TintaSiyasi.id -- Sungguh disayangkan, berton-ton susu sapi segar dibuang di tengah kebutuhan susu nasional yang tinggi. Hal ini terjadi karena para peternak sapi perah mengeluhkan sulitnya menyalurkan susu sapi segar mereka ke industri pengolahan susu sapi. Selain itu juga karena menurunnya penerimaan susu oleh industri pengolah susu. Itu semua jelas merugikan para peternak sapi.
Ternyata, hal ini terjadi diduga karena dampak kebijakan impor yang dilakukan oleh pemangku kebijakan. Sebagaimana yang diberitakan kompas.com (17/11/2024), sekitar 20% kebutuhan susu diambil dari para peternak lokal berupa susu segar, sedangkan 80% didapat dari impor dimana impor susu mayoritas berupa bubuk/skim.
Adapun yang dilakukan pemangku kebijakan hanya menghentikan sementara dan memperketat izin impor. Namun, itu semua tidaklah bisa menyelesaikan masalah. Seharusnya, impor dilakukan setelah semua susu dari peternak lokal telah terserap sepenuhnya dengan baik, dan belum mencukupi kebutuhan nasional.
Namun, yang terjadi hari ini susu peternak melimpah, tapi pemerintah malah impor susu dan tidak dikenakan pajak sama sekali ditambah pula harganya 5% lebih rendah dari harga global. Bahkan Menteri Menko pangan Zulkifli Hasan tidak merespons ketika ditanya nasib peternak dan pengepul susu yang tidak terserap industri (Bisnis.com, 11/11/2024)
Tentu, bebasnya pajak biaya impor susu ini berbanding terbalik terhadap nasib para peternak dan pengepul susu sapi, semisal yang terjadi pada UD Pramono asal Boyolali yang didenda pajak yang tak wajar yakni senilai 670 juta, yang sebelumnya senilai 2 miliar, sehingga memilih untuk menutup usahanya tersebut. (Merdeka.com, 6/11/2024)
Miris sekali bukan? Dalam negeri ditekan pajak jor-joran sedangkan impor tanpa kena pajak sama sekali. Dan hal ini pastinya akan mematikan produsen dalam negeri, seperti halnya yang dialami UD Pramono ini. Padahal, negara seharusnya melindungi nasib peternak melalui kebijakan yang berpihak pada mereka, baik dalam hal menjaga mutu maupun dalam menampung hasil susu dan lainnya.
Inilah yang terjadi di negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Sangat terlihat pemerintah abai terhadap nasib rakyat dan cenderung berpihak serta mengutamakan keuntungan para pengusaha atau pemodal daripada kesejahteraan rakyat. Selain itu, diduga ada keterlibatan para pemburu rente untuk mendapatkan keuntungan dari impor susu.
Salah satu hal buruk dalam sistem ekonomi kapitalis, yakni kebijakan-kebijakan dibuat berlandaskan hukum buatan manusia yang lemah, sehingga akan terjadi ketimpangan. Kita bisa lihat, rakyat hanya dijadikan komoditas untung-rugi, yang seharusnya disejahterakan, dilayani, dan diuntungkan, tapi malah menjadi pihak yang paling menderita, merugi dan sengsara.
Berbeda dengan sistem Islam, yakni Khilafah Islam yang menerapkan sistem ekonomi Islam, yang aturan-aturan serta kebijakan-kebijakannya diambil berlandaskan hukum dan aturan yang dibuat Allah SWT, Sang Maha Pencipta manusia.
Khilafah Islam akan berdiri di tengah umat, menyolusi dengan syariat demi mewujudkan kemaslahatan umat. Sehingga, nasib peternak dan pengepul tidak akan dirugikan, yang ada justru akan dibantu, dan memaksimalkan bantuannya baik dalam pengelolaannya maupun dalam pendistribusiannya, sehingga mereka bisa optimal memenuhi kebutuhan susu di tanah air dan tidak akan ada peluang para importir susu masuk ke tanah air.
Oleh karenanya, Khilafah Islam secara mandiri akan memenuhi kebutuhan rakyat dengan mengoptimalkan seluruh potensi yang ada, termasuk para peternak dan pengepul susu sapi guna mencegah merebaknya orang-orang yang mencari untung di tengah penderitaan rakyat. []
Ambarwati
Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok