"Pertama, cinta
kepemimpinan dan kebanggaan yang berakar pada naluri eksistensi dan
nasionalisme. Kedua, dorongan manfaat material, yang sering kali
didukung oleh sistem ideologi tertentu, seperti kapitalisme," ujarnya
dalam Kajian Telaah Kitab Mafahim Siyasiyah (Konsepsi Politik Islam) Ed.
23 di channel Syiar Malam, Selasa (11 Juli 2023.
Ia menjelaskan, motif pertama
muncul dari naluri manusia untuk mempertahankan diri dan eksistensinya dalam
bentuk kebanggaan terhadap bangsa atau ras tertentu.
“Salah satu penampakan dari gharizah
(naluri). Cinta kebanggaan itu adalah fitrah. Rasa cinta dan kebanggaan
dengan etnis dan ras yang berlebihan melahirkan konflik. Nasionalisme ekstrem
dalam sejarah telah memicu gerakan seperti naziisme di Jerman, fasisme di
Italia, dan supremasi etnis lainnya,” bebernya.
Motif kedua, lanjutnya, manfaat
material lebih menonjol dalam fenomena modern. “Motif ini berkaitan dengan
keinginan negara-negara untuk menguasai sumber daya, seperti sejarah
kolonialisme dan imperialisme,” ujarnya.
“Karena ada ideologi di balik
mencari manfaat material. Kapitalisme ingin mendapatkan manfaat-manfaat
material yang dia tidak miliki, tetapi orang lain punya,” ujarnya.
“Dalam banyak kasus, ideologi
juga memainkan peranan besar dalam konflik. Sejarah menunjukkan bagaimana
ideologi kapitalisme dan komunisme bersaing dalam Perang Dingin,” jelasnya.
Budi menambahkan bahwa setelah
kejatuhan komunisme, kapitalisme tetap dominan, tetapi kemungkinan munculnya
kembali ideologi Islam sebagai penantang tidak dapat diabaikan.
“Komunisme sudah kehilangan
tajinya, satu-satunya yang akan bersaing dengan kapitalisme global adalah
ketika Islam dibawa sebagai ideologi oleh negara adidaya,” tegasnya.
Dalam analisis konflik, jelasnya
lebih lanjut, strategi keseimbangan kekuatan (balance of power) juga
berperan penting. “Negara-negara cenderung membatasi pertumbuhan kekuatan lawan
agar tidak mengancam kepentingan mereka. Contohnya, reaksi Australia terhadap
peningkatan kekuatan militer Indonesia,” ungkapnya.
“Bagi Australia, ancaman itu cuma
satu, Indonesia. Maka setiap penambahan kekuatan militer Indonesia akan selalu
direspons,” tegasnya lagi.
Negara-negara adidaya selalu
mempersiapkan diri dalam menghadapi konflik dengan berbagai strategi, termasuk
aliansi militer dan penguatan industri pertahanan. “Salah satu tren modern adalah
meningkatnya peran industri keamanan swasta seperti Wagner Group dan Blackwater,”
ujarnya.
Diungkapkannya, “Negara-negara
besar menggunakan industri keamanan swasta untuk operasi militer sensitive,
sehingga mereka bisa cuci tangan dari tanggung jawab internasional.”
“Konflik internasional tidak bisa
dihindari karena didorong oleh faktor-faktor alami, seperti kepemimpinan dan
kepentingan material. Perdamaian abadi hanyalah konsep ideal, sementara
kenyataan menunjukkan bahwa konflik akan selalu ada. Konflik adalah realitas,
bahkan sampai akhirat. Negara yang ingin damai harus siap untuk perang,”
tutupnya.[] Aliya Ab Aziz