TintaSiyasi.id -- Setiap hari media nasional media nasional menyuguhkan iklan tayangan segarnya iklan susu kemasan. Akan tetapi, nasib peternak susu lokal tidak “sesegar” seperti yang diiklankan di media. Faktanya, 80 persen susu yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah susu impor, demikian ucap MenKop Budi Arie Setiadi (cnnindonesia.com, 12/11/2024). Karena itulah peternak sapi perah di Pasuruan telah membuang susu sapi segar ketika mereka berdemo. Mereka membuang susu lantaran industri pengolahan susu membatasi penyerapan dari peternak lokal karena adanya kebijakan impor susu sapi yang marak dilakukan akhir-akhir ini.
Pengiriman susu per hari sebenarnya bisa mencapai 100 ton-200 ton sebelum adanya kebijakan pembatasan penyerapan susu sapi. Namun, saat ini pengiriman hanya sekitar 40 ton. Dewan Persusuan Nasional (DPN) menyebutkan ada 200 ton susu segar setiap hari yang dibuang. Ketua DPN Teguh Boediyana memaparkan bahwa tindakan tidak menyerap susu segar dari peternak sapi perah adalah efek tidak adanya peraturan perundang-undangan yang melindungi usaha peternak sapi perah rakyat dan menjamin kepastian pasar dari susu segar yang di hasilkan. DPN juga meminta pemerintah memberlakukan kembali kebijakan rasio impor susu yang dikaitkan dengan realisasi penyerapan susu segar. Kebijakan ini sudah diterapkan sebelum era reformasi dan dengan adanya bukti serap (BUSEP) (cnbc.com, 10/11/2024).
Ketergantungan Indonesia pada Impor Susu dan Dampaknya terhadap Peternak Lokal
Meskipun produksi susu sapi dalam negeri kerap mengalami kendala, hal ini tak menghalangi Kementerian Pertanian untuk tetap membuka keran impor guna memenuhi kebutuhan susu nasional. Meskipun Kementan meralat ucapannya yang mengimpor 1,8 juta ton susu sapi vietnam. Namun mengundang investor susu dari Vietnam itu benar adanya, dengan alasan memperbaiki kualitas susu peternak. Selain itu, yang mencengangkan adalah susu impor dari negara lain juga banyak yang masuk leih dulu bahkan tanpa b ea masuk. (Antaranews.com 27/10/2024). Hal ini justru dimanfaatkan betul oleh negara pengekspor susu.
IDXChannel.com (16/11/2024) melaporkan bahwa menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) impor susu sapi Indonesia mencapai 257.300 ton selama Januari hingga Oktober 2024. Naik 7,07 persen dibandingkan periode yang sama pada 2023 yang berjumlah 240.300 ton. Impor susu terbesar berasal dari Selandia Baru dengan volume 126.840 ton atau 49,30 persen dari total impor susu yang dilakukan sepanjang tahun ini. Selanjutnya, dari Amerika Serikat sebanyak 45.180 ton atau 17,56 persen dan juga Australia 38.190 ton atau 14,84 persen. Sayangnya IPS (Industri Pengolahan Susu) lebih banyak mengimpor bukan dalam bentuk susu segar, namun berupa skim (susu bubuk). Indonesia sepanjang Januari-Oktober 2024 mengimpor susu bubuk sebesar 159.840 ton atau 62,12 persen dari total impor susu.
Padahal kualitas gizi susu bubuk tidak setinggi susu segar dikarenakan sudah diproses dengan dipanaskan. Impor susu skim mengakibatkan harga susu segar menjadi lebih murah, dan berujung pada meruginya para peternak sapi domestik.
Impor susu ini menyebabkan membuat produksi susu dalam negeri tak terserap. Sementara Indonesia masih bergantung pada susu impor karena kebutuhan konsumsi susu terus meningkat pesat setiap tahunnya dan sistem produksi susu di Indonesia dianggap masih belum bisa mencukupi permintaan konsumen. Hal ini cukup kontradiktif dengan fakta yang telah terjadi di Pasuruan dan seantero Indonesia.
Semakin lama, negara Indonesia semakin ketergantungan dengan kebijakan impor. Jika sudah begini, adiksi terhadap impor membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga pangan global dan gangguan dalam rantai pasok internasional. Bahan pangan di Indonesia bisa mengalami kelangkaan yang gawat darurat.
Selain menimbulkan ketergantungan, kebijakan impor dapat menyebabkan lemahnya produksi susu lokal. Peternak lokal tidak bakal mampu bersaing dengan produk impor yang lebih murah, yang sering kali disebabkan oleh subsidi yang diberikan oleh negara pengekspor kepada para peternak. Akibatnya, pendapatan peternak lokal bisa menurun dan bankrut, yang pada akhirnya berkuranglah kuantitas produksi susu dalam negeri. Apalagi jika impor dilakukan dalam jumlah besar saat panen domestik. Harga di tingkat peternak bisa anjlok serta menyebabkan kerugian bagi peternak lokal.
Ketika harga susu lokal jatuh akibat masuknya susu impor, pendapatan peternak juga menurun. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengakibatkan penurunan investasi dalam sektor peternakan, termasuk tenaga kerja, lahan peternakan, teknologi dan modal yang lebih baik, yang akhirnya mengurangi proses produksi dan kualitasnya. Penurunan pendapatan dan masa depan peternakan sapi perah yang tidak pasti dapat membuat banyak peternak, terutama generasi muda, enggan melanjutkan usaha peternakan. Hal ini membahayakan masa depan sektor peternakan lokal.
Kebijakan impor adalah salah satu kebijakan yang buruk dalam sistem ekonomi kapitalisme, karena berpihak pada para penguasa dunia dan pemilik modal atau industri besar. Seharusnya, negara melindungi nasib peternak melalui kebijakan yang berpihak pada peternak, baik dalam hal menjaga mutu maupun dalam menampung hasil susu dan lainnya.
Sudah menjadi sifat dari ideologi kapitalisme yang menganggap keuntungan materi adalah segala-galanya di atas semua. Seluruh kebijakan yang lahir dari sistem ini hanya memikirkan keuntungan secara sepihak dan tidak membawa kemaslahatan bagi umat.
Sistem Khilafah Melindungi Peternak Lokal dan Mengelola Hasil SDA Sesuai Syariah
Kebijakan impor mengundang banyak problematika bagi peternak domestik, mulai dari soal stabilitas harga produk susu, kualitas input peternakan, dsb. Maka dalam Islam, semua aspek akan dirombak total dan diperbaiki. Sistem ekonomi Islam memiliki pengaturan terkait produksi, distribusi dan konsumsi produk SDA. Khalifah akan membuat kebijakan apa pun yang pastinya untuk menjamin kesejahteraan rakyat sesuai tuntutan syariat, sekaligus membabat-habis apa pun yang bisa menghambat rakyat dalam memperoleh haknya melalui penerapan sanksi Islam.
Hal ini berdasarkan atas hadits dari Bukhari, “Imam adalah raa’in (gembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Sebagaimana sabda dari Rasulullah, “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR Muslim dan Ahmad).
Sistem khilafah Islam mempunyai konsep APBN tersendiri. Pemasukan dan pengeluaran diatur berdasarkan syariah. Sumber APBN Islam diambil dari harta milik umum seperti kekayaan laut, tambang, hutan, dsb. Pemasukan APBN kian bertambah karena ada harta lain milik negara seperti kharaj, pungutan jizyah, ghanimah, fa’i, dst. Dengan kekayaan yang besar sangat memungkinkan negara mampu mengatur hajat peternak. Negara akan menjamin ketersediaan, stabilitas, keterjangkauan, dan konsumsi atas hasil peternakan lokal. Produksi susu lokal dijamin akan meningkat dan proses distribusinya diawasi ketat oleh perangkat negara. Dengan meningkatnya produksi susu dan distribusi yang merata, rakyat dapat memperoleh susu yang berkualitas dan murah, sedangkan para peternak bisa memproduksi susu tanpa khawatir tertumpuk hingga membuangnya sia-sia. Negara juga akan mendukung penuh penelitian pengembangan sapi jenis baru dalam rangka perbaikan mutu genetiknya, meningkatkan kemampuan SDM peternak dengan menyediakan berbagai pelatihan.
Selain itu, negara akan memutus kerja sama yang mengancam eksistensi peternakan lokal, apalagi kerja sama dengan kafir yang jelas memusuhi Islam seperti AS. Negara memutus intervensi dan hegemoni asing yang sejatinya merupakan penjajahan atas nama perjanjian atau kesepakatan internasional.
Demikianlah gambaran kebijakan Islam mengatur hasil SDA berupa peternakan dengan aturan Islam diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah. Itu semua akan dapat diwujudkan dalam sistem Khilafah yang melaksanakan syariat Islam secara sempurna. []
Oleh: Fatimatuz Zahrah, S.Pd.
(Aliansi Penulis Rindu Islam)