TintaSiyasi.id -- Viral di media sosial akhir bulan Januari ini adanya barisan bambu yang disusun sepanjang 30 kilometer di wilayah pesisir laut Tangerang, Banten. Menurut warga dan nelayan setempat, barisan bambu tersebut dibangun sejak Agustus 2024. Namun, warga dan nelayan tidak mengetahui bahwa barisan bambu tersebut adalah pagar laut yang wilayahnya sudah dimiliki pihak tertentu.
Para nelayan sempat menanyakan kepada aparat desa setempat, tetapi para aparat desa tidak mengetahui perihal pembangunan pagar laut tersebut, bahkan mengira itu adalah upaya pembangunan dari pemerintah pusat. Para nelayan sempat melaporkan hal ini ke DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan) wilayah Jawa Barat, tetapi tidak ditindaklanjuti. Hal ini disampaikan oleh Pak Kholik, salah satu nelayan yang terdampak, dalam diskusi terbuka di TV One pada acara Catatan Demokrasi pada 16 Januari 2025.
Setelah ramai di media sosial dan netizen mempertanyakan siapa pemilik pagar laut misterius tersebut, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Nurul Wahid, membenarkan bahwa lokasi yang telah dipagari tersebut sudah bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) tanpa menyebutkan nama pemilik pagar laut tersebut. Hingga akhirnya, pada 18 Januari 2025, Presiden RI Prabowo Subianto langsung memerintahkan untuk mencabut pagar laut tersebut dengan mengerahkan 600 TNI AL dan warga setempat. Namun, pembongkaran ini sempat mendapat penolakan dari Menteri Kelautan dan Perikanan (KP), Wahyu Sakti T., karena masih dalam proses investigasi. Pasalnya, wilayah laut yang dipagari tersebut dimiliki oleh beberapa pihak, di antaranya PT Cahaya Inti Sentosa yang memiliki 20 bidang lahan di area perairan.
PT Cahaya Inti Sentosa (CISN) merupakan anak usaha PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PIK 2), emiten properti di bawah naungan Agung Sedayu Group milik Aguan. Hal ini diperkuat oleh laporan keuangan PIK 2 periode kuartal III-2024, di mana emiten berkode PANI itu tercatat memiliki 88.500 lembar saham atau sekitar 99,33 persen saham di CISN.
Peristiwa ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Berita ini hanyalah salah satu yang viral di awal tahun 2025. Yang tidak viral tentu jauh lebih banyak, baik di tahun-tahun sebelumnya maupun saat ini. Pertentangan antara pemilik modal sebagai pemilik lahan yang sah—yang diperoleh melalui proses administrasi legal—dan masyarakat lokal yang dirampas ruang hidupnya terus terjadi.
Jika dalam demokrasi pemilik modal bebas membangun dengan alasan untuk mensejahterakan diri, begitu pula rakyat yang berhak atas tempat hidupnya di tanah nenek moyang. Lantas, siapa yang harus dibela? Siapakah yang benar dan berhak untuk menguasai wilayah tersebut? Menikmati ruang hidup dan sejahtera merupakan hak bagi setiap manusia selama tidak merugikan pihak lain. Namun, peraturan di negeri ini terkadang menjadikan penyelenggara tidak adil. Ruang hidup kerap kali masuk ke dalam tata kelola kepentingan tertentu antara penguasa yang menjabat dan pengusaha sebagai pemilik modal.
Banyaknya konflik perebutan wilayah yang berakibat pada perampasan ruang hidup masyarakat oleh pemilik modal membuat kita bertanya, di manakah peran negara yang seharusnya melindungi rakyat?
Dalam sistem demokrasi saat ini terdapat simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha (saling menguntungkan). Para pengusaha sebagai pemilik modal berupaya menguasai ruang dan waktu untuk mendukung penguasaan atas ekonomi, serta menyediakan kekayaan bagi penguasa dalam pemerintahan yang sedang berkuasa. Kemudian, pihak penguasa akan mempermudah regulasi demi kepentingan pengusaha sebagai pemilik modal.
Solusi Islam
Dalam sistem Islam, negara wajib bertindak sebagai pelindung rakyat yang berlandaskan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Pemerintah, yang bertindak sebagai penguasa, tidak boleh menjadi regulator sektor penting (fasilitas yang berhak dimanfaatkan secara umum) yang memfasilitasi kepentingan pengusaha sebagai pemilik modal untuk berjual beli dengan rakyat demi memperkaya diri. Hal ini hanya akan membuat rakyat merasa diperas dan didzalimi.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Abdullah bin Said, dari Abdullah Khirasy bin Khawsyab Asy-Syaibani, dari Al-Awam bin Khawsyab, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a., bahwa Rasulullah SAW bersabda:
اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api; dan harganya adalah haram.”
Berdasarkan kesepakatan para ulama, wilayah laut yang saat ini menjadi sengketa antara warga dan pengusaha adalah haram untuk dimiliki. Wilayah tersebut seharusnya milik bersama, tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh seorang pun. Wilayah ini wajib dikelola oleh negara untuk kemaslahatan bersama dan menjadi fasilitas umum.
Namun, faktanya saat ini banyak sekali sumber air, padang rumput (hutan), dan tambang yang dikelola oleh swasta. Akibatnya, rakyat harus membayar untuk menikmati hak-haknya. Ini adalah salah satu bentuk kedzaliman penguasa terhadap rakyatnya. Allah menjelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 188:
وَلَا تَأْكُلُوْٓا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
"Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui."
Air, padang rumput, dan tambang akan dapat dinikmati rakyat secara gratis apabila hidup dalam aturan Islam. Peraturan Islam hanya bisa diterapkan dengan sistem Islami, yaitu penerapan Daulah Khilafah Islamiyah seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Oleh: Neni Moerdia
Aktivis Muslimah