjadi "Riviera Timur Tengah". (Cnnindonesia.com, 5/3/2025)
Setelah serangan besar-besaran dari Israel, warga Gaza kini mengalami penderitaan yang luar biasa. Meskipun wilayah tersebut telah hancur, Israel masih melarang masuknya bantuan kemanusiaan. Warga Gaza terpaksa bertahan hidup tanpa tempat tinggal permanen, berlindung di bawah sisa-sisa bangunan yang telah dihancurkan.
Di tengah situasi ini, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, justru mengancam akan menghancurkan Gaza jika sandera Israel tidak dibebaskan. Bagi banyak warga Gaza, ancaman ini dianggap sebagai dalih untuk melakukan kekerasan lebih lanjut dan bentuk hukuman kolektif terhadap mereka.
Sementara Gaza terus berjuang menghadapi dampak perang—termasuk pengungsian massal, kehancuran infrastruktur, dan kondisi kemanusiaan yang memburuk. Warga semakin lelah dan skeptis terhadap upaya internasional untuk mengakhiri konflik ini. (Republika.com, 08/03/2025)
Setelah muncul wacana relokasi warga Gaza, para pemimpin negara-negara Arab menggelar pertemuan darurat untuk membahas rekonstruksi wilayah tersebut. Dalam pertemuan di Kairo, disepakati bahwa Mesir akan memimpin upaya rekonstruksi Gaza serta memastikan tidak ada relokasi warga dari tanah mereka. Sementara itu, Indonesia menolak rencana relokasi tersebut. Melalui Kementerian Luar Negeri, pemerintah Indonesia menegaskan penolakannya dan mendesak komunitas internasional untuk menjunjung tinggi hukum internasional. (KompasTV.com, 10/03/2025)
Mesir membuat proposal membangun kembali Gaza dan ditolak oleh Trump. Omongan Trump yang berubah-ubah sejak awal telah menunjukkan bahwa dia konsisten pada satu hal yaitu mengambil alih Gaza dan memberikannya kepada Zionis Yahudi. Sejak awal, Trump telah menunjukkan sikap yang tidak konsisten terkait masa depan Gaza. Ketika Mesir mengajukan proposal rekonstruksi Gaza, Trump justru menolaknya. Penolakan ini menunjukkan bahwa janji Trump sebelumnya hanya sekadar retorika tanpa komitmen nyata. Sikapnya yang terus berubah-ubah sebenarnya mencerminkan satu tujuan utama yaitu mengambil alih Gaza dan menyerahkannya kepada Zionis Yahudi.
Selain itu, dengan penolakan Trump memperjelas kepada kita bahwa kebijakannya tidak bertujuan untuk membantu warga Palestina, melainkan untuk memperkuat dominasi Israel di wilayah tersebut. Hal ini semakin menguatkan kecurigaan bahwa rencana relokasi dan rekonstruksi yang selama ini dibicarakan hanyalah alat politik untuk melegitimasi pengambilalihan Gaza secara paksa.
Di sisi lain, pengkhianatan pemimpin negara-negara Arab dan pemimpin negeri Muslim terdekat seperti Mesir dan Yordania telah dibuka dengan mata telanjang. Inilah wajah asli Amerika dan antek-anteknya dengan ideologi kapitalisme yang diembannya. Telah nyata kebencian kafir Barat terhadap Islam dan kaum Muslim. Maka, apakah kita tidak menyadari hal itu?
Solusi Tuntas atas Persoalan Palestina yang Berkepanjangan hanyalah Jihad dan Khilafah
Penyelesaian menyeluruh atas konflik Palestina sering kali menjadi perdebatan di berbagai forum internasional namun tidak juga ada yang mampu dan berani memberikan solusi jitu sebab harus berhadapan dengan Amerika. Maka, solusi yang benar-benar dapat mengakhiri penderitaan rakyat Palestina adalah melalui jihad dan khilafah.
Jihad merupakan bentuk perjuangan melawan penjajahan dan ketidakadilan yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Sementara itu, khilafah sebagai sistem pemerintahan yang dapat menyatukan umat Islam dan memberikan perlindungan serta kekuatan bagi rakyat Palestina dalam menghadapi agresi berkepanjangan ini. Kita bisa belajar dari pembebasan Palestina dari tangan kaum kafir sejak masa kekhilafahan sebelumnya yaitu Sultan Abdul Hamid II menolak permintaan Theodor Herzl, pendiri Zionisme, untuk memberikan sebagian wilayah Palestina kepada bangsa Yahudi. Penolakan secara tegas oleh Sultan Abdul Hamid II ini dilakukan pada tahun 1896.
Dalam sejarah, sistem khilafah mampu menjaga kedaulatan berbagai wilayah Islam, termasuk Palestina. Oleh karena itu, hanya dengan kembalinya kepemimpinan Islam yang kuat, Palestina dapat terbebas dari pendudukan dan mencapai kemerdekaan sejati. Untuk mewujudkan khilafah butuh adanya partai politik Islam ideologis yang akan mewujudkan solusi tuntas jihad dan khilafah bagi penyelesaian penjajahan atas Palestina. Partai ini akan mencerdaskan umat agar memiliki kacamata ideologis dalam melihat problem Palestina dan tidak mudah tertipu dengan narasi yang diciptakan Barat dan anteknya.
Dalam Islam, kewajiban untuk memperjuangkan keadilan dan membela kaum Muslim yang tertindas ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis. Allah SWT berfirman:
“Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang berdoa: ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri yang zalim penduduknya ini dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu’.” (TQS. An-Nisa: 75)
Ayat ini menunjukkan bahwa perjuangan membela umat Islam yang tertindas adalah kewajiban bagi kaum Muslim. Selain itu, pentingnya kepemimpinan Islam yang mampu melindungi umat juga ditegaskan dalam sabda Rasulullah SAW, “Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengannya.” (HR. Muslim)
Hadis ini menggambarkan bahwa keberadaan pemimpin Islam yang menerapkan syariat secara kaffah (khilafah) sangat penting dalam menjaga umat dan membebaskan mereka dari penjajahan.
Dengan demikian, partai politik Islam yang berlandaskan ideologi Islam memiliki peran strategis dalam membangun kesadaran umat, memperjuangkan jihad sebagai jalan pembebasan, serta mengembalikan khilafah sebagai sistem kepemimpinan yang mampu menegakkan keadilan bagi Palestina dan seluruh dunia Islam.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Yusniah Tampubolon
Aktivis Muslimah