TintaSiyasi.id -- Realitas hidup di zaman yang mengandalkan otot, bukan inteligensi. Merasa paling hebat sehingga bebas melakukan kekerasan di sana-sini, mengedepankan emosi dan meninggalkan hati nurani, membuat pelaku hilang kendali dan lupa diri. Alhasil, setiap orang menjadi pelampiasan untuk digebuki.
Inilah realitas yang terjadi di negeri kita, ketika setiap orang memiliki kebebasan dalam berperilaku apa pun walaupun hal tersebut dapat menyebabkan kerugian bagi orang lain. Seperti yang terjadi pada seorang teknisi handphone, Zaur Rahman, yang menjadi korban penganiayaan dan perampokan di kawasan GMT Skip, Medan Petisah, pada Selasa, 8 April sekitar pukul 17.00 WIB.
Kejadian bermula saat Zaur hendak memarkirkan motor di depan GMT II dan meminta seorang ibu untuk bergeser. Namun, ia malah dibentak oleh pria tua dan tiba-tiba ditendang oleh seorang pria lain. Setelah memarkirkan motor, Zaur kembali meminta klarifikasi, tetapi justru dicekik, dipukuli, dan kepalanya dibenturkan. Tak hanya itu, beberapa orang lain datang memukuli Zaur dengan batu hingga kepalanya robek. Salah satu pelaku juga mengambil uang senilai Rp500 ribu dan merampas handphone milik korban. Karena dikeroyok, Zaur melarikan diri ke dalam toko untuk menghindari serangan lebih lanjut.
Akibat insiden tersebut, korban mengalami luka robek di kepala, bengkak di wajah, serta memar di dada dan pinggang, sehingga tidak bisa bekerja untuk beberapa waktu. Karena merasa menjadi korban, Zaur segera mengadukan insiden tersebut ke Polsek Medan Baru untuk menuntut keadilan. Iptu Poltak, Kanit Reskrim Polsek Medan Baru, memberi tanggapan bahwa kasus ini akan segera ditindaklanjuti (medanposonline.com, 12/04/2025).
Inilah kenyataan yang kita jumpai ketika liberalisme diterapkan dalam kehidupan. Tidak adanya batasan yang menjadi standar dalam berperilaku membuat individu bebas mengekspresikan diri. Masalahnya, hal ini membuat pelaku menjadi kebablasan, hanya mementingkan diri sendiri dan merugikan orang lain.
Beberapa fakta lain juga menunjukkan kebebasan berperilaku yang menyebabkan tindakan kriminalitas. Seperti kejadian di Medan Denai, seorang pria ditangkap Polsek Medan Area setelah videonya viral menganiaya penjaga konter di Jalan Tuba II. Pelaku marah karena korban menolak permintaan top up saldo DANA gratis. Kejadian tersebut terjadi Sabtu, 13 April 2025 dini hari. Meski korban sudah menunjukkan bukti transaksi Rp100 ribu berhasil, pelaku tetap memukul dengan kayu dan melemparnya dengan kursi plastik (rmolsumut.id, 16/04/2025).
Kejadian lain juga terjadi di Jalan Muktar Basri, Medan. Seorang pekerja warung kopi dianiaya sekelompok preman setelah menolak permintaan meminjam gelas untuk kedua kalinya. Aksi pengeroyokan tersebut terjadi pada Rabu, 2 April 2025 malam hari. Kejadian itu terekam CCTV dan viral di media sosial. Menurut pemilik warung kopi, Jufrial Agusti, gelas sebelumnya sudah sempat dipinjami, namun saat permintaan kedua ditolak karena warung sedang ramai pengunjung. Para pelaku, yang merupakan warga setempat, meluapkan kemarahan dengan memukul korban menggunakan tangan, sapu, batu, dan kursi (regional.kompas.com, 04/04/2025).
Seperti inilah realitas hidup di zaman ketika liberalisme sudah mendarah daging di negeri ini. Perilaku seperti pengeroyokan, penganiayaan, dan penyiksaan sering kali terjadi, dan pemicunya biasanya hal-hal yang remeh-temeh. Karena liberalisme adalah ide yang mementingkan kebebasan individu tanpa adanya batasan, maka setiap individu merasa bebas melakukan tindakan apa pun untuk memenuhi perasaan yang dirasakannya. Seperti peristiwa-peristiwa di atas, perasaan marah yang timbul membuat pelaku bebas menganiaya orang lain hingga babak belur. Hal ini menunjukkan rusaknya moral akibat liberalisme.
Ketika individu diberi kebebasan tanpa batas, akan mengakibatkan kehancuran moral dan keharmonisan sosial. Akan terbentuk pula kebebasan moral yang bertentangan dengan Islam. Tidak adanya aturan membuat individu bebas melakukan apa pun yang dia inginkan, walaupun itu merugikan orang lain dan bertentangan dengan aturan Islam. Ini adalah buah dari sekulerisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak dipakai untuk mengatur tatanan hidup manusia, meniadakan keberadaan Allah sebagai pembuat aturan, dan mengedepankan kebebasan manusia dalam mengatur semua urusannya di dunia. Atas dasar inilah lahir liberalisme yang membuat individu tidak terikat dengan aturan.
Liberalisme ini juga membuat individu tidak percaya adanya hisab di akhirat atas semua perbuatannya. Maka tak heran jika mereka yang mengemban ide ini rela melakukan sesuatu walaupun itu bertentangan dengan aturan Islam. Seakan didukung oleh negara, pemerintah juga tidak memberikan sanksi yang menjerakan untuk para pelaku. Mereka hanya ditahan di penjara untuk beberapa waktu, dan jika ada uang jaminan maka segera dikeluarkan. Hal ini membuat pelaku lain tidak akan berhenti melakukan hal yang sama. Masyarakat jugalah yang menjadi korban akibat kebebasan yang merusak tatanan kehidupan ini.
Lantas bagaimana masyarakat bisa merasakan keamanan? Maka jawabannya hanya ada dalam Sistem Islam. Negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan memiliki aturan untuk setiap individunya. Setiap orang bebas melakukan apa pun asalkan hal tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dalam Sistem Islam, batasan itu jelas, yakni halal dan haram menurut Allah, serta perintah dan larangan Allah. Maka jika seorang individu marah kepada orang lain, dia tidak boleh langsung menganiaya orang tersebut hingga babak belur. Harus ada proses yang dilakukan oleh peradilan Islam.
Jika diatur dengan sistem Islam, maka kita akan sadar bahwa ada yang namanya hari penghisaban atas semua perbuatan yang kita lakukan di dunia. Maka bagi seorang Muslim, dia tidak akan merasa bebas karena dirinya terikat dengan hukum syarak. Dia akan memilih tindakan yang mendatangkan pahala dan sesuai dengan perintah Allah SWT. Berikut kisah tentang seseorang yang hilang kendali saat menyelesaikan permasalahan, tetapi bisa diselesaikan dengan Islam.
Amr bin al-As, seorang komandan dan gubernur Muslim, pernah memukul seorang pejabat Mesir setelah mereka terlibat dalam perselisihan. Tindakan kekerasan ini mengejutkan banyak orang karena bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan keadilan dan pengendalian diri. Ketika Khalifah Umar bin al-Khattab mendengar kejadian ini, ia memarahi Amr dan memerintahkannya untuk meminta maaf serta memperbaiki perbuatannya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kekerasan hanya dibenarkan dalam kondisi tertentu, dan setiap tindakan harus dapat dipertanggungjawabkan.
"Tidak boleh ada kekerasan dalam Islam, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap orang lain."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Wallahu a'lam bishshawab. []
Indri Nur Adha, A.Md.
Aktivis Muslimah