TintaSiyasi.id -- Di media sosial sedang ramai dengan meme berita liga korupsi Indonesia. Pertamina masih sebagai pemegang tertinggi dengan Rp 986, 5 T, disususl peringkat ke dua korupsi PT Timah Rp, 300 T dan ksus BLBI Rp 138 T. Klasemen ini tentunya tidak selamanya seperti ini mengngat semakin hari semakin keluar berita-berita terbaru kasus korupsi. Bahkan yang terbaru marak berita isu korupsi PT antam RP 5,9 Kudriliun dan emas palsu 109 Ton. Andaikan berita terakhir ini benar, maka akan ada rekor terbaru dari klasemen liga korupsi Indonesia (tempo.co, 12/03/2025).
Korupsi di Indonesia sudah mengkhawatirkan dan telah menjadi masalah dasar dari penurunan kinerja di semua sektor. Hal ini pernah disampaikan oleh Presiden Prabowo di forum internasional World Governments Summit 2025 di Dubai, Uni Emirat Arab, yang dihadiri secara virtual, pada Kamis (13/2/2025). Dalam forum itu, presiden menyampaikan tekadnya untuk menggunakan seluruh energi dan wewenang yang dimiliki demi mencoba mengatasi korupsi yang dinilainya sebagai penyakit tersebut. Namun pernyataan presiden tidak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Realitanya, akar masalah tindak korupsi bukan terletak pada moral individu pejabat, melainkan pada sistem yang diterapkan.
Faktanya negara ini adalah negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam sistem ini orientasi kepemimpinannya demi meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Konsep kepemimpinan demikian membuka peluang terjadinya korupsi secara sistemik, baik di berbagai bidang, level jabatan, serta para pemilik modal yang menikmati proyek dari negara.
Di sisi lain, sistem kapitalisme mengadopsi sistem politik demokrasi. Konsepnya, kedaulatan hukum di sistem demokrasi ada di tangan manusia. Sehingga para pejabat bisa mengotak-atik hukum yang dibuat sesuai kepentingan. Sementara dari segi praktiknya, sistem demokrasi adalah sistem politik yang mahal. Di sinilah letak peluang korupsi itu. Sistem demokrasi meniscayakan membuka peluang para oligarki memodali pemilihan wakil rakyat dan pejabat. Sehingga siapapun yang jadi pemimpin pasti akan tunduk pada pemilik modal.
Praktik seperti ini membuat negara lemah di hadapan oleh oligarki. Kebijakan-kebijakan negara dibuat untuk menguntungkan pemilik modal. Sementara pejabat negara memanfaatkan kekuasaannya untuk mengembalikan modal dengan segala cara, termasuk korupsi. Alhasil lagi-lagi rakyat menjadi korban.
Kenyataan ini sangat berbeda ketika sistem Islam diterapkan selama lebih dari 13 abad. Telah terbukti bahwa dalam urusan pemberantasan korupsi, Islam melalui institusi negara mampu menutup rapat-rapat celah korupsi bahkan memungkinkan korupsi menjadi nol.
Hal tersebut diawali dari mekanisme sistem politik Islam itu sendiri, tidak mahal dan sangat sederhana. Kekosongan posisi khalifah (pemimpin negara Islam) maksimal 3 hari 3 malam. Sehingga dalam rentang waktu tersebut, kaum muslimin harus melakukan pemilihan dan pembaiatan khalifah.
Kepemimpinan Islam bersifat tunggal. Adapun pengangkatan dan pencopotan pejabat negara menjadi kewenangan khalifah. Konsep politik seperti ini tidak akan memunculkan persekongkolan mengembalikan modal dan keuntungan kepada cukong politik. Inilah yang mencegah adanya praktek korupsi.
Kemudian dalam urusan rekrutmen pegawai negara, kualifikasi wajib berdasarkan profesionalitas dan integritas. Bukan berasaskan koneksi, nepotisme, atau praktik balas budi. Para pegawai negara wajib berkapabilitas dan berkepribadian Islam (syahsiyah islamiyah). Sebab nabi SAW pernah bersabda, "Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat." (HR. Bukhari).
Sementara untuk mendapatkan kualifikasi pegawai yang demikian, khilafah menerapkan sistem pendidikan Islam yang targetnya membentuk generasi bersakhsiyah islamiyah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Usus at-Ta'lim al-Manhaji fi Daulah al-Khilafah karya Syekh 'Atha bin Khalil, Amir Hizbut Tahrir.
Pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiah) masyarakat diarahkan agar berlandaskan kepada syariat Islam. Dengan demikian, generasi akan berkemampuan untuk mengendalikan diri agar menjauhi kemaksiatan. Kemaksiatan yang dimaksud di antaranya adalah tidak amanah dalam jabatan, melakukan korupsi, dan sebagainya.
Islam juga mengatur urusan pembayaran pegawai. Negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak sebagaimana perintah dari Rasulullah SAW dalam sabdanya, "Siapa saja yang bekerja untuk kami tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Jika tak punya istri, hendaklah ia menikah. Jika tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan." (HR. Ahmad).
Hal senada juga disampaikan oleh Abu Ubaidah kepada Umar. "Cukupilah para pegawaimu agar mereka tidak berkhianat."
Di sisi lain, sistem Islam juga menetapkan kebijakan bahwa haram hukumnya bila para pegawai negara menerima suap dan hadiah. Hal ini berdasarkan perintah rasul dalam hadis nabi SAW, "Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah haram, dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran." (HR. Ahmad).
Sistem Islam pun bisa menelusuri pegawainya agar tidak terlibat tindak korupsi. Sebab negara memiliki kebijakan yang unik, yakni akan melakukan perhitungan kekayaan bagi para pegawai negara di awal dan diakhir jabatannya. Kemudian akan melakukan pembuktian terbalik jika ditemukan penambahan harta yang tidak wajar.
Sebagai pamungkas, jika masih saja ada pegawai yang korup, maka negara akan memberi sanksi Islam ('uqubat). Syekh Abdurrahman Al Maliki dalam kitabnya Nizhamul 'Uqubat menjelaskan bahwa hukuman untuk koruptor masuk kategori takzir. Yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Bentuk takzir ini dimulai dari yang paling ringan, seperti nasehat atau teguran. Sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Kadar hukuman disesuaikan dengan berat-ringannya kejahatan. 'Uqubat bersifat jawabir (penebus dosa) bagi pelaku. Juga zawajir (pencegah) agar masyarakat tidak melakukan hal yang sama. Sementara harta hasil korupsi akan menjadi harta ghulul. Harta ini akan diambil negara dan dimasukkan ke dalam pos kepemilikan negara di Baitul mal.
Namun, sebelum korupsi bisa terjadi, pola pendidikan Islam akan melahirkan insan-insan yang berkepribadian Islami (syakhsiyah Islamiah). Hal ini menciptakan lingkungan yang kondusif agar rakyat senantiasa berbuat baik. Ada kontrol masyarakat yang akan senantiasa melakukan amar makruf nahi mungkar. Sehingga tidak ada sedikit pun tercipta celah keculasan di entitas masyarakat.
Seperti inilah solusi syar'i yang seharusnya diambil jika memang benar-benar ingin memberantas korupsi dengan tuntas. Solusi yang berasal dari Sang Pencipta yang Maha Pengatur, yang telah diterapkan dan terbukti keberhasilannya selama hampir 14 abad. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Erin Azzahroh
(Aliansi Penulis Rindu Islam)