TintaSiyasi.id-- "Jauhilah para begal hati. Tinggalkan apa pun yang membegal hatimu." Nasihat Abdullah bin Mas'ud. Nasihat dari Abdullah bin Mas'ud ini memiliki makna mendalam tentang menjaga hati dari hal-hal yang dapat merusaknya.
"Jauhilah para begal hati."
Begal hati bisa diartikan sebagai apa pun yang mencuri ketenangan, keikhlasan, atau keimanan dalam hati kita—bisa berupa manusia yang membawa kita pada keburukan, godaan dunia yang melalaikan, atau bahkan hawa nafsu yang menyesatkan.
"Tinggalkan apa pun yang membegal hatimu." Artinya, kita harus berani meninggalkan hal-hal yang membuat hati jauh dari Allah. Apakah itu cinta dunia berlebihan, pergaulan yang buruk, atau kebiasaan yang merusak jiwa.
Intinya:
Jagalah hati dengan menjauhi apa pun yang bisa mencurinya dari jalan kebenaran. Fokuslah pada hal-hal yang mendekatkan kita kepada Allah dan menenangkan jiwa.
Makna ini sangat relevan di zaman sekarang, di mana banyak sekali "pencuri hati" berupa media sosial, pergaulan, atau keinginan duniawi yang bisa membuat hati lalai.
Menjauhi Maksiat Hidupmu akan Berkah.
Benar sekali! Menjauhi maksiat adalah kunci hidup yang penuh berkah.
Mengapa Menjauhi Maksiat Membawa Berkah?
1. Hati Menjadi Tenang.
Maksiat hanya memberi kesenangan sesaat, tapi setelahnya sering meninggalkan kegelisahan. Sebaliknya, menjauhi maksiat membuat hati lebih damai dan bahagia.
2. Rezeki Bertambah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya seorang hamba terhalang dari rezeki karena dosa yang diperbuatnya." (HR. Ahmad)
Dengan meninggalkan dosa, pintu-pintu rezeki terbuka lebih luas.
3. Doa Lebih Mudah Dikabulkan.
Dosa adalah penghalang doa. Jika kita menjaga diri dari maksiat, doa kita lebih mudah diijabah oleh Allah.
4. Hidup Menjadi Lebih Ringan.
Maksiat membawa beban dan kekacauan dalam hidup, sedangkan ketaatan membawa ketenangan dan keberkahan.
5. Mendapat Rahmat dan Pertolongan Allah.
Allah berjanji dalam Al-Qur'an:
"Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan untukmu furqan (pembeda antara yang benar dan yang salah), menghapus kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosamu)." (QS. Al-Anfal: 29)
Kesimpulan:
Jauhi maksiat, dekati kebaikan, maka hidupmu akan penuh keberkahan. Allah akan memudahkan jalan, memberikan ketenangan, dan melimpahkan nikmat yang tidak disangka-sangka.
Ketakwaan adalah dengan cara menaati dan tidak bermaksiat, mensyukuri dan tidak kufur nikmat, serta mengingat dan tidak melupakan. Demikian kata Abdullah bin Mas'ud.
Nasehat Abdullah bin Mas’ud ini sangat mendalam dalam menggambarkan ketakwaan sebagai jalan hidup yang benar. Mari kita bahas satu per satu:
1 . Menaati dan Tidak Bermaksiat.
• Ketakwaan bukan sekadar menjauhi larangan, tetapi juga menjalankan perintah Allah dengan sepenuh hati.
• Maksiat menjauhkan kita dari rahmat Allah, sedangkan ketaatan mendekatkan kita kepada-Nya.
• Allah berfirman:
"Barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah..." (QS. An-Nisa: 69)
2. Mensyukuri dan Tidak Kufur Nikmat.
• Syukur adalah kunci bertambahnya nikmat. Allah berjanji:
"Jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu..." (QS. Ibrahim: 7)
• Kufur nikmat bukan hanya berarti ingkar secara lisan, tapi juga menyia-nyiakan nikmat dengan hal sia-sia atau menggunakannya untuk kemaksiatan.
3.Mengingat dan Tidak Melupakan.
• Mengingat Allah (dzikrullah) membawa ketenangan hati:
"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra’d: 28)
• Lupa kepada Allah berarti hati akan dikuasai oleh dunia, hawa nafsu, dan godaan setan.
• Cara mengingat Allah: shalat dengan khusyuk, membaca Al-Qur’an, berdzikir, dan selalu merasa diawasi-Nya.
Kesimpulan:
Ketakwaan bukan sekadar takut kepada Allah, tetapi juga hidup dalam ketaatan, penuh syukur, dan selalu mengingat-Nya. Inilah kunci hidup yang penuh keberkahan.
Penglihatanmu adalah nikmat Allah kepadamu. Janganlah bermaksiat kepada-Nya dengan Nikmat-Nya.
Kalimat ini mengandung pesan yang sangat dalam: Setiap nikmat yang Allah berikan harus digunakan untuk ketaatan, bukan untuk maksiat.
Penglihatan: Karunia yang Harus Dijaga
Mata adalah salah satu nikmat terbesar dari Allah. Dengan mata, kita bisa melihat keindahan dunia, membaca Al-Qur’an, mengenali kebaikan, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Namun, jika tidak dijaga, mata bisa menjadi pintu masuk bagi maksiat dan dosa, seperti:
• Melihat sesuatu yang haram (pornografi, aurat yang bukan mahram).
• Menggunakan mata untuk iri, dengki, atau mengintai keburukan orang lain.
• Terlalu sibuk dengan dunia digital hingga lupa mengingat Allah.
Bagaimana Menjaga Nikmat Penglihatan.
Menundukkan pandangan dari hal-hal yang haram. Allah berfirman:
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya...’" (QS. An-Nur: 30)
Menggunakan mata untuk kebaikan seperti membaca Al-Qur’an, melihat hal-hal yang meningkatkan iman, dan mencari ilmu.
Bersyukur kepada Allah atas nikmat mata dengan menjaganya dari hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
Kesimpulan:
Jika Allah memberi kita mata, kita harus menggunakannya untuk kebaikan, bukan untuk sesuatu yang membuat kita jauh dari-Nya. Jangan sampai nikmat-Nya justru menjadi sebab turunnya murka-Nya.
Di antara tanda kebahagiaan adalah engkau taat, tetapi engkau takut tidak diterima. Di antara tanda kesegsaraan adalah engkau bermaksiat, tetapi engkau berharap selamat.
Kata-kata ini mengandung hikmah yang dalam tentang hakikat kebahagiaan dan kesengsaraan dalam iman.
Tanda Kebahagiaan: Taat, Tapi Takut Tidak Diterima
Seseorang yang benar-benar beriman akan selalu merasa khawatir apakah amal ibadahnya diterima oleh Allah atau tidak. Ia tidak sombong dengan amalnya, melainkan tetap rendah hati dan terus berusaha memperbaiki diri.
Dalilnya:
"Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu) bahwa mereka akan kembali kepada Tuhan mereka." (QS. Al-Mu’minun: 60)
Ciri-ciri orang bahagia:
• Taat kepada Allah dengan penuh keikhlasan.
• Selalu introspeksi diri, takut amalnya tidak diterima.
• Tidak merasa aman dari siksa Allah, tetapi tetap berharap rahmat-Nya.
Tanda Kesengsaraan: Bermaksiat, Tapi Berharap Selamat
Sebaliknya, orang yang lalai dalam dosa tetapi tetap merasa aman dari siksa Allah adalah tanda kesengsaraan. Ia terus bermaksiat, namun tetap berharap Allah akan mengampuninya tanpa usaha untuk bertaubat.
Dalilnya:
"Apakah mereka merasa aman dari rencana Allah? Tidak ada yang merasa aman dari rencana Allah kecuali orang-orang yang merugi." (QS. Al-A’raf: 99)
Ciri-ciri orang sengsara:
• Terus berbuat dosa tanpa rasa takut kepada Allah.
• Menganggap remeh maksiat dan mengulur taubat.
• Berharap ampunan Allah tanpa usaha untuk berubah.
Kesimpulan:
Orang yang benar-benar beriman akan selalu takut kepada Allah meskipun ia taat.
Orang yang lalai justru merasa aman, meskipun ia bermaksiat.
Seimbangkan antara takut dan harapan: Jangan terlalu takut hingga putus asa, dan jangan terlalu berharap hingga berani berbuat dosa.
Oleh. Dr. Nasrul Syarif, M.Si. Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo )