TintaSiyasi.id -- Menanggapi pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menganggap tanpa memungut pajak, Indonesia tidak akan mungkin menjadi negara besar, maju, adil dan sejahtera, Aktivis Muslimah Ustazah Iffah Ainur Rochmah menilai hal itu sebuah pernyataan yang bisa menyesatkan logika publik.
"Ini adalah sebuah pernyataan yang bisa menyesatkan logika publik," ujarnya dalam World View: Pajak Semakin Naik, Bukti Kegagalan Kapitalisme Menyejahterakan Rakyat di kanal YouTube Supremacy, Sabtu (30/11/2024).
Menurutnya, pernyataan Menkeu tidak jauh berbeda dengan para pemikir barat atau ahli birokrasi barat yang menyebut pajak adalah life blood atau urat nadi yang menjadi penentu berlangsungnya kehidupan dalam sebuah negara. Pandangan masyarakat telah sejalan dengan arus global yang sangat kuat itu yakni, semua negara di dunia saat ini menetapkan pajak sebagai pemasukan atau tulang punggung dan urat nadi kehidupan ekonomi sebuah negara.
Menurutnya, pandangan tersebut tentu keliru. Hal ini juga disebabkan karena tidak pernah ada sistem pembanding yang disuguhkan ke masyarakat. Padahal sebenarnya ada sistem kehidupan bernegara yang tidak didanai dengan pemasukan pajak.
"Dalam pandangan Islam, adanya negara, adanya pemimpin, justru salah satu prinsip mendasarnya adalah penguasa tidak boleh rakus dan bahkan harus sangat berhati-hati untuk tidak mengambil sedikitpun harta rakyat, harta yang bukan haknya tanpa ada ketentuan syarat," paparnya.
Ia kemudian mengutip sebuah hadis riwayat Ahmad, Rasulullah Saw bersabda: 'sungguh para pemungut pajak, mereka tempatnya ada di neraka'. Mereka akan diazab, artinya ini adalah satu tindakan yang ditentang atau dilarang oleh syariat.
Adapun ketika negara sedang mengalami krisis keuangan, jelasnya, saat negara benar benar membutuhkan dana untuk pos-pos pengeluaran yang bisa jadi tidak terduga, seperti untuk keperluan jihad fii sabilillah, penanganan bencana alam dan wabah, kemudian ternyata pengeluaran tidak mencukupi, maka untuk hal ini negara boleh memungut dharibah.
"Ada pula didalam syariat Islam ditetapkan apa yang dinamai sebagai dharibah, itu diterjemahkan dekat dengan istilah pajak.
Tetapi benar-benar dharibah ini berbeda, berbeda waktu dan objek pengambilannya dengan pajak yang hari ini berlaku. Dharibah atau pajak dalam Islam hanya diberlakukan atau dipungut pada saat negara benar benar mengalami krisis keuangan," jelasnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam Islam pungutan dharibah hanya diberlakukan khusus kepada lelaki Muslim yang punya kemampuan, tidak dibebankan kepada semua rakyat (Muslim atau non-Muslim), kemudian dharibah ini tidak diberlakukan atau dipungut secara permanen hanya ketika negara benar-benar dalam krisis keuangan, jika sudah terpenuhi dengan jumlah yang ditetapkan. Maka, tidak boleh lagi ada pungutan kepada rakyat atas nama dharibah.
"Dalam pandangan Islam penguasa atau negara itu berfungsi sebagai pemberi riayah, pemberi pelayanan, pemberi jaminan atas terpenuhinya kebutuhan kebutuhan dasar rakyat, apalagi Muslim. Dan sebagai pengayom bukan sebagai pemalak bukan sebagai pihak yang menciptakan kekhawatiran kepada rakyat karena harta rakyat yang terus menerus diambil dengan berbagai pungutan beraneka bentuk pajak," ungkapnya.
Ia mengatakan, ketika aturan Islam diterapkan dalam sebuah negara yang bernama khilafah, telah terbukti dalam catatan sejarah bahwa para penyelenggara negara khilafah memiliki prinsip, bahwa jabatan adalah amanah, menjadi pemimpin artinya memberi solusi atas segala permasalahan masyarakat bukan justru memalak rakyat dengan pungutan pajak.
"Tentu kita semua rindu untuk kembali memiliki sistem Islam, rindu hidup sebagaimana kehidupan di era khilafah ketika hukum hukum syariat dipraktikan secara total, secara kaffah. Maka manusia apalagi muslim tidak lagi pusing dengan aneka pajak sebagaimana hari ini," tandasnya. []Tenira