TintaSiyasi.id -- Tanggal 20 November ditetapkan sebagai World Children’s Day atau Hari Anak Sedunia. Pada tahun ini, 2024, UNICEF mengangkat tema “Listen to the Future” untuk memperingatinya. Di laman resminya, UNICEF menyatakan bahwa dengan tema ini mereka mendorong dunia untuk secara aktif mendengarkan harapan, mimpi, dan visi masa depan anak-anak. Anak-anak juga harus diberikan kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka tentang dunia yang ingin mereka tinggali.
Narasi yang dibangun oleh UNICEF terkesan peduli dan bijak terhadap anak-anak. Namun, pada saat yang sama, lembaga tingkat dunia ini juga menunjukkan hipokrisi. Bagimana tidak, alih-alih menyuarakan genosida dan pembantaian terhadap anak-anak di Palestina, UNICEF malah mengangkat tema yang terkesan tidak lebih urgen dari fakta itu.
Sudah lebih dari satu tahun mereka anak-anak di Palestina berteriak dan menangis, menyuarakan kepedihan mereka atas kebrutalan oleh Israel yang mereka alami di tanah kelahiran meraka sendiri. Warga dunia mengecam Israel, unjuk rasa terjadi dimana-mana. Namun, UNICEF menutup “telinga” dan “mata” mereka dengan fakta ini. Terlalu jelas untuk siapa lembaga dunia itu bepihak.
Peringatan Hari Anak Sedunia tidak lebih sebagai kedok untuk menutupi abainya lembaga ini untuk melindungi anak-anak di dunia. Anak-anak di Palestina tidak mendapatkan hak hidup mereka bahkan sejak dalam kandungan. Mereka tidak mendapatkan makanan, kesehatan, pendidikan, maupun rasa aman. Zionis Israel membantai mereka setiap hari tanpa ampun.
Lantas, apakah kondisi anak-anak di berbagai belahan dunia juga tanpa masalah? Tidak, kondisi mereka juga buruk. Menurut laporan UNICEF 2022, tidak kurang dari 300 juta anak di seluruh dunia hidup dalam kondisi kemiskinan ekstrem (mediaindonesia.com, 20/11/2024). Selain itu masih sangat banyak lagi yang mengalami kelaparan, kematian akibat penyakit yang dapat dicegah, pendidikan yang tidak layak, predator anak, dan masih banyak lagi kondisi miris yang dialami anak-anak di seluruh dunia.
Nyatanya problematika yang menimpa anak-anak ini dunia tidak cukup penting bagi UNICEF untuk menjadi prioritas yang harus diselesaikan dibandingkan agenda lain semacam kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Negara-negara di dunia lebih memilih untuk menghormati batas-batas negara dibandingkan menyelamatkan anak-anak yang memerlukan pertolongan. Para pemimpin dunia, tidak terkecuali pemimpin-pemimpin negara muslim, terlalu nyata ketundukannya pada negara adidaya, Amerika.
Para petinggi di berbagai negara di dunia ini mengetahui fakta yang terjadi hari ini. Anak-anak yang hidup menderita di negara-negara konflik, anak-anak yang hidup dalam lingkungan yang tidak layak, pendidikan yang jauh dari baik, dan segala problematika itu. Mirisnya, mereka hanya diam dan menjadi penonton tanpa berbuat apa-apa dengan berbagai alasan. Sebut saja batas negara, ketidak-tersediaan dana, tidak cukup memberikan keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi, dan alasan-alasan hipokrit lainnya.
Inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme yang malahirkan konsep nasionalisme. Konsep yang menjadikan negeri-negeri muslim yang dulunya bersatu menjadi terpecah belah dalam negara-negara kecil. Sekat-sekat ini menjadi alasan bagi pemerintah yang juga merupakan kaki tangan para kapitalis untuk tidak “mencampuri urusan” negara lain. Padahal anak-anak yang ada di negara manapun juga adalah manusia. Dalam kondisi ini, konsep HAM yang biasanya digaung-gaungkan tiba-tiba tidak terdengar.
Sungguh, sistem kapitalisme begitu kejam membiarkan dan bahkan melanggengkan kondisi dimana generasi manusia hidup dalam kesengsaraan. Sistem ini menjadikan manusia hidup seperti binatang. Para kapitalis berkuasa dan mengendalikan dunia untuk mempertahankan status quo mereka tanpa memperdulikan manusia lain.
Para kapitalis juga sangat takut akan tegaknya kembali sistem Islam yang menyejahterakan seluruh umat manusia. Mereka tahu persis bahwa jika Islam kembali tegak, maka hancurlah kekuasaan yang mereka bangun. Begitulah mereka menutupi kebenaran Islam dengan berbagai cara. Mereka terus membuat citra seakan lembaga-lembaga dunia yang ada saat ini memperhatikan generasi meskipun pada faktanya tidak demikian. Keberadaan lembaga-lembaga itu tidak akan pernah mampu menyelesaikan permasalahan dunia hari ini karena memang keberadaannya didisain untuk menjadi topeng bagi wajah buruk kapitalisme agar terlihat baik.
Kesadaran dunia harus segera di bangun tentang fakta bahwa hegemoni kapitalisme harus segera diruntuhkan jika kita ingin menyelamatkan anak-anak di seluruh dunia. Kita harus segera menawarkan sistem Islam sebagai solusi yang tervalidasi oleh Al Qur’an, sunnah Rasulullah, dan fakta sejarah. Sistem Islam menghilangkan batas-batas bangsa. Islam tidak membedakan ras, suku, agama, bahkan umur warganya dalam memberikan hak keamanan, pendidikan, kesehatan, dan berbagai hak lain. Sistem Islam memungkinkan bagi kepala negara, Khalifah, untuk mengirimkan bantuan militer bagi negeri-negari kaum muslimin yang mengalami penyerangan oleh orang-orang kafir.
Hanya sistem Islam yang memungkinkan seluruh anak di dunia mendapatkan hak mereka dengan baik. Islam sangat detail mengatur hak anak bahkan sejak dalam kandungan. Islam memiliki syariat yang jelas tentang hukum aborsi, hadhanah (pemeliaraan anak yang belum mampu memelihara diri mereka sendiri), bagaimana jika ayah dan ibunya seorang anak bercerai, siapa wali berikutnya yang akan memelihara mereka jika kedua walinya meninggal, dan seterusnya.
Tidak pernah ada sistem sesempurna Islam dalam melindungi hak-hak anak. Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan generasi hari ini selain dengan penegakan sistem Islam. Kita harus memperjuangkan tegaknya kembali sistem Islam dengan menegakkan Khilafah Islam sebagai penjaganya. Wallahu a’lam bish-shawab.
Oleh: Fatmawati
Aktivis Muslimah