Fakta tersebut dibuktikan dengan banyaknya surat-surat dalam lemari box Rami Nsour, seorang Muslim Amerika yang mendirikan Tayba Foundation, sekaligus menjadi direkturnya. Surat-surat yang diterima oleh Nsour, berasal dari kota-kota berbeda di Amerika Serikat, seperti Florida, Ohio, Texas, Colorado, yang semuanya merupakan para narapidana.
Tayba Foundation yang didirkan oleh Rami Nsour merupakan kegiatan yang menawarkan edukasi Islam atau pembelajaran jarak jauh kepada para narapidana yang awalnya hanya untuk kalangan Muslim. Akan tetapi berkembang terus menerus hingga diminati narapidana yang bukan beragama Islam.
Saat Nsour ditanya tentang keinginan para narapidana untuk belajar Islam, ia menjawab sangat besar sekali.
“Oh, ini sangat besar sekali. Saat kita memulai, tepatnya 15 tahun yang lalu. Sebenarnya berawal dari dasar narapidana Muslim saat itu. Jadi, kami mengembangkannya untuk mengisi antara jarak dan kebutuhan itu,” ujar Nsour dalam wawancara bersama CBC Morning yang berjudul, Why Thousands Convert to Islam In Prison Each Year?, Jumat ( 28 /02/2025).
Menurutnya, ada beberapa alasan yang membuat para narapidana tersebut tertarik dengan Islam hingga menggema dalam situasi yang terkunci di penjara. Salah satunya seperti konsep berserah diri kepada zat yang pasti, yaitu Allah Swt.
“Saya kira begitu banyak narapidana yang akhirnya menemukan bahwa Islam adalah satu-satunya yang memberikan mereka kebebasan. Karena Islam memliki level berserah diri kepada zat yang pasti. Seperti salat 5 kali dalam sehari. Mereka menyaksikan ada metode untuk menjalankannya, dan penjara tidak menghalangi untuk salat. Mereka melihat bahwa dinding-dinding penjara tidak mampu membatasi keimanan,” imbuh Nsour.
Salah seorang narapidana bernama Muhammad Amin Anderson yang telah memilih masuk Islam dan menjadi salah satu peserta Tayba Foundation mengaminkan alasan yang dikemukakan oleh Nsour.
Sebelum memeluk Islam, ia terlahir dengan nama Christopher Anderson di Philadelphia dan merupakan anak dari seorang pendeta. Tetapi setelah remaja, Anderson memilih hidup menjadi anak jalanan.
“Terjerumus ke dalam narkoba dan menjadi candu selama setahun. Setengah tahun saya terlibat dalam kelompok penjualan narkoba di kota kami, mengajak banyak orang, dan sebagainya,” ungkap Anderson.
Ia mengakui bahwa awal masuk penjara, tidak memiliki rasa kemanusiaan karena kejahatannya. Hanya saja setelah beberapa waktu di penjara dan mengenal Islam, Anderson mulai menempa kembali dirinya.
“Saat awal saya masuk penjara,
saya adalah sosok yang tidak punya rasa kemanusiaan, bisa dikatakan demikian.
Tetapi setelah berada dalam penjara, saya kembali menempa rasa kemanusiaan
saya,” imbuh Anderson.
Anderson didakwa hukuman selama 20 tahun karena terlibat dalam komplotan pembunuh. Lalu setelah kurang lebih dua tahun berada di penjara, ia pun bertemu dengan Islam setelah sebelumnya mempelajari agama-agama yang lain. Tetapi ia akui, bahwa hanya Islam yang masuk akal baginya.
Selain itu, alasan berikutnya yang membuat Anderson memilih Islam adalah ajaran spritual Islam yang memfungsikan akal manusia memahami wahyu.
“Bagi saya secara spritual, ini menawarkan kepada saya bahwa akal itu alat untuk sampai pada petunjuk (wahyu)” terangnya.
Seperti keyakinannya yang tumbuh
lebih dalam, Anderson menjadi terhubung dengan Nsour dan Tayba Foundation.
Nsour sebagai pendiri Tayba
Foundation memberikan pembelajaran jarak
jauh melaui telepon dan mengirimkan materi-materi yang ditanyakan kepada
Anderson dan lainnya.
“Ya, banyak sekali yang dapat kita lakukan dengan pembelajaran mandiri. Jadi saya mulai dengan telepon, kemudian mengirimkan materi-materi peljaran yang ditanyakan, dan sungguh setelah 17 tahun ia (Anderson) berada di penjara, ia (Anderson) juga sudah mampu mengajarkannya kembali di sana,” lanjut Nsour
Ketika ditanya tentang kesalahpahaman isu radikalisme yang ditujukan kepada Islam dan menyebar di penjara, kata Nsour tidak ada masalah dengan isu tersebut. Terbukti dengan jumlah mualaf yang terus meningkat.
“Itu tak ada masalah. Jumlah mualaf telah menjawab bahwa isu itu tidak ada di sana. Pada situasi yang lain, ini sebenarnya isu yang langka. eperti misalnya mengapa ada Kristen ekstremis, siapa yang radikalis di penjara? Tentu mereka yang melakukan aksi teroris,“ tegasnya.
Berdasarkan National Institute of Correction, serangan terhadap narapidana di penjara oleh Muslim radikal hanyalah kasus langka. Bahkan sangat sedikit bukti tentang itu. Faktanya menurut Nsour, banyak mualaf yang mengamati para Muslim bagaimana bertahan dan menjaga diri mereka.
“Mereka tidak terpengaruh ke lingkungan buruk sekitarnya. mereka yang memperhatikan kebiasaan Muslim tersebut, bertanya-tanya lalu dijawab, beginilah Islam kami dan mengajarkan kami karakter,” pungkas Nsour.[] M. Siregar