TintaSiyasi.id -- Adagium 'ganti menteri ganti kurikulum' memang bukan sekadar slogan. Buktinya, belum lama kursi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bergeser kepada Abdul Mut'i, sekarang bernama Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, kasak kusuk pergantian kurikulum dan pelaksanaan kembali Ujian Nasional (UN) sudah mulai kencang berembus. Bahkan di media sosial mulai beredar wacana mengembalikan Ebtanas dan kurikulum lama sebagai pengganti Kurikulum Merdeka.
Rencana ini menandai niat pemerintah mengevaluasi kurikulum merdeka dan mengarahkan pendidikan menuju pendekatan baru yang lebih dalam dan berpusat pada keterlibatan siswa secara aktif. Kurikulum yang akan diterapkan adalah kurikulum deep learning yang dimaksudkan untuk memperdalam pemahaman siswa dengan metode yang mengajak mereka tidak hanya memahami materi, tetapi juga menghayatinya melalui pendekatan mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning.
Mindful learning, menyadari keadaan murid yang berbeda-beda. Meaningful learning, mendorong murid berpikir dan terlibat dalam proses belajar. Sedangkan joyful learning adalah mengedepankan kepuasan dan pemahaman mendalam. Agar kurikulum deep learning dapat berhasil sesuai dengan tujuanya maka dibutuhkan peran guru yang kreatif dan tanggap terhadap segala perubahan. (kompasiana.com, 13/11/2024)
Seolah sudah menjadi tradisi, ganti Menteri, ganti kurikulum. Perubahan kurikulum pendidikan nasional sudah berulang kali dilakukan di negeri ini. Namun faktanya kurikulum-kurikulum tersebut belum mampu mewujudkan manusia seutuhnya, yakni generasi beriman dan bertakwa serta terampil sebagaimana tujuan pendidikan.
Konsep kurikulum deep learning, meskipun pembelajaran diupayakan menjadi lebih menyenangkan dibandingkan sebelumnya, tetap saja tidak akan mampu menghasilkan output yang diharapkan sesuai dengan misi pendidikan Islam yang sahih. Oleh karenanya, sangat layak diragukan bahwa kurikulum deep learning akan mampu memenuhi hak pendidikan. Karena, persoalannya bukan hanya di proses pembelajaran, ataupun banyaknya satuan pendidikan yang mengadopsi, namun pada paradigma, landasan, dan target kurikulum.
Jika ditelusuri lebih mendalam kurikulum tersebut tetap saja lahir dari paradigma yang sama dengan kurikulum sebelumnya, yakni sekularisme kapitalisme. Sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Sedangkan kapitalisme adalah paham yang menyandarkan segala sesuatu dengan materi. Paradigma sekularisme kapitalisme inilah yang menjadikan visi dan misi pendidikan yang diterapkan hanya untuk memenuhi ambisi-ambisi materi. Apalagi sistem pendidikan sekuler kapitalis ini tidak lepas dari ideologi kapitalisme yang sedang eksis di dunia hari ini. Alhasil, sistem pendidikan berjalan mengikuti tuntutan-tuntutan global, yakni dunia industri.
Maka tak heran pendidikan yang berjalan hari ini, apapun bentuk kurikulumnya akan tetap mencetak generasi-generasi yang siap terjun di dunia kerja, namun minim adab, berpikir dan berperilaku bebas atau liberal. Kecerdasan tanpa diimbangi keimanan akan membuat para generasi makin berpotensi berbuat kerusakan, kriminalitas dan berbagai masalah di tengah-tengah masyarakat.
Oleh karena itu, berbagai kebaikan yang tampak diberikan pemerintah dalam implementasi kurikulum deep learning, sejatinya hanyalah cita-cita semu. Yang dibutuhkan rakyat bukanlah sekadar pembelajaran yang membahagiakan. Namun, lahirnya sumber daya manusia unggul yang berkepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam, dan ilmu-ilmu kehidupan agar dapat mengelola negeri ini dengan aturan Allah. Inilah yang akan mengantarkan negeri ini maju. Dan hal ini hanya bisa diwujudkan dalam kurikulum yang berasas atau berakidah Islam, bukan sekularisme kapitalisme.
Pentingnya Sistem Pendidikan Islam
Indonesia dengan penduduk mayoritas Muslim, sudah selayaknya menjadikan Islam sebagai dasar bagi sistem pendidikan sebagai wujud keimanan.
Dalam Islam, pendidikan merupakan proses manusia menuju kesempurnaan sebagai hamba Allah SWT. Ada sosok Rasulullah Muhammad SAW yang wajib menjadi contoh teladan (role model) seluruh peserta didik.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَة
“Sungguh pada diri Rasulullah saw. itu terdapat suri teladan yang baik.” (QS Al-Ahzab [33]: 21)
Keberadaan sosok panutan (role model) inilah yang menjadi ciri pembeda pendidikan Islam dengan sistem pendidikan yang lain. Oleh sebab itu, dalam sistem pendidikan Islam, akidah Islam wajib menjadi dasar pemikirannya. Karena tujuan inti dari sistem pendidikan Islam adalah membangun generasi yang berkepribadian Islam, selain menguasai ilmu-ilmu kehidupan seperti teknologi, ilmu sains, matematika dan lain sebagainya.
Hasil belajar (output) pendidikan Islam akan menghasilkan peserta didik yang
berkualitas, beriman, bertakwa terampil dan berjiwa pemimpin serta menjadi problem solver. Mendalam pemikiran Islamnya (tafaqquh fiddin).
Pengaruhnya (outcome) antara keterikatan peserta didik dengan syariat Islam adalah terciptanya masyarakat yang bertakwa, yang di dalamnya tegak amar makruf nahi mungkar dan tersebar luasnya dakwah Islam. Karena dengan ilmunya, generasi mampu menjadi penerang atas gelapnya kebodohan sekaligus mampu memberi solusi atas berbagai persoalan masyarakat.
Ilmu yang disertai dengan iman akan menjadikan mereka paham bahwa ilmu yang mereka miliki wajib berdimensi akhirat. Mereka juga akan paham bahwa ilmu bukan diabdikan untuk kepentingan segelintir orang, seperti para pemilik modal atau kapital.
Pemikiran (fikrah) pendidikan Islam ini tidak bisa dilepaskan dari metodologi penerapan (tharîqah)-nya, yaitu sistem pemerintahan yang dilandaskan pada akidah Islam. Oleh karena itu, dalam Islam, penguasa bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pendidikan seluruh warga negaranya. Karena pendidikan adalah salah satu di antara banyak perkara yang wajib diurus oleh negara. Rasulullah SAW bersabda,
الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim). []
Nabila Zidane
Jurnalis