Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Cengkeraman Korporasi di Balik Pagar Laut

Minggu, 16 Februari 2025 | 05:51 WIB Last Updated 2025-02-15T22:51:17Z

TintaSiyasi.id -- Masyarakat dihebohkan dengan munculnya pagar laut yang panjangnya mencapai puluhan kilometer. Pemerintah setempat mengklaim bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan pagar laut ini sebelum viral. Padahal sejak bulan Agustus 2024 lalu, warga Desa Kohod sudah mengadu soal pagar laut ke Pemkab Tangerang, KPK, hingga Bareskrim, namun tak ada hasil. Justru Pemkab cenderung membela Kepala Desa Kohod. (Tempo.com, 5 Februari 2025)

Nahasnya panjang pagar ini terus bertambah. Bahkan hingga Januari 2025 lalu panjang pagar telah mencapai 30,16 kilometer, mengitari wilayah laut yang menjadi sumber penghidupan bagi ribuan nelayan. Menurut kesaksian nelayan pemagaran ini dilakukan mulai dari pagi hingga siang hari. Pemagaran ini jelas sangat merugikan para nelayan setempat, yangmana mereka harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk melaut, menambah biaya operasional, hingga tangkapan mereka menurun karena akses ke wilayah yang kaya ikan menjadi terbatas. 

Melalui penelusuran berbagai media, ternyata pagar laut tersebut sudah memiliki SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan), bahkan SHGB pagar laut ini sudah terbit sejak tahun 2023 dengan jumlah 263 bidang SHGB, atas nama PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang, atas nama PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang, dan atas nama perseorangan sebanyak sembilan bidang. Selain itu, juga ditemukan 17 bidang SHM. Ada dugaan, pemagaran ilegal dilakukan untuk proyek reklamasi. Nusron Wahid selaku menteri ATR/BPN menyatakan beberapa sertifikat itu telah dibatalkan demi hukum.

Jika di cek melalui website administrasi hukum umum, profil PT Intan Agung Makmur menunjukkan alamat yang sama dengan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), lantas untuk apa sebenarnya pembangunan pagar laut ini?

Seorang konten kreator dengan akun Instagram bernama @Sayyidah_nisa nekat membuat dokumentasi video investigasi ke lokasi tersebut, dalam videonya Sayyidah memberikan informasi kebenaran bahwa lokasi pagar laut dekat dengan Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten. Di sekitar wilayah tersebut ia juga melihat ada proyek pembangunan jalan dari jembatan menuju langsung ke bibir pantai.

Dari investigasi lanjutannya, Sayyidah menemukan iklan dari akun Facebook MetroTV. Yangmana iklan tersebut menawarkan sejumlah fasilitas mewah yang lokasinya sama dengan lokasi proyek pembangunan jalan misterius tersebut. Pembangunan proyek ini direncanakan nantinya akan menjadi tempat dermaga transit khusus kapal feri bagi masyarakat yang ingin keliling dunia.

Tak hanya di Tangerang, fenomena pagar laut baru-baru ini juga muncul di perairan Bekasi. Jika dilihat melalui website bhumi.atrbpn.co.ic tepatnya di arah Utara Desa Segara Jaya, terdapat wilayah laut yang memiliki sertifikat HGB. Infonya sertifikat HGB tersebut dimiliki oleh dua perusahaan yaitu PT Cikarang Listrindo (CL) dan PT Mega Agung Nusantara (MAN). Dan ternyata ada manipulasi pemindahan peta dari darat ke laut, serta sudah dilakukan usaha reklamasi yang oleh kementerian KKP dinyatakan ilegal. Dilansir dari beritasatu.com ternyata ini merupakan proyek lama, yakni proyek Pelabuhan Tarumanegara. Bahkan menurut berita di tahun 2015 PT Mega Agung Nusantara telah menguasai 500 Hektare wilayah laut dan pelabuhan ini rencana digunakan untuk mendukung transportasi logistik kawasan industri-industri seperti di Cikarang. Sehingga mereka tidak perlu mengangkut barang dari Tanjung Priok. 

Dan menurut data Kemenhub pelabuhan tarumanegara tidak layak jika ditinjau dari segi keselamatan, karena beresiko konflik dengan pipa gas Pertamina, tapi kenapa proyek ini ingin dijalankan kembali?

Lagi-lagi fokusnya hanya untuk kepentingan oligarki dan para pemilik modal. Sementara nelayan sekitar malah dirugikan. Seharusnya setiap proyek pembangunan harus direncanakan secara komprehensif. Termasuk hingga ke penanggulangan dampaknya, apakah proyek tersebut akan mengganggu ruang hidup masyarakat.

Islam bukannya anti pembangunan dan anti kemajuan. Hanya saja, setiap program pembangunan harus mengandung visi ibadah, dengan kata lain pembangunan harus bisa menunjang visi penghambaan kepada Allah Ta'ala. Untuk itu, jika suatu proyek pembangunan bertentangan dengan aturan Allah, maka pembangunan itu tidak boleh dilanjutkan.

Dalam Islam negara wajib menjadi ra’in (pengurus) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya. Dua peran inilah yang menjadikan negara khilafah kokoh berdiri tanpa intervensi dari pihak mana pun. Sehingga para pemimpinnya bisa fokus membuat kebijakan yang memberikan kemaslahatan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Tak hanya itu, pemimpin dan para pejabat negara diperintahkan untuk tidak melakukan persekongkolan dengan para pemilik modal demi meraup keuntungan pribadi. Pembangunan yang berpotensi menimbulkan penderitaan rakyat akan dihentikan. 

Pemberian HGB pada laut sejatinya merupakan pelanggaran terhadap syariat. Karena dalam Islam, ada jenis harta yang tidak boleh dimiliki dan dikuasai individu, swasta ataupun ormas. Jenis harta ini terkategori dalam kepemilikan umum. Kepemilikan umum adalah izin darı Allah (yakni hukum syariah kepada publik atau masyarakat umum untuk secara sama-sama (berserikat) memanfaatkan suatu harta.

Dasarnya adalah hadis yang mengharuskan kepemilikan bersama (persekutuan kepemilikan) atas api, padang rumput, dan air.

Rasulullah SAW bersabda:
"Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air padang rumput dan api" (HR Ahmad. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Juga hadis:
"Tiga hal yang tidak boleh dihalangi (dan manusia) yaitu air padang rumput dan api" (HR Ibnu Majah).

Di sisi lain, Rasulullah juga pernah memperbolehkan sumur di Thaif dan Khaibar dimiliki oleh individu untuk menyiram kebun. Artinya berserikatnya manusia atas air itu bukan karena zatnya, melainkan karena sifatnya, yakni dibutuhkan oleh orang banyak. Karena itulah berlaku:

"Setiap apa saja yang keberadaannya mutlak dibutuhkan oleh masyarakat (dharuriyyat lil jama ah) tidak boleh dimiliki secara individu" (Sa'd Habib dan Jamaluddin 'Ayyad, At-Takâful Wa Nidhâm al-Amal Fi al-Islâm (Wakalah Shahafah al-Arabiyyah, 2021), h. 29).

Kepemilikan umum berbeda dengan kepemilikan negara. Dalam kepemilikan umum, negara diberi tanggung jawab sebagai pengelolanya. Namun, harta milik umum ini tidak boleh diberikan kepada siapapun karena negara bukan pemiliknya. Berbeda dengan kepemilikan negara, negara boleh memberikannya kepada individu rakyat sesuai dengan apa yang dipandang sebagai perioritas yang mendatangkan maslahat.

Hasil pengelolaan umum pada dasarnya adalah milik seluruh rakyat. Bukan milik sekelompok orang/swasta/asing, bukan pula hanya milik kaum Muslim saja. Karena itu negara mesti menggunakannya untuk kepentingan rakyat banyak, baik dengan membagikannya secara langsung atau untuk membiayai dan mensubsidi kebutuhan rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dll.

Harta milik publik (umum) idealnya dikelola oleh negara serta dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh rakyat. Namun, seiring menguatnya pemikiran yang disokong oleh kekuatan politik AS dan Uni Eropa lewat IMF dan Bank Dunia melalui ekonomi neoliberalisme, privatisasi harta milik publik menjadi lazim di banyak negara salah satunya Indonesia.

Privatisasi merupakan pengalihan kontrol atas harta milik publik ke tangan swasta. Dengan kata lain, mengalihkan kekuasaan atas nasib individu dan negara kepada perusahaan individu dan eksekutif swasta yang tidak dipilih oleh rakyat, tidak bertanggung jawab kepada rakyat, dan sulit untuk diawasi publik.

Pasar bebas telah mendorong pengelolaan ekonomi oleh pihak swasta, sehingga lebih efisien dibandingkan jika dikelola oleh negara. Padahal, alih-alih menciptakan efisiensi, privatisasi dibeberapa negara justru menciptakan monopoli swasta, inefisiensi, dan ketimpangan yang tinggi dampak dominasi segelintir elit yang menguasai barang publik, tentu hal ini juga menyebabkan berbagai dampak, di antaranya:

Pertama, dampak politik. Penguasaan kekayaan publik oleh swasta akan menjadi jalan bagi pemilik modal untuk mengontrol berbagai keputusan politik di sebuah negara. Proses transfer penguasaan ditawarkan melalui regulasi, baik dengan pemberian konsesi maupun penjualan saham BUMN. Seringnya, peralihan kepemilikan selalu jatuh pada pihak investor yang memiliki modal besar (termasuk investor asing) dan pihak yang memiliki kekuatan pengaruh politik.

Kedua, dampak ekonomi. Jika harta milik publik diprivatisasi, maka hanya beberapa perusahaan besar yang mampu untuk mengakuisisinya. Mereka berjanji akan mewujudkan efisiensi sehingga menguntungkan konsumen, namun janji ini seringkali diabaikan. Sebaliknya, harga justru menjadi lebih tinggi bagi konsumen dengan kualitas layanan yang rendah. 

Ketiga, dampak sosial. Privatisasi akan menciptakan ketimpangan sosial. Yang mana kelompok yang sudah kaya dan berkuasa akan mendapatkan keuntungan berlimpah. Sedangkan penduduk yang berada di sekitar laut justru kehilangan mata pencahariannya,  mereka harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk melaut, menambah biaya operasional, hingga tangkapan mereka menurun karena akses ke wilayah yang kaya ikan menjadi terbatas. 

Ketika hidup diatur dengan ketetapan syariat Islam, maka dampak-dampak ini tidak akan terjadi dan semua lini kehidupan akan berjalan tanpa adanya kezaliman terhadap rakyat dan ketamakan para penguasa. []


Oleh: Marissa Oktavioni, S. Tr. Bns.
Aktivis Muslimah

Opini

×
Berita Terbaru Update